Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua
#02
Pagi itu, di balairung istana Madangkara....
Para pejabat tinggi, abdi dalem, dan keluarga kerajaan sudah berkumpul, mereka duduk di dekat Prabu Wanapati. Sepasang mata raja muda itu berulang kali beralih ke pintu masuk, membalas penghormatan dari para tamu yang berdatangan. Semua sudah lengkap, para hulubalang, para menteri, sesepuh istana, utusan kerajaan – kerajaan kecil di wilayah Madangkara dan lainnya sudah duduk di tempatnya masing – masing, menunggu apa yang hendak dititahkan oleh junjungannya itu.
Berulang kali Raja Muda itu duduk, berdiri, berjalan kesana – kemari, keningnya berkerut, menggigiti bibirnya sendiri sambil sesekali meremas-remas tangannya. Ia tampak cemas, gelisah sementara, para pejabat yang sejak tadi memperhatikan gerak – geriknya, saling pandang dan saling bergumam. Ia tersenyum saat melihat hulu balang Ludika datang dan memberi hormat.
“Bagaimana, paman ? Apakah paman sudah menyampaikan titahku pada Shakila dan Permadi untuk datang ke Istana ? Dimana mereka ?” tanya Wanapati.
“Ampun, Gusti Prabu... hamba bersama dengan beberapa teman hamba sudah menjemput mereka di rumahnya, tapi, saat tiba disana ... rumah itu kosong. Permadi dan Shakila tidak ada disana,” kata Ludika.
Wanapati tampak geram, "Apa ? Tidak ada ? Kita sudah menunggu mereka lebih dari satu jam dan sampai kini belum juga nampak batang hidungnya. Ada apa sebenarnya, padahal hari ini aku akan mengangkatnya sebagai Kanuruhan, tanpa kehadiran mereka, upacara pelantikan tidak akan dilaksanakan,"
"Hei, Rayi Mas Prabu... " kata Raden Bentar, "Lihatlah ada beberapa orang prajurit datang tergopoh-gopoh..."
"Oh, itu prajurit yang hamba perintahkan untuk menjemput Permadi dan Shakila. Hai, prajurit masuklah... cepat laporkan apa yang sudah terjadi ? Mengapa Permadi dan Shakila tidak ikut bersamamu ?"
"Ampun, Gusti Prabu.... hamba sudah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuan Hulubalang untuk menjemput Tuan Permadi dan Gusti ayu Dewi Shakila... hamba mohon maaf... mereka berdua tidak ada di kediamannya,"
"Kurang ajar ! Berani sekali mereka meninggalkan Madangkara tanpa seijinku ! Perintahkan beberapa prajurit bersenjata lengkap, untuk mencari dan menangkap mereka !" ujar Prabu Wanapati gusar.
"Maaf, menyela Rayi Mas Prabu..." kata Raden Bentar, "Mungkin mereka ada urusan mendadak di luar sana... jadi, harap Rayi Mas Prabu jangan buru-buru mengambil tindakan,"
"Lalu, bagaimana menurutmu, kakang.... apakah harus didiamkan saja perbuatan mereka ? Jika dibiarkan, itu akan menjadi contoh yang buruk bagi para pejabat istana yang lain. Mereka adalah dua orang pejabat tinggi istana ini, kemanapun mereka pergi, harus seijinku... bukannya keluar tanpa kabar seperti ini. Mereka telah menghinaku,"
"Kendalikan diri Rayi Mas Prabu... kita tunggu dulu sebentar.... jika, masih menampakkan diri, hambalah yang akan mencarinya," ujar Raden Bentar.
Baru saja Raden Bentar menutup mulutnya, beberapa orang prajurit jaga muncul sementara di belakangnya tampak beberapa prajurit lain juga hadir sambil membawa dua buah tandu. Semua orang tersentak manakala mengetahui siapa yang terbaring di atas tandu itu. Permadi dan Shakila. Mereka terbaring lemas, tidak berdaya. Sekujur tubuhnya, matang biru, seperti habis dicengkeram oleh tangan-tangan raksasa, linglung dan pandangan matanya seakan kosong.
Permadi dan Shakila dibawa ke hadapan Prabu Wanapati. Kening raja muda itu berkerut, Raden Bentar dan Dewi Garnis membelalakkan mata melihat keadaan mereka.
"Apa yang terjadi pada mereka, Kakang Bentar ?" tanya Wanapati.
Raden Bentar tidak menjawab, ia menotok beberapa titik jalan darah di tubuh Permadi sementara Dewi Garnis juga melakukan hal yang sama pada Shakila.
Setelah mengurut tengkuk, pergelangan tangan dan punggung juga perut, Bentar dan Garnis menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Permadi dan Shakila.
Tak lama kemudian, dalam waktu yang bersamaan, Permadi dan Shakila memuntahkan darah merah kehitaman. Prabu Wanapati dan semua yang ada di Balairung istana bergidik menyaksikan kejadian itu.
Permadi dan Shakila membuka kedua belah kelopak matanya, masih terlihat sayu, lemas, tak bertenaga juga mungkin kaget atas apa yang telah menimpa mereka. Keadaan mereka, tidak memungkinkan menjelaskan apa yang sudah terjadi.
"Prajurit, dimana kalian menemukan mereka ?" tanya Prabu Wanapati kepada salah seorang prajurit yang duduk di lantai istana sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berani mengangkat atau bahkan menatap wajah junjungannya itu.
"Hamba, Gusti Prabu... kami sebenarnya, baru datang dari Tanjung Singguruh melaksanakan tugas yang diberikan oleh Gusti Prabu beberapa waktu yang lalu. Kami pulang mengambil jalan pintas agar sampai di Madangkara tepat waktu... Hutan Kana Gini. Sebelah Timur kerajaan, disana kami kebetulan berpapasan dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dia meminta bantuan kami menuju Timur untuk melerai tiga orang yang sedang terlibat pertarungan sengit. Kami menurut, saat kami tiba di tempat yang dimaksud... kami hanya mendapatkan Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila tergeletak tak berdaya sementara pemuda yang meminta bantuan kami, sudah tidak bersama-sama dengan kami... maka, rombongan terpaksa dipecah, sebagian kembali ke istana dan melaporkan hal ini pada Panglima Kaupati, sebagian lagi menjaga Tuan Permadi dan Gusti Dewi Shakila. Setelah mendapat keputusan dari Panglima Kaupati, kamipun membuat tandu untuk mengangkat tubuh mereka dan membawanya kemari," jelas prajurit itu.
"Kakang mas Raden Bentar, sebenarnya apa yang telah terjadi pada Shakila dan Permadi ?" tanya Wanapati.
"Kalau dilihat dari luka-luka yang dialami mereka... sepertinya, mereka terkena ajian serat jiwa. Tingkat pertama. Tapi, sedikit ganjil," jawab Raden Bentar, "Bagaimana menurut kak Garnis ?"
Dewi Garnis mengerutkan keningnya, "Benar. Ajian Serat Jiwa tingkat satu ... CAKRA MANGGILINGAN... Tetapi, terdapat perbedaan mencolok,"
"Di dunia ini, hanya beberapa orang yang benar-benar menguasai ajian serat jiwa sampai tingkat sepuluh... salah satunya adalah Ayahanda Brama Kumbara. Jikalau ada orang lain yang menguasainya, mereka semua sudah ditaklukkan oleh Ayahanda. Mengapa sekarang muncul lagi setelah sekian lama ajian itu boleh dibilang tidak ada yang menguasainya hingga tingkat sepuluh," ujar Bentar.
"Kak Bentar dan Kak Garnis, bukankah kalian juga termasuk orang-orang yang menguasai ajian Serat Jiwa itu ?" tanya Wanapati.
"Benar, tapi tidak menimbulkan luka sehalus ini... pemilik ajian ini, pasti memiliki tingkat kepandaian yang sama dengan Ayahanda," ujar Bentar.
"Kita harus menyelidikinya, Adi Bentar," Garnis mengusulkan.
"Tidak ada orang lain yang bisa menyamai ilmu kepandaian Ayahanda Brama. Itu tidak mungkin," sahut Wanapati. Raja muda itu mengalihkan pandangannya ke arah prajurit, "Prajurit... apakah kau masih ingat bagaimana perawakan tubuh orang yang kau maksud itu ?"
"Daulat, Gusti Prabu... orang itu mengenakan cadar hitam, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Tutur katanya begitu ramah dan sopan, dan pakaiannya bagai seorang brahmana, namun, berwarna hitam," jelas prajurit itu.
"Jadi, kau tak melihat wajahnya ?" tanya Wanapati lagi.
"Tidak, Gusti Prabu..."
"Hmm, tampaknya Madangkara ini mulai tidak aman... ada orang-orang yang sengaja membuat kerusuhan di Negeriku,"
"Ampun Gusti prabu," hulubalang Kaupati menyela, "Bagaimana jika hamba pergi untuk mencari tahu siapa orang itu ?"
Wanapati terpaku, wajahnya tampak tegang, tubuhnya bergetar hebat, ia mengepalkan kedua tangannya keras-keras hingga urat nadi dan otot-ototnya bertonjolan keluar. "Kurang ajar sekali orang itu, melukai dua orang istana... itu artinya, sama dengan melemparkan kotoran ke wajahku," desisnya geram. Ia menoleh ke arah Raden Bentar lalu bertanya.
"Kak Garnis , Kak Bentar... bagaimana menurut pendapatmu ?"
"Ampun, Gusti Prabu sebaiknya, biar hamba dan kak Garnis yang mencari tahu dimana keberadaan orang itu... bukannya hamba meremehkan kemampuan Hulubalang Kaupati... Sebaiknya, biarkan paman Kaupati di istana untuk berjaga-jaga. Madangkara membutuhkan tenaga, pikiran dan bantuan Paman Kaupati. Hamba khawatir akan keselamatan Gusti Prabu," jelas Bentar.
"Hmm, aku jadi teringat peristiwa dimana negeri kita kedatangan 2 orang biksu dari Tibet. Kekacauan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri, hanya karena kesalah pahaman belaka. Aku tidak menginginkan peristiwa itu terjadi lagi. Ibunda Dewi Paramitha, hamba mohon saran," kata Wanapati.
Dewi Paramitha, isteri pertama Brama Kumbara itu, sekalipun usianya sudah lanjut, namun, masih tetap jelita... tidak ada garis-garis ketuaan terpeta di wajahnya... sepasang matanya memancar penuh welas asih dan kebijaksanaan memandang ke arah putera dan puterinya secara bergantian... ia tersenyum.
"Ibu merasa, usul kakakmu Bentar itu bagus," kata Dewi Paramitha yang kemudian memandang ke arah Bentar dan Garnis yang tengah menundukkan wajah, secara bergantian.
"Bentar.... Garnis ....," sapanya lemah lembut.
"Daulat Ibunda," sahut mereka bersamaan.
"Menurut ibu, jika hanya mencari tahu identitas orang bercadar itu, mengapa kalian tidak menitahkan Paman Jalateja dan Jalatuka saja ? Mereka adalah dua diantara sekian banyak Panglima yang memiliki anak buah, tersebar di pelosok negeri ini,"
"Ampun Ibunda, Paman Jalateja dan Jalatuka masih bertugas menyelidiki kebenaran tentang kedatangan beberapa orang asing yang berasal dari Sunda Galuh... kami mendengar berita bahwa orang-orang Kuntala yang masih tersisa disana. Tersiar kabar bahwasannya, mereka kembali menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Madangkara," jelas Garnis.
"Kurang ajar !" seru Wanapati dengan suara gusar, "Orang-orang Kuntala itu, masih saja berani merongrong kewibawaan kerajaan Madangkara, ini tidak bisa dibiarkan," sambungnya.
"Mudah-mudahan itu hanya kabar burung semata, Gusti Prabu... para pendahulu kita, sudah bekerja keras menekan setiap pergerakan yang mencurigakan dan menghukum beberapa tokoh besar Kerajaan Kuntala. Bahkan, paman Kijara dan Paman Lugina sudah mengabdikan diri dan hidupnya kepada Madangkara yang kita cintai ini. Kalaupun masih ada yang ingin memberontak, kurasa itu adalah tindakan yang teramat sangat bodoh," kata Raden Bentar.
"Perkataanmu benar, kakang. Kalaupun Kuntala masih berani memberontak, kita akan membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Sejarah sudah membuktikan bahwa Madangkara, adalah sebuah negara besar. Terlalu tangguh untuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Kuntala," ujar Wanapati.
“Hutan Kana Gini, letaknya tak jauh dari sini, jika perkiraan hamba tidak salah .... orang bercadar itu masih berada di sekitar hutan tersebut. Ibunda, Rayi Mas Prabu, hamba dan Kak Garnis berangkat dulu. Siapa tahu, masih sempat mengejarnya,” kata Bentar.
“Bentar, Garnis, berhati hatilah ...”pesan Dewi Paramitha.
“Baik, Ibunda,” ujar Garnis dan Bentar. Sekali jejak tubuh dua muda – mudi itu melesat meninggalkan balairung istana menyisakan hembusan angin dingin yang membuat tubuh semua orang menggigil. Dalam sekejab mata, tubuh Garnis dan Bentar sudah menghilang dari pandangan semua orang.
..._____ Bersambung _____...