Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. MALAM PERTAMA
Hujan turun rintik di luar jendela, membasahi kaca mobil hitam yang meluncur perlahan menembus jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul di permukaannya, berkilau bagai serpihan cahaya yang terpecah. Di dalam mobil itu, keheningan menggantung di antara dua manusia yang baru saja diikat dalam janji suci, janji yang bagai belati di balik bunga.
Rubiana duduk di kursi penumpang, kedua tangannya menggenggam erat ujung gaun putihnya yang kini sudah lusuh karena perjalanan dan air hujan. Napasnya terasa berat, dada naik-turun tak beraturan. Di sampingnya, Elias menatap lurus ke depan, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Setiap kilatan cahaya dari jalan memantulkan rahang tegasnya yang menegang, dan pandangan matanya seperti baja yang diselimuti dendam.
Tak ada kata yang terucap sejak mobil meninggalkan gedung pernikahan sore tadi. Semua berlangsung cepat dan tak terduga, pernikahan, sumpah, dan kini perjalanan menuju rumah pria yang bahkan tak sempat memandangnya dengan penuh kesadaran.
Rubiana menelan ludah, mencoba memberanikan diri.
"Elias?" Panggil Rubiana dengan suara yang nyaris tenggelam oleh deru mesin. "Aku .. aku ingin menjelaskan sesuatu."
Pria itu menoleh sekilas, tatapannya menusuk seperti duri.
"Diam," perintah Elias datar. "Aku tidak ingin mendengar suaramu malam ini, Vivian."
Nama itu, Vivian.
Rubiana memejamkan mata sesaat, menahan getaran di dadanya. Ia ingin berteriak bahwa ia bukan Vivian, bahwa ia hanya gadis biasa yang terjebak dalam kesepakatan gila keluarga itu. Tapi setiap kali ia membuka mulut, lidahnya terasa kelu, seperti ada tali yang menahan seluruh keberaniannya.
Mobil berhenti di depan rumah besar dengan arsitektur klasik modern, berdiri megah di tengah pekarangan yang sepi dan sunyi. Cahaya lampu di teras tampak dingin, seolah menolak kehangatan. Ketika Elias keluar dari mobil, ia tak menoleh ke belakang untuk menunggu Rubiana. Ia hanya berjalan dengan langkah panjang dan tegap, membiarkan gadis itu berlari-lari kecil di belakangnya sambil mengangkat sedikit ujung gaun pengantin agar tak terseret tanah.
Begitu pintu besar terbuka, aroma kayu tua dan udara lembab menyambut mereka. Rumah itu luas, tapi kosong dari kehidupan. Tak ada tawa, tak ada sambutan pelayan, hanya suara angin yang menyelinap dari jendela.
"Elias?" panggil Rubiana pelan, ragu.
Elias tidak menjawab. Ia hanya menoleh sekilas, matanya menelusuri wajah gadis itu, atau lebih tepatnya, wajah yang ia percayai milik perempuan yang telah menghancurkan hidup adiknya. Ada amarah lama yang menyalakan sorot matanya, amarah yang bertahun-tahun tersimpan tanpa pelarian.
"Ke mari," katanya pendek. Ia berjalan menyusuri lorong panjang dengan lantai marmer yang dingin. Rubiana mengikuti di belakang, menatap sekeliling rumah yang asing itu. Dindingnya penuh dengan lukisan, tapi banyak yang ditutup kain putih seperti rumah yang ditinggalkan lama.
Ketika mereka sampai di ujung lorong lantai atas, Elias berhenti di depan sebuah pintu kayu tua. Ia membukanya tanpa berkata apa-apa.
"Inilah kamarmu."
Rubiana menatap ke dalam. Ia tertegun.
Ruangan itu kecil, berdebu, dan nyaris kosong. Tirainya sobek di beberapa bagian, ranjang kayunya usang, dan aroma lembab menusuk hidung. Tak ada bunga, tak ada karpet lembut, tak ada sentuhan yang menandakan rumah seorang pengantin baru. Jelas itu lebih mirip gudang dibandingkan kamar.
"Ini kamar untukku?" suara Rubiana bergetar.
Elias menatapnya dingin. "Ya. Kau tak layak mendapat lebih."
"Kenapa kau-"
"Aku tidak mengizinkan kau bicara," potong Elias dengan nada kasar.
Nada tajamnya memotong udara.
Rubiana menunduk. Jantungnya berdegup cepat. Ia menggenggam ujung gaunnya, mencoba menahan air mata yang mengambang di pelupuk mata. Ia tahu, Elias tidak tahu kalau Elias ternyata tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi menyaksikan kebencian itu nyata di matanya, itu cukup menyakitkan karena bagaimana pun tatapan itu saat ini ditujukan untuk Rubiana.
Elias berbalik, melangkah dua langkah menjauh, lalu berhenti. Suara napasnya berat. Ia seolah bergulat dengan pikirannya sendiri, tapi akhirnya ia menatap kembali Rubiana.
"Kau ingin tahu kenapa aku menikahi perempuan jalang sepertimu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya rendah dan dalam. Penuh kebencian.
Rubiana menatapnya tanpa berani menjawab.
Elias mendekat perlahan, langkahnya berat namun pasti, hingga kini jarak mereka hanya sejengkal. “Aku menikahimu, Vivian, bukan karena aku menyukaimu. Aku melakukannya karena aku ingin kau merasakan sedikit dari apa yang telah adikku rasakan ... dari apa yang telah kau rusak."
Darah Rubiana seakan berhenti mengalir.
Adiknya?
"Adikmu?" tanyanya pelan.
Elias mengangguk. Matanya memanas, tapi bukan karena cinta, karena luka.
"Liana. Kau tahu nama itu, bukan? Dia tak pernah lagi sama sejak pertemuannya denganmu. Kau dan geng-mu di kampus telah menghancurkannya. Dia butuh waktu bertahun-tahun untuk sekadar bisa berbicara tanpa ketakutan. Untuk bisa menatap cermin tanpa menangis," kata Elias yang tergambar rasa sakit luar biasa.
Air mata jatuh dari mata Rubiana, tapi bukan karena rasa bersalah, melainkan karena putus asa bahwa ia kini terlibat pada hal buruk yang ia tidak tahu. Ia bahkan tak tahu siapa itu Liana. Ia ingin menjelaskan, ingin berkata bahwa semua ini salah orang, tapi bibirnya tak sempat bergerak.
Elias sudah menatapnya dengan mata yang membara.
"Kau pikir pernikahan ini akan jadi pernikahan yang manis dan memberimu kemewahan? Tidak, Vivian," katanya tajam. "Ini penjara. Dan aku adalah hakim yang menuntut balas."
Lalu, sebelum sempat Rubiana mundur, Elias menarik tangan sang gadis dengan keras. Gadis itu tersentak, nyaris terjatuh, lalu tubuhnya terhuyung menabrak dada pria itu. Elias mencengkeram kedua lengannya, terlalu kuat hingga meninggalkan bekas di kulitnya.
"Elias ... tolong dengar-"
"Diam!" sergah Elias.
Nada itu seperti cambuk. Elias mendorong pintu kamar pria itu lalu menarik Rubiana masuk.
Cahaya lampu kamar temaram. Di sudut ruangan ada ranjang besar dengan sprei putih bersih, berbanding terbalik dengan kamar yang tadi ditunjukkan untuknya. Rubiana mundur beberapa langkah, napasnya cepat, wajahnya pucat.
Elias menatapnya, matanya tajam namun di balik itu ada sesuatu, luka yang lama, dendam yang membara.
"Aku ingin kau tahu bagaimana rasanya dipermalukan. Bagaimana rasanya kehilangan kendali atas hidupmu. Seperti yang Liana rasakan karena kau," geram Elias.
"Bukan aku!" teriak Rubiana spontan, air matanya jatuh membasahi pipinya. "Aku bukan-"
Tapi sebelum kata-kata itu selesai, Elias sudah mendorong kasar Rubiana ke tempat tidur. Tubuh kecil gadis itu terhempas, gaunnya berkeresak, kepalanya nyaris menghantam kepala ranjang. Ia menggigit bibirnya, menahan isak.
Elias berdiri di ujung ranjang, napasnya berat, jari-jarinya mengepal. Tapi saat menatap gadis yang gemetar di depannya, wajah yang pucat, mata yang membulat ketakutan, ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya.
Namun amarah lebih kuat. Dendam yang sudah pria itu pupuk bertahun-tahun menelan empati yang sempat muncul sesaat.
"Kau akan tahu bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa melawan. Aku akan menunjukkan padamu apa artinya kehilangan kendali," kata Elias yang naik ke atas ranjang.
Rubiana menggeleng keras, air matanya jatuh tanpa suara. "Aku mohon ... dengarkan aku dulu .. aku bukan-"
Elias tak mendengarkan, dengan kasar ia melucuti gaun Rubiana, membuat gadis itu merasa bagaimana dipermalukan. Elias menunduk, mendekat, dan dalam keheningan yang mencekam itu hanya terdengar napas mereka yang terengah dan suara hujan yang makin deras di luar jendela. Elias terus menyentuh dan menciumi dengan kasar diri Rubiana.
Sang gadis berontak, berusaha melepaskan diri bahkan memohon. Namun Elias tidak mendengarkan, ia justru seperti terbutakan oleh dendam dan juga hasrat yang tidak bisa ia jelaskan ketika menyentuh gadis itu.
"Elias, kumohon ... dengarkan aku," isak Rubiana.
Ia tak mendengar kata-katanya lagi. Ia hanya melihat wajah yang menurutnya telah menghancurkan hidup seseorang yang ia cintai. Dan di balik itu, suara batin kecil Elias berteriak; lakukan ini, agar kau bisa tenang.
Ketegangan berubah menjadi kekerasan yang tak sepenuhnya Elias sadari, dan Rubiana hanya bisa menangis dalam diam, menahan perih dan ketakutan yang tak bisa diucapkan. Dunia seolah memudar di sekitarnya.
Hanya rasa dingin, nyeri, dan kehancuran.
Dengan sekali hentakan kasar Elias menerobos kesucian Rubiana, ingin memberikan rasa pelecehan untuk perempuan yang menghancurkan hidup adiknya.
"AGHH! SAKIT!" teriak Rubiana ketika merasakan sesuatu dalam dirinya robek. Membuatnya seperti terbelah menjadi dua dalam rasa sakit yang luar biasa.
Lalu hening.
Elias menghentikan gerakannya, seseorang seolah menyiram dirinya dengan air es. Elias menegakkan diri dari tubuh Rubiana, napasnya terengah. Ia menatap gadis yang kini terbaring diam, tubuhnya gemetar, wajahnya penuh air mata dan rasa sakit
Dan ketika Elias melihat noda merah di sprei putih darah dunia seakan berhenti berputar.
Ia membeku.
Darah? Tidak mungkin. Vivian? Tidak mungkin, batinnya.
Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, tubuhnya terguncang oleh tangis yang menyayat hati.
Elias melangkah melepaskan penyatuannya, matanya melebar tak percaya. Dalam sekejap, semua amarahnya runtuh.
Ia menatap noda merah itu lagi.
Kenyataan menamparnya begitu keras hingga dadanya terasa sesak. Vivian, perempuan yang ia kenal sebagai penggoda, perusak, yang hidupnya penuh pesta dan pria ... tidak mungkin suci.
Tapi kenyataannya terpampang di depan matanya. Gadis ini masih perawan.
"Tidak," suara Elias nyaris tak terdengar. "Ini tidak mungkin."
Rubiana menggigit bibir, menahan rasa sakit yang masih menderanya. Ia tidak sanggup bicara, tidak sanggup menjelaskan. Hanya air mata yang terus mengalir.
Elias mendekat perlahan, wajahnya kehilangan warna. Untuk pertama kalinya malam itu, ia melihat bukan sosok musuh di depannya, melainkan gadis muda yang ketakutan, terlalu murni untuk semua kebencian yang ia tumpahkan.
Ia berlutut dan merendahkan tubuhnya ke arah sang gadis. Tangannya terulur, ragu-ragu, lalu perlahan menyentuh rambut gadis itu yang basah oleh keringat dan air mata.
"Tenanglah, aku tidak akan memaksa lagi," katanya yang mengejutkan justru berubah lembut.
Rubiana tak menjawab. Ia hanya menggigil, gemetar oleh rasa takut dan kesakitan.
Elias menatap wajah gadis itu lama, napasnya berat dan penuh penyesalan yang tiba-tiba menyesak.
"Katakan padaku dengan jujur, kau Vivian Adams?" tanyanya. Elias tidak bodoh untuk melihat hal sekecil ini. Jelas Elias tahu bahwa Vivian tidak lagi suci, perempuan yanh menyukai pesta dan tidur dengan banyak pria tidak mungkin suci. Karena Elias sendiri yang melihat kalau Vivian pernah masuk ke sebuah hotel bersama pria, dan itu tidak sekali.
Rubiana menggeleng pelan dalam isakannya.
Elias tertegun, bingung apakah ia harus marah atau tidak. Namun melihat wajah kesakitan dan air mata yang mengalir deras di wajah gadis di bawahnya ini, membuat Elias tidak ingin bertanya lebih jauh dulu. Ia menggeser tubuhnya untuk duduk di sisi sang gadis.
Elias menarik selimut, menutupi tubuh gadis itu perlahan, gerakannya kini hati-hati, lembut, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh dan suci.
Rubiana tetap diam, tapi tangisnya kini mereda menjadi isak kecil. Dalam hatinya, ketakutan dan kebingungan berbaur jadi satu. Ia tak tahu apakah harus membenci atau iba pada pria itu.
Elias duduk di tepi ranjang, memejamkan mata.
"Siapa kau sebenarnya?" bisiknya pelan.
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, setengah untuk dirinya sendiri, setengah untuk gadis yang kini tertidur karena kelelahan dan trauma.
Hujan di luar semakin deras, seperti hendak mencuci semua dosa dan amarah malam itu. Tapi noda di hatinya tak akan mudah hilang.
Elias menatap tangan kanannya, tangan yang tadi ia gunakan untuk melukai. Lalu, entah kenapa, ia menatap kembali gadis itu dengan pandangan berbeda. Ada sesuatu yang lembut, samar, nyaris seperti rasa bersalah yang dalam.
Ia mengusap pelipis gadis itu perlahan, membiarkan jemarinya menyentuh rambut lembut yang kini acak-acakan. Tak menyangka kalau ia menyakiti gadis yang bukan musuhnya. Gadis yang tidak seharusnya merasakan kesakitan dan kekerasan itu.
"Maaf," katanya nyaris tanpa suara. "Aku tak seharusnya ...."
Namun kata-kata itu tenggelam oleh suara hujan di luar.
Malam itu, dendam dan kebencian Elias mulai retak, sedikit, tapi nyata. Ia tak tahu siapa sebenarnya gadis itu, tapi sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Dan Rubiana, dalam diamnya yang penuh luka, hanya bisa berdoa dalam hati agar hari esok membawa kesempatan untuk mengungkap kebenaran, bahwa ia bukan Vivian, bukan perempuan yang menjadi sumber semua penderitaan itu.
Malam pertama mereka bukanlah malam cinta, melainkan malam penyesalan.
Dan sejak saat itu, keduanya terjebak dalam kisah yang tak bisa dihapus, kisah yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya