"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf
Setelah cairan infusnya habis, Anjani akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Dia merasa sangat bersyukur dengan kehadiran Anushka dan Enzo disisinya. Kedua orang itu mampu memberinya sedikit keyakinan bahwa dia tidak sendiri.
Masih ada orang yang menyayanginya.
"Anjani, apa kamu siap bertemu dengan Mama-mu?" tanya Anushka.
Kini, mereka sudah tiba di depan rumah Ibu Anjani. Sebuah rumah, yang tampak begitu asri dan indah, namun menyimpan banyak kesuraman didalamnya.
"Aku siap," jawab Anjani. Ia tersenyum.
"Baiklah! Kalau begitu, kita masuk sama-sama."
Ketiganya melangkah memasuki rumah dengan atmosfer yang kontras dengan bagian depan rumah itu. Saat masuk, suasana suram langsung menyelimuti. Hawa kesedihan dan kemarahan sang Ibu masih sangat terasa saat Anjani melangkahkan kakinya semakin dalam.
"Nona Anjani," sambut pembantu yang bekerja di rumah itu.
"Kemana yang lain?" tanya Anjani.
Perempuan berusia 45 tahun itu tampak menghela napas panjang. "Mereka sudah berhenti bekerja, Non. Nyonya Sandra bilang, dia tidak akan membayar gaji kami lagi mulai bulan ini."
Anjani mengepalkan tangannya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. "Lalu, kenapa Bibi masih bertahan di sini?"
Perempuan itu langsung menangis. "Saya tidak tega meninggalkan Nyonya Mariana sendirian. Apalagi, kondisi beliau sedang seperti itu."
"Bibi juga boleh pergi jika Bibi mau," ucap Anjani.
"Tidak," geleng wanita itu. "Saya ingin tetap di sini. Saya ingin tetap berada di samping Nyonya Mariana. Beliau yang dulu membawa saya dari jalanan hingga bisa memiliki tempat berteduh dan juga pekerjaan yang layak. Nyonya Mariana selalu menganggap saya sebagai keluarga. Jadi, mana mungkin saya tega meninggalkan Nyonya Mariana, Nona."
Perempuan itu kemudian mengusap air mata dengan punggung tangannya.
"Sekalipun tidak digaji, saya tetap ingin berada di sini. Tolong jangan usir saya, Nona!" lanjutnya memohon.
Anjani menatap wanita itu dengan perasaan penuh haru. Dia kembali berhasil menemukan satu orang yang masih setia berada disampingnya dan juga sang Ibu.
"Terimakasih karena Bibi tidak pernah meninggalkan Mama," lirih Anjani. "Mulai sekarang, saya yang akan membayar gaji Bibi. Jadi, Bibi tenang saja!"
Mendengar ucapan Anjani, perempuan itu pun tersenyum lega.
"Terima kasih banyak, Nona."
"Dimana Mama?" tanya Anjani kemudian.
"Beliau ada di kamarnya," jawab pembantu itu.
"Apa beliau masih suka mengamuk?"
"Seharian ini, beliau hanya diam saja. Dia terus melamun dan menolak untuk berbicara dengan saya."
"Aku ingin bertemu Mama."
"Tapi, Non..." Perempuan itu melihat Anjani dengan ragu. Ada yang ingin dia sampaikan namun mendadak tertahan di tenggorokan.
Anjani pun memegang tangan sang pembantu. "Bibi tenang saja. Aku pasti akan baik-baik saja."
"Kalau begitu, Nona hati-hati, ya!"
Anjani pun mengangguk. Dia mengumpulkan banyak keberanian sebelum mengetuk pintu kamar didepannya.
"Anjani, kami ikut masuk, ya!" kata Anushka yang reflek memegang tangan Anjani saat perempuan itu hendak memutar kenop pintu.
"Tidak usah. Kamu dan Pak Enzo di sini saja," tolak Anjani.
"Tapi, kalau Mama kamu berbuat kekerasan lagi, bagaimana?" tanya Anushka dengan perasaan khawatir.
"Tidak akan," jawab Anjani.
Dia pun melanjutkan gerakan untuk memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, perempuan paruh baya yang sedang melamun sambil memeluk kedua lututnya itu reflek menoleh.
"Mama..." panggil Anjani.
Mariana menatap Anjani dengan lekat. Tak berselang lama, tangisnya pecah. Dia hendak menghambur memeluk putrinya, namun tidak bisa bergerak terlalu jauh akibat rantai yang melilit kedua tangan serta lehernya.
"Anjani..." Mariana balas memanggil.
Rantai yang bergesekan dengan pinggiran tempat tidur terdengar cukup menganggu telinga. Hal itu bagai sebuah ledakan yang sukses menghancurkan hati Anjani.
"Bibi!!!" teriak Anjani dengan suara keras. "Bi Lina!!" lanjutnya dengan suara yang lebih keras.
Tertatih-tatih, perempuan yang dipanggil namanya langsung berlari masuk ke kamar.
"Ada apa, Non?" tanya Bi Lina.
"Itu..." tunjuk Anjani dengan air mata yang jatuh berderai. "Siapa yang memasang rantai itu pada Mama-ku?" teriaknya histeris. Seluruh tubuhnya sampai gemetar karena marah.
Anushka dan Enzo yang mendengar teriakannya juga ikut masuk. Keduanya cukup syok saat melihat kondisi Ibu kandung Anjani.
"I-itu, Nona... Tuan Anton dan Tuan Aryan yang memerintahkannya," jawab Bi Lina takut-takut.
Argghh!!
Anjani maju mendekati sang Ibu. Ia yang tidak bisa berpikir dengan jernih langsung menarik-narik rantai itu agar bisa terlepas.
Namun, sekuat apapun tenaganya, dia tak bisa mematahkan rantai besi tersebut dengan tangan kosong.
"Anjani, tanganmu bisa terluka!! Hentikan!" cegah Enzo saat Anjani masih ingin mencoba lagi.
"Lepas! Aku harus melepas rantai-rantai terkutuk ini." Anjani menepis tangan Enzo yang ingin menyentuhnya.
"Kita cari cara lain. Kalau hanya menggunakan tangan, usaha kamu nggak akan berhasil."
Namun, Anjani seolah tuli. Dia terus berusaha menarik rantai itu agar terputus. Kulit tangannya bahkan sudah memerah dan sedikit terkelupas.
"Kenapa nggak mau lepas?" teriak Anjani kalap.
"Cukup!!!" bentak Enzo. Dia memeluk Anjani dari belakang lalu menahan kedua tangannya.
"Lepas, aku harus melepaskan rantainya, Pak Enzo! Mama-ku bukan anjing. Dia tidak seharusnya di rantai seperti ini. Mama-ku manusia. Mama-ku manusia, Pak Enzo!" teriak Anjani lagi.
"Ya, aku tahu!" sahut Enzo. "Tapi, caranya tidak seperti ini. Kita coba cari cara lain untuk melepas rantainya, ya!" bujuknya sambil memutar tubuh Anjani agar menghadap ke arahnya.
Anjani tampak terdiam. Air mata membuat wajah Enzo jadi buram di matanya.
"Kamu percaya padaku, kan?" tanya Enzo lagi. "Aku yang akan melepas rantainya tanpa melukai Mama kamu. Tapi, kamu harus tenang dulu!" lanjut pria itu membujuk sambil menangkup wajah Anjani dengan kedua telapak tangannya.
Anjani perlahan mengangguk. Dia perlahan mulai tenang. Namun, tangisnya justru terdengar semakin pilu.
Dia menggenggam erat jaket hitam yang dikenakan Enzo. Kepalanya ia tenggelamkan di dada pria itu.
"Kenapa mereka jahat sekali? Kenapa mereka tega memperlakukan Mamaku seperti ini? Mama-ku bukan anjing. Dia bukan hewan."
Anushka juga sudah ikut menangis. Dia ikut mendekat lalu memeluk Anjani dari belakang.
"Jangan menangis! Sudah!" ucap Enzo yang mengelus puncak kepala Anjani dengan penuh kelembutan.
"Aku membenci mereka. Aku sangat membenci mereka," kata Anjani. "Aku ingin membalas mereka semua. Aku ingin membuat mereka semua jadi menderita."
"Ya, lakukan saja! Aku akan membantumu."
Anushka reflek mendongak menatap wajah sang Paman. Fix, sepertinya sang Paman memang memiliki perasaan istimewa kepada Anjani. Namun, sejak kapan rasa itu dimulai? Anushka jadi penasaran.
"An-ja-ni..." panggil Mariana patah-patah. "Kamu Anjani?" lanjutnya bertanya.
Anjani berbalik. Dia menatap sang Ibu sambil mengusap air matanya.
"Ya, ini Anjani, anak Mama."
Mariana tiba-tiba menangis histeris. Dia bersujud diatas tempat tidur berkali-kali. Mulutnya hanya mampu mengeluarkan satu kata secara berulang. Sebuah kata yang membuat Anjani benar-benar merasa hancur.
"Maaf! Maaf! Maaf! Mama tidak bermaksud begitu. Maaf!!"
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏