NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

UNTUK KALI PERTAMA...

Begitu masuk ke dalam mobil, Langit menepuk-nepuk badannya sendiri. Setengah pakaiannya yang melekat di tubuh, basah. Menyisakan dingin yang merayap pelan dari kulit ke tulang.

Ia menghembuskan napas panjang, menutup pintu dengan bunyi tumpul, lalu menyandarkan punggung ke jok. Bau hujan ikut terbawa masuk—tanah, aspal, dan malam yang baru saja lahir. Begitu mesin bunyi seiring cahaya lampu yang menyala lurus ke depan, geraknya terpaku.

Langit menoleh ke arah pintu toko. Pandangannya terpaku pada sosok yang tadi bersamanya—gadis itu. Ia berdiri sebentar di ambang pintu, menunduk, memastikan gembok telah terpasang sempurna. Setelah itu, ia melangkah turun dari teras. Payung kecilnya terbuka di atas kepalanya, lalu ia mulai berjuang melawan hujan yang turun semakin lebat.

Lampu toko padam. Jalanan di depannya berkilau, memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Gadis itu mulai berjalan pelan dengan langkah penuh hati-hati, seolah malam dan hujan sama-sama meminta ia untuk tidak terburu-buru.

Di dalam mobil, Langit tak mengalihkan pandangan. Ada dorongan yang tak ia pahami sepenuhnya—sebuah rasa khawatir yang datang begitu saja. Ia kemudian menggenggam kemudi, lalu menginjak pedal gas perlahan.

Terdengar deru mobil seiring suara ban yang membelah genangan air dengan suara lirih. Tak bermaksud mengejutkan, mobil Langit kemudian menghadang gadis itu yang membuatnya tersentak dan terpaku ditempatnya.

Langit segera mematikan mesin, hingga suara mobilnya lenyap, digantikan oleh derasnya hujan yang seolah jatuh lebih dekat. Ia lalu meraih payung yang terselip di belakang jok, membuka pintu, dan turun dari mobil.

Udara dingin langsung menyergap Langit. Usai membuka payung dan melangkah cepat mengitari bagian belakang mobilnya, Celananya basah dalam sekejap. Namun seolah tak dipedulikannya, ia bergerak semakin dekat ke arah gadis yang mulai memperhatikan dirinya.

"Maaf, aku gak bermaksud mengejutkan kamu." Kata Langit. Nadanya setengah meninggi, terselip suara hujan. "Hujannya makin lebat. Gimana kalau aku antar kamu?"

Gadis itu masih berdiri di tempatnya, sedikit terkejut mendengar ajakan Langit. Seolah tengah menimbang-nimbang, ia menatap Langit sejenak, lalu ke arah hujan yang turun tanpa ampun.

“Kalau kamu berkenan, aku antar." Lanjut Langit. "Tidak lebih.”

Hujan mengisi jeda di antara mereka. Detik berikutnya, gadis itu mengangguk perlahan—anggun dan tenang. Anggukan yang kali ini tidak ragu, seakan sebuah keputusan kecil yang lahir dari kelelahan dan rasa percaya yang tiba-tiba tumbuh. “Baik,” Katanya lirih. "Kalau itu... tidak merepotkan kamu."

Langit tersenyum tipis. Ia mulai menggeser sedikit posisi payungnya, mencondongkan tubuhnya agar gadis itu terlindung bersamanya, hingga jarak di antara mereka menyempit—cukup dekat hingga hujan tak lagi menyentuh bahunya, cukup dekat hingga sesuatu yang lain ikut hadir.

Aroma khas kemudian lebih dulu sampai. Parfum maskulin yang lembut, hangat, namun tidak menyengat—perpaduan kayu dan sedikit jejak citrus yang bersih. Seperti bau hujan yang menempel di jaket kulit, tenang namun tegas. Bukan aroma yang memaksa untuk diperhatikan, melainkan yang pelan-pelan tinggal di udara.

Ketika mereka melangkah menuju mobil meninggalkan trotoar yang basah, gadis itu menahan napas tanpa sadar. Hangat merambat ke pipinya, membuat rona tipis muncul di sana. Ia menunduk sedikit, berpura-pura memperhatikan langkah kakinya, berharap Langit tak menyadari perubahan kecil itu.

"Masuklah." Ucap Langit sambil membukakan pintu mobilnya.

Gadis itu mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, dunia di luar seakan terpotong—suara hujan menjadi samar, digantikan keheningan yang lembut. Udara di dalam kabin menyambutnya dengan aroma orange yang bersih dan segar, menenangkan, seolah sengaja diciptakan untuk membuat siapa pun merasa aman.

Ia kemudian meletakkan payung di sisi kaki. Pandangannya mengikuti Langit yang berjalan memutar melewati kap mobil. Dari balik kaca depan, ia bisa melihat siluetnya yang sempurna itu sesaat tersapu cahaya lampu jalan, lalu menghilang ketika pintu pengemudi terbuka.

Langit masuk dan menutup pintu. Seketika, aroma itu berubah—bukan hilang, melainkan bercampur. Wangi orange yang segar berpadu dengan parfum maskulin Langit yang hangat. Kayu, sedikit citrus, dan sisa hujan. Perpaduan yang ganjil namun menenangkan, seperti rumah yang terasa asing tapi terasa akrab.

"Rumah kamu dimana?" Ucap Langit, nadanya kini terdengar rendah dan hangat.

"Jalan Anggrek nomor lima."

"Baiklah." Angguk Langit sambil menyalakan mesin mobilnya. Suaranya halus dan stabil. Hawa hangat dari AC mulai menyebar perlahan, mengusir dingin yang masih tertinggal di kulit gadis itu.

Tanpa sadar, gadis itu menghela udara dalam-dalam dan membiarkan campuran aroma itu memenuhi dadanya—hangat, bersih, dan entah mengapa...

Begitu menenangkan.

Mobil mulai melaju, meninggalkan genangan air dan lampu toko yang kian mengecil di kejauhan. Aspal basah memantulkan cahaya seperti kilau patah-patah, lalu perlahan lenyap di balik kaca belakang. Di dalam kabin yang sempit itu, hening mengendap—hanya diselingi bunyi wiper yang bergerak teratur, menyapu hujan dari kaca depan.

Suara itu berulang, ritmis, hampir seperti detak waktu yang diperlambat. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan, sementara kedua tangannya saling bertaut di pangkuan.

Langit yang semula fokus pada kemudi, sempat menoleh ke arah gadis itu lalu sembunyi menarik senyum. Entah mengapa, ada perasaan aneh yang membuat dadanya terasa menghangat sekaligus sesak. Bukan gelisah, bukan pula takut—lebih seperti sesuatu yang pelan-pelan tumbuh tanpa ia minta. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, namun rasa itu tetap tinggal, berdenyut halus di balik tulang rusuk.

"Sudah lama bekerja di toko bunga?" Tanya Langit tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.

Pertanyaan itu seolah kalimat pembuka untuk mencairkan suasana yang nyaris beku di antara mereka.

Detik berikutnya, gadis itu mengangguk. "Lumayan." Jawabnya. "Sudah hampir dua tahun."

Langit membulatkan bibirnya membentuk vokal O, refleks terlepas begitu saja dari bibirnya. Ia kemudian menyalakan lampu sein hingga terdengar suara ritmis dan konstan, mengisi ruang hening yang kembali terbentang di antara mereka. Hingga akhirnya Langit membelokkan mobilnya sepenuhnya. Setir kembali lurus, dan pada saat yang sama bunyi sein itu berhenti—senyap seketika, seolah diputus bersamaan dengan perubahan arah.

"Aku Langit Zayn Prasetya." Lanjut Langit melirik gadis itu lagi. "Kalau kamu?"

Gadis itu mengangkat wajahnya. Namun ia tak langsung menatap Langit. Bola matanya yang bulat justru menatap lurus ke depan, ke arah jendela mobil yang dipenuhi garis-garis air hujan. Cahaya lampu jalan melintas cepat, memantul di matanya yang tampak lebih bening dalam temaram.

Sejenak, ia melirik ke samping. Pandangannya singgah pada Langit—singkat saja—diiringi senyuman kecil yang nyaris tak sempat ditangkap dengan pasti. Senyum yang sederhana, namun cukup untuk meninggalkan jejak hangat sebelum akhirnya ia kembali menatap ke depan. "Arum." Katanya. "Arum Putri Lestari."

Langit mengangguk pelan. “Nama yang cantik,” ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman. “Seperti orangnya.”

“Uh?” Kata gadis itu menoleh, alisnya terangkat tipis.

Langit tersadar, sedikit berdeham. “Oh—enggak.” Ia cepat mengalihkan pandangan kembali ke jalan, seolah kalimat barusan hanyalah kekeliruan yang terlepas tanpa sengaja.

Namun gadis itu justru tertawa kecil. Tawa yang ringan, jujur—dan kali ini sepenuhnya memecah kebekuan di antara mereka. Suaranya mengisi kabin, lebih hangat dari udara sebelumnya yang berhembus dari ventilasi.

“Kamu pikir aku nggak punya telinga?” Katanya sambil tersenyum, matanya menyipit geli.

Langit ikut tersenyum, malu yang tak dapat ia sembunyikan sepenuhnya. Mobil terus melaju di bawah hujan, kemudian mengurangi kecepatan saat memasuki jalan yang dituju.

Nampak, lampu-lampu rumah mulai jarang, jalanan menyempit dan lebih tenang, dan genangan air tak lagi sedalam sebelumnya. Mobil melaju pelan, hampir hati-hati, seolah menyesuaikan diri dengan suasana yang lebih sunyi.

Gadis itu tersenyum kecil. Kali ini senyumnya lebih tenang, tanpa ragu. "Aku berhenti di sini saja,” Ucapnya lembut.

Langit menoleh sekilas, lalu mengangguk. Ia menginjak rem perlahan hingga mobil berhenti sempurna di sisi jalan.

Mesin masih menyala, hujan pun masih turun. Ada jeda singkat di antara mereka. Langit menatap keluar jendela mobilnya. Lalu, Kali ini, ia menoleh dan benar-benar menangkap wajah gadis itu seutuhnya. Lebih dekat, lebih jelas.

"Ru-Rumah kamu yang mana?" Tanya Langit kemudian.

“Rumah aku masuk ke sana.”

Gadis itu menunjuk ke Depan. Jari telunjuknya terangkat, mengarah ke sebuah jalan kecil yang membelah deretan rumah di depan sana.

Refleks, Langit mengikuti arah telunjuk itu, mengalihkan pandangannya ke jalan sempit yang tampak lebih gelap, hanya diterangi satu lampu jalan yang redup. Air hujan mengalir di sisi aspal, berkilau samar.

Langit mengangguk pelan kemudian. “Oh… iya.”

"Tidak mungkin mobilmu bisa masuk kesana." Lanjut gadis itu. "Nanti yang ada... mobil mewah kamu jadi lecet."

"Tidak mewah." Potong Langit cepat. "Ini cukup untuk membawaku pergi ke tujuan."

Kalimat itu meluncur sederhana, tanpa nada membela diri. Gadis itu tersenyum. Senyum yang kali ini bertahan sedikit lebih lama. Ada kilat kagum di matanya—bukan pada mobilnya, melainkan pada cara Langit memandang segala sesuatu dengan sederhana. Rendah hati, pikirnya. Dan entah kenapa, itu terasa lebih berharga daripada kemewahan apa pun.

"Aku antar kamu pulang sampai rumah, ya..."

"Tidak perlu..." Geleng gadis itu sambil meraih payungnya di bawah. "... Aku tidak ingin merepotkanmu. Terima kasih telah mengantar aku pulang... La-Langit."

Langit tersenyum. Ada getar halus saat namanya disebut—pelan, sedikit ragu, namun terasa sungguh. Dadanya menghangat, lalu perlahan terasa penuh oleh sesuatu yang tak ia sangka akan hadir malam ini. Bukan euforia, melainkan rasa tenang yang lembut, seperti hujan yang akhirnya jatuh tepat di tempatnya.

“Iya,” Ucap Langit singkat, nyaris berbisik.

Gadis itu membuka pintu. Udara dingin dan suara hujan kembali menyusup masuk. Sebelum benar-benar turun, ia menoleh sekali lagi, senyum kecilnya mengembang singkat—cukup untuk membuat Langit tahu bahwa pertemuan ini, meski singkat, tak sepenuhnya akan berlalu begitu saja.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!