Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33: Rise of the Fractured Crown II
Tiga bulan sejak celah di utara terbuka, dunia belum kembali seperti semula.
Langit Ravennor tidak lagi sepenuhnya biru. Awan sering berkumpul tanpa sebab. Hujan turun tak menentu, terkadang membawa abu halus seperti sisa pembakaran altar tua.
Di pusat kota, Dewan Rakyat bertahan dengan susah payah. Tapi rakyat mulai resah.
Harga makanan naik. Pelindung sihir di sebagian distrik melemah. Dan yang paling menakutkan: kabar tentang sosok berjubah hitam bermata ungu yang muncul lalu menghilang, meninggalkan mimpi buruk di benak mereka yang melihatnya.
Seraphine kini tinggal di kota bawah—tempat yang dulunya wilayah kumuh, kini menjadi pusat pengungsian dan pasar gelap. Ia tidak mengenakan nama lamanya. Di antara para warga, ia hanya dikenal sebagai Sera.
Namun malam itu, seseorang dari masa lalu datang membawa berita.
Caelum membuka jubahnya, wajahnya penuh debu perjalanan. “Ash mengirim pesan,” katanya. “Orin telah membentuk lingkaran baru. Mereka menyebut dirinya The Hollow Court.”
Seraphine duduk perlahan, meletakkan cangkir teh yang sudah dingin.
“Siapa saja di dalamnya?”
“Beberapa mantan bangsawan. Beberapa penyintas perang. Dan... beberapa penyihir dari utara yang dulunya diasingkan. Mereka membentuk simbol baru.”
Caelum mengeluarkan gulungan.
Di atas kertas kasar itu, lambang yang terlukis membuat dada Seraphine sesak: mahkota retak, dengan mata terbalik di tengahnya.
Simbol baru. Mahkota patah.
Dan lebih dari segalanya, klaim baru: “Takdir bukan untuk diwariskan. Tapi direbut kembali.”
Di wilayah timur Ravennor, api menyala di puncak sebuah menara.
Ash memimpin rapat darurat dengan faksi-faksi yang tersisa. Dewan mulai terpecah: ada yang ingin berunding dengan Orin, ada yang ingin menyerang lebih dulu, dan sebagian hanya ingin mundur dan menyelamatkan yang tersisa.
“Terlalu banyak suara,” gumam Ash.
Seorang penasihat menjawab, “Begitulah demokrasi.”
Ash menatapnya tajam. “Tapi terlalu banyak suara tanpa arah hanya menghasilkan keheningan saat kehancuran datang.”
Ia berdiri.
“Kita butuh satu suara sekarang. Dan aku akan mencarinya.”
Di reruntuhan Virellen, Orin duduk bersila di depan sebuah altar baru yang ia bangun bersama makhluk dari Umbra.
Di sekitarnya, pengikutnya mulai bertambah. Mereka tidak memakai nama. Hanya lambang mahkota patah di dada mereka.
“Sistem lama telah gagal,” kata Orin. “Yang baru terlalu rapuh.”
Ia menatap kristal hitam besar di tengah altar. Di dalamnya, kini tampak seperti... janin. Sesuatu sedang tumbuh di dalam kegelapan.
“Saatnya menciptakan sesuatu yang tidak bisa dihancurkan.”
Makhluk itu—The Hollow—berbisik dari kegelapan:
“Dunia tidak dibangun oleh kasih. Ia dibentuk oleh ketakutan.”
Di distrik barat, seorang gadis kecil menggambar di lantai dengan kapur: gambar empat sosok berdiri di bawah satu langit.
Seorang prajurit, seorang penyihir, seorang ratu, dan seorang bayangan.
Ibunya memarahinya, tapi gadis itu hanya berkata pelan, “Aku bermimpi tentang mereka.”
Dan ketika ia tidur malam itu, bintang di atas Ravennor padam satu per satu.
Langkah kaki Seraphine bergema pelan di koridor bawah tanah Istana Tua Ravennor, kini dijadikan ruang penyimpanan naskah dan artefak berbahaya. Di tangannya, surat dari Ash. Di benaknya, wajah Orin—bukan saat perang, bukan saat mereka berpisah, tapi saat mereka masih percaya pada hal yang sama.
Caelum berjalan di belakangnya, membawa lentera dan peta-peta kuno yang mereka curi dari Menara Observatorium.
"Tempat ini," bisik Caelum, "sudah ditinggalkan sejak revolusi. Kenapa Ash mengirim kita ke sini?"
Seraphine tidak menjawab. Tapi pikirannya dipenuhi gema bisikan makhluk yang ia dengar di Virellen dulu. Suara yang berasal dari masa jauh sebelum Ravennor berdiri.
Langkah mereka terhenti di depan dinding batu. Tidak ada pintu. Tidak ada celah.
Namun Seraphine mendekat, menyentuh dinding itu dengan kedua tangan.
“...Aku tahu kalian masih hidup.”
Suara bergema dari balik dinding, berat, tua, dan seperti patah-patah:
“Putri Api. Datang membawa dendam atau permintaan?”
“Tidak. Aku datang membawa peringatan. Mahkota retak itu bukan milik siapa-siapa. Tapi jika kalian membiarkan Orin memakai kekuatan lama… dunia ini akan runtuh.”
Suara di balik dinding tertawa pelan. Lalu sebuah celah terbuka.
Dan mereka masuk ke Pengadilan Bayangan, tempat di mana penjaga perjanjian kuno pernah disumpah untuk tidak mencampuri dunia manusia—kecuali jika api kuno dibangkitkan lagi.
Sementara itu, di sisi lain utara, Orin memimpin pertemuan besar pertamanya di antara pengikut The Hollow Court. Tempatnya bukan istana, bukan aula megah, melainkan reruntuhan amfiteater tua.
Tapi suara Orin terdengar lebih tegas dari raja mana pun.
“Kita telah hidup di bawah dua dunia: tirani para mahkota, dan kekacauan para dewan. Kini... kita bangun yang ketiga.”
Sorak sorai membahana.
Salah satu dari mereka—wanita tua dengan mata sihir ungu—bertanya, “Dan jika mereka menyerangmu, anak api akan datang. Apa yang akan kau lakukan padanya?”
Orin menunduk sejenak. “Aku akan menawarkan pilihan. Tapi jika ia menolak…”
Ia menatap ke langit.
“…maka aku akan padamkan apinya.”
Ash, di markas Dewan, menerima laporan dari mata-mata sihir:
“Ritual di utara makin aktif. Tanah retak. Siang terasa lebih pendek. Dan... kami menemukan simbol lama kembali digunakan. Simbol dari Gerbang Pertama.”
Ash berdiri, tatapannya gelap.
“Panggil para penjaga tua. Kita tak bisa tunggu sampai Seraphine kembali. Kita harus bertindak sebelum Pintu Ketiga dibuka.”
Di Pengadilan Bayangan, Seraphine melihat mereka: bukan manusia, bukan sepenuhnya makhluk sihir. Mereka adalah hasil kontrak kuno yang membuat Ravennor bertahan ratusan tahun lalu.
Pemimpin mereka berbicara:
“Jika kamu ingin bantuan kami... kamu harus memilih. Dunia manusia tidak akan tahan pada dua sisi sihir sekaligus. Apakah kamu ingin mempertahankan dunia yang rusak… atau menghancurkannya dan membangun ulang?”
Seraphine menutup mata.
“Tak satu pun. Aku ingin menjahit luka dunia ini. Tak butuh raja, tak butuh dewa, dan tak butuh pengadilan seperti kalian.”
Semua diam.
Lalu satu di antara mereka—dengan wajah menyerupai ibunya yang telah lama mati—berkata pelan:
“Kalau begitu... mungkin kau adalah api terakhir. Tapi ingat, api membakar segalanya—termasuk yang ingin kau selamatkan.”
Malam itu, di seluruh Ravennor, mimpi orang-orang disusupi bisikan.
Satu suara, satu kalimat, diulang ribuan kali:
“Saat mahkota terakhir jatuh, dunia akan memilih siapa yang layak menyentuh takdir.”
Dan di atas puncak menara tertinggi kota, sebuah bintang runtuh.
Dari dalam cahayanya, sesuatu muncul—bukan makhluk, bukan manusia. Tapi... bayangan yang bisa bicara.
Orin menatapnya dari kejauhan.
Dan tersenyum.
Langit di atas Ravennor dipenuhi awan berlapis, seakan dunia sendiri menyembunyikan langitnya dari yang akan datang. Seraphine dan Caelum kembali dari Pengadilan Bayangan, membawa lebih dari sekadar informasi: mereka membawa peringatan.
Di punggung kudanya, Seraphine terdiam.
“Kenapa kau tak bilang pada mereka soal Orin?” tanya Caelum, memecah keheningan.
“Aku tak ingin mereka mencari Orin hanya untuk menghancurkannya,” jawab Seraphine pelan. “Jika mereka melihatnya sebagai ancaman, mereka akan menghapusnya. Tapi Orin masih bisa diselamatkan… mungkin.”
Caelum menatapnya sejenak. “Atau mungkin kau hanya berharap ia masih sama seperti dulu.”
Seraphine tidak membantah. Dalam hatinya, luka dari pengkhianatan Orin masih hangat—bukan karena kuasa, tapi karena harapan yang patah.
Sementara itu, di utara, Orin berdiri di antara para pengikutnya. Di belakangnya, altar baru telah dibangun dari batu hitam yang berdenyut dengan energi sihir. Di atas altar itu, sebuah mahkota—terbuat dari akar dan logam tua yang pernah menjadi bagian dari singgasana Ravennor.
Tiga tokoh utama dari The Hollow Court mendekat:
Lyenne, mantan peramal kerajaan,
Voric, prajurit bayangan dari garis klan penghapus sejarah,
Eris Velharn, penyintas terakhir dari Akademi Sihir Tertutup.
Mereka bertanya satu hal:
“Apakah kau akan memakainya?”
Orin menatap mahkota itu lama. “Tidak. Belum. Ini bukan waktunya menunjuk raja. Ini saatnya membuka jalan.”
Lalu ia membalikkan tubuhnya, dan mengangkat tangan.
“Tiga jalan akan terbuka,” katanya. “Dan siapa pun yang layak… boleh memimpin dunia baru.”
Ash, di Ravennor, sedang menyiapkan ekspedisi militer ke wilayah utara. Tapi konflik mulai muncul dari dalam. Kepala Serikat Dagang menolak memberikan dukungan logistik, dan milisi rakyat menuntut otonomi atas distrik mereka.
“Kau tak bisa lawan perang dan membangun pemerintahan pada waktu yang sama,” ujar salah satu penasihatnya.
“Tapi kalau kita diam, Orin akan membuka Pintu Ketiga. Dan itu… adalah akhir.”
Ash memandangi peta besar. Ia melingkari tiga wilayah utama:
1. Kuil Tertutup di timur,
2. Benteng Air Mata di utara,
3. Danau Dalam di selatan.
“Tiga jalan. Tiga kunci.”
Ia menatap langit-langit, gumamnya nyaris tak terdengar:
“Dan kita hanya boleh memilih satu.”
Di Danau Dalam, air mulai berpendar ungu di malam hari. Penduduk desa sekitar melapor tentang suara dari dalam air: suara yang memanggil dengan nama-nama kuno.
Seorang gadis kecil menangis saat melihat bayangan di permukaan dan berkata, “Itu ibuku… tapi dia sudah mati.”
Sementara itu, di Kuil Tertutup, penjaga terakhir membuka kembali naskah-naskah tua. Mereka tahu… ritual pembuka pintu telah dimulai.
Dan di Benteng Air Mata, langit terbuka saat malam. Petir menyambar, tapi bukan dari langit—dari tanah.
Di puncaknya, Orin berdiri dengan jubah hitamnya berkibar.
Ia mengangkat tangannya, dan Pintu Kedua—yang selama ini hanya retak—mulai terbuka sepenuhnya.
Seraphine, akhirnya kembali ke pusat Ravennor. Ia menemui Ash di bawah markas Dewan.
“Kita tak bisa hadapi ini dengan pasukan,” katanya.
“Tapi kita juga tak bisa hanya duduk dan berharap Orin berubah pikiran,” balas Ash.
“Aku akan pergi ke Benteng. Bicara dengannya. Satu kali lagi.”
Ash menatapnya tajam. “Dan jika dia menolak berdamai?”
Seraphine menjawab tanpa ragu. “Maka aku akan menyalakan apiku… sampai tak ada jalan kembali.”
To be continued...
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~