Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 2
Pagi menyambut gubuk reot itu dengan cahaya yang menembus celah-celah dinding. Bima membuka mata dan mendapati Dinda masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah gadis kecil itu terlihat damai, namun kelelahan. Pakaiannya yang tipis seolah tidak cukup menahan dinginnya pagi.
Bima bangkit. Tidak ada lagi keajaiban surga yang membuatnya otomatis merasa segar. Tubuh fana ini menuntutnya untuk bergerak, merasakan rasa pegal dari kerja keras Bima sebelumnya, bahkan rasa lapar yang nyata. Namun, di dalam kelelahan itu, ada sebuah kesadaran.
{Aku bukan lagi Dewa yang bertugas menghitung emas yang sudah ada. Aku adalah manusia yang harus menciptakan emas dari ketiadaan.}
Dia mengamati gubuk itu sekali lagi, tetapi kini matanya melihat data, bukan kemiskinan.
Variabel Sumber Daya Saat Ini:
Kayu Bakar (Dinda): Satu ikat penuh. Nilai tunai cepat: Rp 2.000.
Gubuk (Kerusakan Atap): Membutuhkan 2 lembar papan kayu. Biaya: Rp 10.000.
Lahan Belakang: Lahan kecil yang ditumbuhi gulma. Potensi nilai jual sayuran mingguan: Rp 5.000. Modal awal yang diperlukan: Benih sederhana (Rp 1.000).
Modal Tunai: Rp 0.
Strategi yang paling efisien, yang telah dipelajari Arta dari ribuan tahun perhitungan rezeki, adalah memulai dari aset yang paling likuid.
{Kayu bakar. Itu adalah aset Dinda. Walau kecil, itu adalah modal yang paling mudah diuangkan tanpa harus mencuri dari masa depan kami sendiri. Paling cepat, paling aman.}
Ia bergegas keluar, membawa seikat kayu bakar yang baru dipungut Dinda kemarin. Bima tidak ingin membangunkan adiknya. Ia menempatkan sebuah kertas kusut di samping kepala Dinda yang bertuliskan: Aku pergi sebentar untuk mencari sarapan. Jangan khawatir.
Dia berjalan menuju pasar kecil di pinggir desa, kira-kira satu kilometer jauhnya. Otot-ototnya memprotes setiap langkah, tetapi pikirannya sibuk merumuskan strategi penjualan.
Penjual kayu bakar biasa akan menjualnya di pinggir jalan dengan harga tetap, menunggu pembeli datang. Bima tahu itu tidak efisien. Waktu adalah mata uang yang harus dimaksimalkan.
Tujuan utama Bima bukanlah mendapatkan uang sebanyak mungkin, melainkan mendapatkan uang paling cepat untuk membeli benih. Target pasarnya bukanlah rumah tangga biasa, tetapi bisnis.
Matanya tertuju pada sebuah warung makan kecil di sudut pasar, yang asapnya mengepul tebal, menjual soto dengan kuah kuning yang menggoda. Warung itu pasti menggunakan kayu bakar dalam jumlah besar setiap hari.
Bima mendekati warung itu dengan percaya diri yang tidak dimiliki Bima si pemuda miskin, melainkan Arta si pengelola rezeki.
"Selamat pagi, Bu," sapa Bima sopan kepada pemilik warung yang sedang sibuk mengaduk kuah. "Maaf mengganggu. Saya melihat warung Ibu sangat ramai. Saya punya satu ikat kayu bakar kering terbaik. Saya tahu Ibu pasti membutuhkan pasokan cepat tanpa harus pergi jauh ke pasar utama."
"Kayu? Berapa?" tanya ibu itu, suaranya sedikit kasar karena sibuk.
"Untuk ikat biasa, harganya Rp 2.000," kata Bima. "Namun, saya berani memberikan tawaran yang jauh lebih efisien. Jika Ibu membeli milik saya, Ibu tidak perlu mengalokasikan waktu memasak untuk membeli kayu bakar baru selama sehari penuh. Waktu Ibu, seberapa berharga nilainya? Bukankah itu setidaknya Rp 4.000?"
Ibu pemilik warung menghentikan adukannya. Ia terkejut dengan nada bicara dan logika Bima yang tidak terduga dari seorang pemuda lusuh. Biasanya, penjual hanya memohon. Pemuda ini menawarkan efisiensi.
"Baiklah, aku beli. Aku butuh kecepatan," kata ibu itu, tersenyum kecil. "Ini, Rp 6.000. Ambil kembalian dari Rp 10.000 ini."
Bima mengambil uang itu. Itu adalah keuntungan 300% dari nilai standar.
{Kekayaan bukanlah tentang memiliki emas. Kekayaan adalah tentang mengenali nilai tersembunyi, lalu menukarnya dengan harga yang tepat. Nilai tersembunyi di sini adalah waktu dan kemudahan Ibu Warung itu.}
Di tangan Bima kini ada Rp 6.000.
Langkah berikutnya, benih.
Dia bergegas ke kios benih terdekat. Benih lobak (yang tumbuh paling cepat di tanah yang kurang subur) berharga Rp 1.000 per paket. Bima membeli satu paket, menyisakan Rp 5.000.
Dia tidak langsung pulang. Dengan Rp 5.000 yang tersisa, ia pergi ke warung terdekat dan membeli dua buah singkong rebus kecil. Satu untuk sarapannya, dan satu untuk Dinda.
Bima membayar Rp 2.000 untuk singkong itu, menyisakan Rp 3.000 di sakunya.
Kembali ke gubuk, Dinda sudah bangun, duduk dengan mata berkaca-kaca membaca catatan Bima. Melihat kakaknya datang, Dinda langsung berlari memeluknya.
"Kakak, kau kembali! Aku takut sekali..."
Bima menyerahkan singkong rebus itu. "Makanlah, Dinda. Ini adalah hasil kerja pertamaku. Hari ini, kita tidak lapar lagi."
Dinda menggigit singkong itu. Air mata haru mengalir di pipinya. "Singkong ini enak sekali, Kakak!"
Bagi Arta, si Dewa Kekayaan yang biasa menghitung perjamuan para dewa, makanan ini adalah sesuatu yang remeh. Namun, melihat kebahagiaan murni di mata Dinda karena singkong sederhana ini, rasa bangga itu kembali.
Setelah Dinda selesai makan, Bima mengajaknya ke halaman belakang.
"Dinda, mulai hari ini, kita akan menjadi petani. Kita akan menanam. Tanah ini adalah uang kita di masa depan."
Bima mulai menggali lahan yang tadinya penuh gulma dengan sekop lusuh milik Bima yang tersisa. Dia bekerja dengan kecepatan yang terukur dan efisien. Sementara Bima menggali, Dinda mencabut gulma, bersemangat untuk menjadi bagian dari proyek baru kakaknya.
Saat bekerja, Bima menyadari bahwa untuk melindungi Dinda dan membangun kekayaan yang stabil, gubuk itu harus diperbaiki, terutama atapnya. Dia masih membutuhkan Rp 7.000 lagi (Rp 10.000 - Rp 3.000).
{Rp 10.000 adalah harga untuk satu hari keamanan. Benih lobak akan menghasilkan Rp 5.000 dalam dua minggu. Terlalu lama. Aku perlu uang cepat, tetapi tanpa menjual aset Dinda.}
Matanya tertuju pada sebuah bangku kayu tua dan retak yang teronggok di sudut gubuk. Itu adalah bangku yang tadinya digunakan Bima untuk memotong kayu bakar, sudah tidak terpakai lagi.
Variabel Baru: Bangku Kayu Rusak. Analisis Nilai: Sebagai bangku, nilainya nol. Sebagai bahan bakar, nilainya Rp 300. Sebagai jasa pertukangan: Jika bangku ini diubah menjadi dua buah pasak penyangga dengan ukiran sederhana, ia dapat dijual kepada pedagang untuk pajangan.
Bima mengambil pisau tumpul yang tersisa dan mulai memahat bangku itu. Dalam waktu dua jam, dengan presisi perhitungan Dewa Kekayaan, ia berhasil mengubah kayu lapuk itu menjadi dua buah pasak sederhana dengan sudut pahatan yang rapi dan halus.
"Dinda, ayo kita ke pasar. Kita akan menjual benda ini."
Dengan Rp 3.000 dan dua pasak ukiran di tangannya, Bima kembali ke keramaian. Langkah ini bukan lagi tentang bertahan hidup, melainkan tentang investasi dan penciptaan nilai murni.
Dia tahu, kekayaan yang abadi dimulai dari setiap keping receh yang diperoleh melalui keringat dan kecerdasan, bukan dari berkat yang turun dari surga.