Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Negosiasi di Antara Cahaya Mithril (2).
Bab 35. Negosiasi di Antara Cahaya Mithril (2).
Suasana di gua itu berubah seketika, menjadi tegang seperti permukaan air danau yang tenang sesaat sebelum dilempar batu besar. Bahkan suara tetesan air dari stalaktit terdengar lebih keras dari biasanya.
"Aku tahu kau tidak memiliki alasan untuk mempercayai kami," lanjut Eleanor, suaranya mengandung getaran emosi yang ia coba sembunyikan. "Dan... aku tahu kata-kata kami mungkin tak lebih berharga dari debu setelah arogansi dan kelancangan yang kami tunjukkan sebelumnya. Tapi aku tidak datang ke hadapanmu sebagai seorang putri yang terbiasa mendapatkan segala yang diinginkannya dengan mudah."
Ia berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih rendah namun penuh tekad. "Aku datang sebagai seorang pemimpin muda yang masih belajar... yang ingin memperbaiki warisan kerajaan yang telah ternoda oleh kesombongan dan tirani para pendahulunya."
Jeno berdiri perlahan, gerakannya seperti predator besar yang bangkit dari istirahat. Ia menyimpan Mithril Core terakhir ke dalam sistem Item Box-nya dengan gerakan yang hampir ritual, kemudian berbalik untuk menatap Eleanor dengan mata yang seperti mampu melihat hingga ke dalam jiwa.
"Kata-kata pemimpin yang datang pada seseorang yang mampu... dengan kata-kata indah tentang perbaikan dan perubahan," ujarnya dengan nada datar yang lebih menusuk daripada teriakan marah. "Tapi mereka semua datang dengan pola yang sama, setelah kekuatan ditunjukkan, setelah mereka menyadari bahwa tangan yang mengulur bantuan itu juga bisa menghancurkan mereka hingga tak bersisa."
Jeno berjeda sejenak, mata violetnya berkilat dengan cahaya sistem yang aktif. "Dan yang lebih menyakitkan lagi... setelah mereka mendapatkan dukungan, setelah orang itu memberikan segala yang untuk visi mereka, orang itu difitnah, dikhianati, dan dibuang seperti sampah. Bukankah itu yang sedang terjadi di dunia ini?"
Kenangan dari kehidupan sebelumnya di Bumi melanda pikiran Jeno seperti tsunami emosi: bagaimana waktu itu ia membongkar praktik korupsi yang merusak negara, bagaimana ia berjuang demi keadilan dengan segala yang ia miliki, hanya untuk dikhianati oleh pemimpin yang pernah ia percayai. Bahkan negara yang ia layani dengan tulus menolak mengakuinya sebagai warga negara.
Eleanor menggigit bibir bawahnya sampai hampir berdarah, namun tidak mencoba membantah atau memberikan alasan. Ia tahu bahwa kata-kata kosong tidak akan mengubah situasi yang terjadi saat ini.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" tanya Jeno dengan langsung dan tanpa basa-basi.
Amelia menjawab dengan tergesa-gesa, seolah takut kesempatan ini akan hilang jika ia tidak segera menjelaskan. "Kami ingin menawarkanmu posisi sebagai Grand Guardian Kerajaan Lumina. Posisimu akan berada tepat di bawah Raja dalam hierarki kekuasaan. Kau akan memiliki kendali penuh atas seluruh pasukan militer dan guild penyihir. Gaji yang ditawarkan tak terbatas... kau bisa meminta apapun yang kau butuhkan."
Mata penyihir itu berbinar dengan harapan saat ia melanjutkan. "Gelar kebangsawanan bisa kau pilih sendiri. Duke, Archduke, bahkan gelar Prince akan kami berikan tanpa ragu. Istana pribadi akan dibangun khusus untukmu dengan arsitektur terbaik dan dipenuhi dengan fasilitas yang bahkan Raja sendiri bisa iri melihatnya."
Jeno tersenyum tipis, senyuman yang tidak mencapai matanya dan mengandung ironi yang pahit. Tatapannya tetap tajam seperti pedang yang baru diasah, siap memotong kebohongan apapun yang mungkin tersembunyi di balik penawaran menggiurkan itu.
Kesalahan fatal dari ucapan Amelia "Raja sendiri bisa iri melihatnya" sudah cukup menggambarkan situasi Kerajaan Lumina yang korup.
"Dan jika aku menolak?" tanyanya dengan nada yang begitu tenang hingga terdengar berbahaya.
Lady Mireille secara naluriah melangkah maju, tangan kanannya sudah setengah bergerak menuju gagang pedangnya, tapi Sir Kaiden menahannya dengan gerakan cepat dan tatapan peringatan. Kedua Kesatria Suci itu saling bertukar pandang yang penuh dengan komunikasi tak terucap.
"Kami... akan menghormati keputusanmu," kata Eleanor dengan suara yang dipaksakan tetap tenang, meski setiap kata terasa berat di lidahnya. "Tapi tolong pertimbangkan dengan hati-hati! Dunia ini semakin tenggelam dalam kekacauan dan kegelapan. Dewa-dewa kegelapan tidak lagi puas dengan intervensi halus... mereka mulai campur tangan langsung dalam urusan dunia Atherion."
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Empat kerajaan besar sedang mempersiapkan armada untuk perang, enam belas kerajaan kecil terjebak dalam perang dingin yang bisa meledak kapan saja. Dan di tengah kekacauan ini semua, kami... sungguh-sungguh tidak ingin menjadi musuhmu."
Keheningan yang mencekam menggantung di udara gua seperti kabut tebal. Namun ini bukan keheningan yang dipenuhi permusuhan atau ancaman, melainkan keheningan perenungan, momen ketika keputusan besar sedang ditimbang-timbang dengan hati-hati.
Cahaya Mithril berkedip-kedip lembut, seolah ikut menunggu jawaban yang akan mengubah takdir banyak orang. Bahkan Tim Serigala Pemburu menahan napas, menunggu keputusan dari Jeno Urias yang telah menjadi keluarga bagi mereka.
Jeno merenung dalam-dalam, pikirannya berputar dengan kecepatan tinggi menganalisis setiap kemungkinan konsekuensi. Ia tidak boleh gegabah dalam memutuskan masa depan, bukan hanya masa depannya sendiri, tapi juga masa depan orang-orang yang ia sayangi.
"Kalau begitu..." ujarnya perlahan, setiap kata dipilih dengan hati-hati seperti memilih langkah di medan ranjau. "Aku akan memberikan kalian satu kesempatan. Tapi dengan syarat yang tidak bisa dinegosiasikan."
Luna tersenyum lebar untuk pertama kalinya sejak para tamu tak diundang itu tiba, mata birunya berkilat dengan kepuasan melihat kebijaksanaan tuannya yang sudah di anggap sebagai kekasihnya.
"Aku tidak akan pernah menjadi bawahanmu atau siapapun," lanjut Jeno dengan tegas. "Dan aku bukan milik kerajaan manapun di dunia ini. Aku akan bertindak sebagai diriku sendiri, mengikuti prinsip dan keyakinanku sendiri. Jika itu bisa selaras dengan tujuan kerajaanmu, maka kita bisa bekerja sama. Jika tidak..."
Ia membiarkan ancaman itu menggantung di udara tanpa menyelesaikan kalimatnya.
Eleanor mengangguk pelan, rahangnya mengeras dengan tekad. "Itu sudah lebih dari cukup. Bahkan itu lebih dari yang berani kami harapkan."
Namun ketika rombongan Putri Eleanor berbalik hendak meninggalkan gua dengan langkah yang lega, suara Jeno kembali terdengar, datar dan tenang, namun menyimpan ancaman yang lebih mematikan dari badai petir.
"Tapi ingat satu hal dengan baik-baik..." katanya tanpa berbalik, suaranya bergema di dinding-dinding gua seperti vonis takdir. "Jika kau atau kerajaanmu mencoba memanfaatkanku seperti alat, menggunakan orang-orangku sebagai pion dalam permainan politik, atau berbohong kepadaku... walau hanya sekali, walau hanya kebohongan kecil..."
Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan membangun seperti awan badai sebelum petir menyambar.
"Apalagi jika aku melihat rakyat kecil masih ditindas oleh para bangsawan yang merasa dirinya adalah dewa-dewa kecil..."
Jeno berbalik perlahan, dan cahaya ungu dari mata sistemnya menyala seperti api neraka yang membakar jiwa. Energi magis murni mengalir dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar dengan kekuatan yang mengerikan.
"Aku akan datang bukan sebagai penyelamat yang kalian harapkan, bukan sebagai pelindung yang kalian inginkan... tapi sebagai kehancuran itu sendiri. Aku akan menjadi mimpi buruk yang akan menghantui kerajaan kalian hingga batu terakhir runtuh menjadi debu."
Tak seorang pun dari mereka berani membalas kata-kata itu. Bahkan Sir Kaiden dan Lady Mireille yang terkenal berani, kini berdiri dengan tubuh kaku dan keringat dingin mengalir di pelipis mereka.
Karena mereka semua tahu, bahwa Jeno Urias bukanlah pria yang melempar ancaman kosong untuk menakut-nakuti. Ia adalah pria yang telah membuktikan kehebatannya dengan tindakan nyata, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah janji yang pasti akan ditepati.
Angin malam bertiup pelan melalui mulut gua, membawa aroma kebebasan dan bahaya yang bercampur menjadi satu, persis seperti pria yang baru saja memberikan mereka kesempatan pertama, sekaligus peringatan terakhir.
Situ Sehat ??!