NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:712
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 SURGA DALAM CALLIGO

Bel di pintu berbunyi saat seseorang mendorongnya. "Pagi," sapa seorang wanita—Lily.

Rambut hitam pendeknya masih sama seperti kemarin, tapi kali ini ia mengenakan overall hitam dengan kaos ungu tua di dalamnya. Gaya santai tapi tetap stylish.

"Pagi," sahut Zia dan Ami bersamaan.

Lily mendekat dengan semangat. "Apa yang bisa aku bantu hari ini?"

"Kau bisa mulai dengan mengelap meja, lalu bantu kami di dapur," ujar Zia sambil menunjuk kain lap.

Lily mengangguk, lalu langsung bergerak. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyatu dalam ritme kerja di kafe itu. Kini ia sudah membantu Ami menyusun stok bahan, dan keduanya terlihat cepat akrab.

"Kak Zia, aku sudah isi semua stok," lapor Ami.

"Bagus. Sekarang bantu aku sebentar," kata Zia, menyerahkan adonan kue. Ia sendiri membuka oven dan mengeluarkan loyang berisi kue yang baru matang.

"Wangi sekali..." gumam Lily dari dekat.

"Kau mau coba?" tanya Zia, melirik ke arahnya.

"Eh?" Lily terkejut. "Boleh?"

"Kenapa tidak?" Zia memotong kue yang masih hangat dan menyerahkannya.

"Mmm... enak," ujar Lily, mulutnya masih penuh.

Ami tertawa. "Simpan, Kak. Nanti Lily habisin semua."

Lily hanya mengerucutkan bibir.

Setelah kehadiran Lily, suasana di Kafe Ollano terasa lebih hidup. Pekerjaan terasa lebih ringan, semuanya berjalan lebih cepat. Pelanggan datang silih berganti, baik untuk makan di tempat maupun membawa pulang. Di antara mereka, anak-anak tampak paling bersemangat.

"Kak Zia," panggil Ami.

"Hm?"

"Sepertinya kafe kita makin populer di kalangan anak-anak. Gimana kalau kita buat menu baru khusus untuk mereka?"

Zia berpikir sejenak. "Kau benar. Tapi apa, ya?"

Mereka berdua menatap langit-langit, seperti berharap ide akan turun dari sana. Lily, yang baru kembali dari mengantar pesanan, mengangkat alis heran.

"Kalian kenapa?"

"Berpikir," jawab Ami.

"Soal apa?"

"Menu anak-anak," timpal Zia.

Lily mengangguk pelan, lalu bertanya, "Khusus anak-anak?"

Dua pasang kepala kompak mengangguk.

"Bagaimana kalau kita buat kue berbentuk hewan? Lucu-lucu, kayak singa, badak, atau panda?"

Zia tersenyum. "Itu ide bagus."

Seminggu telah berlalu. Kue-kue animasi buatan Ollano viral di media sosial. Setiap hari kafe itu penuh, terutama dengan keluarga muda dan anak-anak yang penasaran dengan kue-kue lucu nan lezat itu.

Sore itu, Ami duduk di lantai, rambutnya lepek dan wajahnya penuh keringat.

"Capek banget..." desahnya.

Lily masih berdiri, meskipun sempat kewalahan, ia tetap bersemangat seperti biasa.

Zia memeriksa etalase yang hari ini benar-benar kosong. Tak ada satu pun kue tersisa.

"Karena kalian luar biasa minggu ini... aku akan kasih bonus bulan ini," kata Zia.

"Serius?!" seru Ami, langsung bangkit.

"Aku juga dapat?" tanya Lily, agak ragu.

"Tentu saja."

"Asik!" Lily ikut bersorak. Mereka berdua berpelukan, penuh kegembiraan.

Zia hanya menggeleng, tersenyum kecil. "Sudah, ayo bereskan semuanya lalu pulang."

Setelah semua selesai, Zia pulang ke Calligo. Ia melepas sepatu, lalu menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa menyegarkan tubuhnya. Ia mengambil beberapa potong apel dan segelas susu, lalu duduk di ruang tamu. Tapi pikirannya melayang.

Viren belum tampak sejak pagi. Mungkin masih sibuk dengan proyek SPEKTRA yang kini sedang jadi sorotan.

Zia kembali teringat saat pertama kali datang ke Calligo. Semua pintu terkunci. Rasa penasaran yang sempat terkubur kini kembali muncul.

Ia melangkah menyusuri lorong sunyi, dengan potongan apel di tangan dan susu yang mulai menghangat. Satu per satu pintu ia coba. Pintu pertama—terkunci. Pintu kedua—sama saja. Hingga akhirnya ia sampai di pintu kelima.

Ceklek.

Pintu terbuka. Ia mendorongnya perlahan, tubuhnya setengah waspada.

Ruangan di dalam gelap. Ia meraba-raba sisi dinding dan menemukan saklar.

Klik.

Lampu gantung menyala.

Zia nyaris menahan napas. Apa yang ada di depannya bukan sekadar ruangan—ini adalah surga bagi para pecinta buku.

Langit-langitnya tinggi menjulang, dihiasi ukiran klasik berwarna emas pudar yang bersinar lembut di bawah cahaya gantung kristal. Rak-rak kayu mahoni berdiri kokoh mengelilingi ruangan, menjulang hingga ke lantai atas, masing-masing penuh sesak oleh ribuan buku dengan sampul tua, kulit mengilat, dan punggung beraksen emas.

Tangga kecil dari besi melingkar menempel di beberapa rak, memberi akses ke barisan buku paling tinggi. Di sudut ruangan terdapat kursi empuk berwarna marun, menghadap jendela besar dengan tirai beludru, tempat yang tampak seperti titik meditasi sempurna.

Zia melangkah perlahan ke dalam, seolah takut suara langkahnya akan mengganggu keheningan agung perpustakaan itu. Bau khas kertas tua dan kayu menguar memenuhi hidungnya—aroma yang menenangkan sekaligus memabukkan. Beberapa buku bahkan tampak langka, seperti koleksi museum atau perpustakaan negara.

"Ini... gila," bisiknya tanpa sadar. Matanya menyapu setiap inci ruangan, tak tahu harus melihat ke mana dulu.

Perpustakaan ini seperti dunia lain. Dunia yang tersembunyi di balik rumah yang sunyi. Dan Zia tahu, tempat ini menyimpan lebih dari sekadar literatur—ada sejarah, rahasia, dan mungkin... kunci untuk memahami siapa Viren Kaeshiro sebenarnya.

Dengan penuh rasa ingin tahu, ia mengambil salah satu buku dari rak terdekat. Debu beterbangan, membuatnya bersin kecil. Ia menyeka hidungnya lalu duduk di kursi marun dan mulai membaca.

Jam sudah melewati angka sebelas malam ketika sebuah mobil hitam meluncur masuk ke halaman depan Calligo. Viren keluar dengan langkah lelah, jasnya dilipat di lengan kiri, dasi sudah longgar, namun kacamata masih bertengger rapi di wajahnya.

Pintu depan ia buka, dan ruangan dalam rumah tampak terang. Ia melangkah ke arah tangga dan melihat lampu kamar masih menyala—tidak seperti biasanya. Biasanya Zia sudah terlelap pada jam segini dan kamar sudah dalam keadaan temaram.

Ia berjalan kembali turun ke lantai bawah lalu melewati ruang tamu. Ada gelas susu yang masih penuh dan beberapa potong apel yang sudah mulai menguning karena oksidasi.

Wajahnya menegang. “Emi!” panggilnya dari arah dapur.

Tak lama kemudian Emi muncul, tergopoh. “Iya, Tuan?”

“Zia di mana?”

“Tadi saya lihat nona duduk di ruang tamu... setelah itu saya tak tahu lagi. Mungkin ke kamar.”

“Tidak,” gumam Viren. “Kamarnya kosong.”

Ia berjalan ke tempat lain, dan menemukan sorot cahaya dari salah satu pintu yang ada di lorong. Ia menghampirinya dan melihat perpustakaan terang. Langkahnya semakin dalam dan menemukan Zia tengah berdiri di atas tangga lipat besi, tangannya terulur mencoba menjangkau satu buku di rak paling atas.

“Hei.” Suara Viren terdengar, tenang—tapi cukup mengagetkan.

“A—ah!”

Zia terkejut, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia sempat mencoba berpijak kembali, namun tangga lipat itu bergoyang hebat. Dalam hitungan detik, tubuhnya meluncur turun.

Brukk!

Zia jatuh dengan posisi miring. Ia meringis kesakitan, memegang pergelangan kaki yang kini mulai memerah.

Viren bergegas mendekati sumber kegaduhan—tapi bukan dengan ekspresi panik. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya tajam. “Jangan bergerak,” ujarnya, cepat tapi datar.

“Aku... aku rasa pergelangan kakiku... sakit,” ucap Zia pelan, wajahnya menegang menahan nyeri.

Viren berlutut. Ia mengamati pergelangan kaki Zia dengan teliti, lalu menyentuhnya perlahan. Zia menggertakkan gigi, jelas menahan sakit.

“Terasa seperti keseleo. Tidak parah, tapi kau tidak boleh memaksakan berdiri.”

Ia berdiri dan mengulurkan tangan.

Zia menatapnya ragu.

“Kalau kau tidak mau ku gendong, pegang tanganku,” ujarnya singkat.

Zia menurut. Ia mengandalkan lengan Viren sebagai penopang, dan pelan-pelan berdiri dengan berat di satu kaki. Tatapan mereka bertemu sejenak. Dingin di wajah Viren, hangat di pipi Zia.

“Apa kau selalu mengintai orang malam-malam seperti ini?” gumam Zia, mencoba mencairkan suasana.

Viren tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah sedikit dan berkata, “Tangga besi itu bukan tempat untuk memuaskan rasa penasaranmu.” Nada suaranya tenang, tapi menampar.

Namun, sebelum berbalik, senyum tipis muncul di sudut bibirnya—sekilas, tapi cukup untuk membuat Zia membeku di tempat.

Viren membantunya berjalan pelan-pelan melewati lorong. Zia menggantungkan hampir seluruh berat tubuhnya pada pria itu, dan entah mengapa, meskipun nyeri menjalar di pergelangan kakinya, ia justru bisa mendengar degup jantungnya sendiri—terlalu cepat, terlalu gugup.

Sesampainya di ruang tamu, Viren menurunkannya perlahan ke sofa.

“Jangan banyak bergerak,” katanya singkat. Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan masuk ke dapur.

Zia mengamati punggungnya yang menjauh. Diam. Tegas. Tapi setiap gerak-geriknya seperti penuh perhitungan. Ia tidak tampak marah, tapi juga tidak terlihat terlalu peduli... kecuali bila diperhatikan benar-benar. Dan Zia memperhatikannya.

Viren kembali dengan semangkuk kecil air dingin, sehelai kain bersih, dan sebungkus es batu. Ia meletakkan semuanya di meja lalu berlutut di hadapan Zia.

“Ini akan sedikit dingin.” Ia melipat kain dan menekannya pelan di pergelangan kaki Zia.

Zia menggigit bibirnya, menahan rasa dingin yang menusuk.

“Kau tidak harus melakukannya sendiri,” ucap Viren, masih fokus pada es yang ia balutkan.

“Aku hanya... penasaran,” gumam Zia. “Aku tidak tahu ada perpustakaan seindah itu di rumah ini.”

“Karena itu bukan untuk semua orang,” sahutnya datar, tapi tidak menghentikan gerak tangannya.

Zia tertawa kecil, meski masih meringis. “Tapi aku sudah masuk.”

“Dan jatuh.”

Senyap sejenak. Hanya suara jam dinding dan napas mereka.

Kemudian Zia berani bertanya, “Kenapa... kau tidak marah?”

Viren berhenti sejenak, lalu menatap Zia. Matanya tajam, dalam, tapi tidak mengintimidasi. Hanya... membaca.

“Aku tidak butuh alasan untuk marah hanya karena seseorang tersandung rasa ingin tahunya,” katanya. “Tapi jangan ulangi itu lagi.”

Zia mengangguk pelan. “Baik.”

Viren bangkit. “Kau akan tidur di sofa malam ini. Kakimu harus istirahat.”

“Aku bisa jalan pelan-pelan ke kamar...”

“Zia.” Nada suaranya berubah. Tegas. Perintah yang tak terbantahkan.

Zia pun menurut.

Viren berjalan ke arah tangga. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, ia berhenti sejenak.

“Kau bisa membaca buku dari perpustakaan itu... tapi hanya saat siang. Dan pakai tangga yang aman.”

Zia mendongak. “Jadi aku boleh masuk?”

Viren menoleh sedikit. Senyum tipis—yang sangat singkat—menghiasi wajahnya.

“Hanya jika kau tidak membawa kekacauan bersamamu.”

Lalu ia naik, meninggalkan Zia yang kini menyentuh kain kompres di kakinya. Dingin... tapi entah mengapa dadanya justru terasa hangat.

Zia bersandar di sofa, menatap langit-langit. Kain basah masih melingkar di pergelangan kakinya yang berdenyut pelan. Udara malam menembus dari celah jendela, tapi ruangan itu hangat… atau mungkin karena pikirannya yang terlalu sibuk memutar ulang kejadian barusan.

Viren. Tatapannya. Suaranya. Sentuhan dingin dari es yang ia pegang sendiri untuk membalut kakinya. Semuanya seperti terlalu nyata untuk sekadar perhatian biasa.

Zia memejamkan mata sejenak. Ia bukan gadis remaja yang mudah terbawa perasaan. Tapi ada sesuatu dalam diri pria itu—dingin, tak terjangkau, tapi juga... penuh gravitasi. Dan senyum tipisnya tadi, meski singkat, terasa seperti kode yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang cukup sabar membaca diamnya.

Dentang jam menunjukkan pukul 12 lewat. Zia masih belum ingin naik ke kamar, meski kantuk mulai menyergap pelan. Ia menatap ke arah buku yang tadi sempat ia bawa dari perpustakaan—sebuah novel klasik yang entah kenapa terasa lebih berat nilainya setelah jatuh bersamanya.

Wajahnya memerah saat ia mengingat kembali momen tadi—jatuh, Ia pegangan pada lengan Viren , dan wajah Viren yang begitu dekat dengannya.

“Gila.” Ucapnya sambil menutupi wajah dengan tangan, merasakan panas menjalar di pipi. “Aku mulai tertarik padanya.” ucapnya dalam hati.

Ia menunduk dalam diam. Tak ingin mengakui, tapi tak bisa menyangkalnya juga.

Tak lama, suara langkah ringan mendekat. Emi muncul dengan bantal dan selimut di tangannya.

“Tuan menyuruh saya menyiapkan ini untuk Nona.”

Zia menoleh. “Oh… terima kasih, Emi.”

“Kalau Nona butuh sesuatu, panggil saya saja.” Emi meletakkan bantal di sisi sofa dan menyelimutinya lembut. “Tapi sebaiknya Nona benar-benar beristirahat. Besok pasti tetap sibuk.”

Zia mengangguk pelan.

Saat Emi pergi, ruangan itu kembali sunyi. Di luar, suara malam berbisik pelan. Tapi di dalam, ada sesuatu yang baru tumbuh—seperti halaman pertama dari bab yang belum ditulis. Tentang dirinya. Tentang rumah besar itu. Dan tentang pria yang terlalu misterius untuk ditebak… tapi terlalu menarik untuk diabaikan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!