Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Sumpah, laki-laki itu kyut banget!" kata Putri Ayu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya sibuk melipat tumpukan kaus dengan rapi. "Kalau aku nggak lagi jalan sama pacar, udah aku samperin dia tadi malam di Kedai Kopi Galuh. Kamu kok belum ketemu dia, Kak Sinta?"
Sinta Lestari tersenyum melihat Putri , internnya yang masih kuliah dan punya semangat besar di dunia fesyen. Ia memilih mengisi kerja praktek di butik pinggir pantainya sambil berlibur daripada di dalam mall ditengah kota. Sifatnya yang ceria membuat butik mereka jadi lebih hidup, walaupun dia masih perlu banyak belajar.
"Arum sudah beberapa kali meminta kita makan bersama, tapi kayaknya belum jodoh," jawab Sinta. "Tapi dia kayaknya terlalu tua buat kamu nggak sih?"
Putri menghela napas, matanya menerawang. "Siapa peduli? Aku kan cuma mau main-main, bukan mau nikah!"
Bella Kartika, manajer sekaligus sahabat Sinta, menyahut dari balik kasir. "Aku dengar. Dia juga lagi bantuin Fajar menginstal aplikasi untuk tokonya dan semua pembukuan toko nya menjadi sangat sangat baik."
"Aku nggak nyangka dia asalnya dari Jakarta," kata Bella. "Dia cepat banget beradaptasi di sini."
"Mungkin dia bakal betah dan menetap," timpal Sinta, terhibur dengan gosip yang seru ini. Pangandaran memang indah dan banyak turis, tapi kota ini sebenarnya kecil. Jadi, penduduk lokal senang sekali ada pendatang baru yang menarik, apalagi cowok misterius dan cakep seperti Kevin.
Kevin memang cepat terkenal. Suatu hari, dia datang ke rumah Bagas dan langsung bekerja di Bagas Tours, memandu tur melihat objek wisata disekita pantai pangandaran. Kevin adalah sahabat Bagas. Arum, adik Sinta, datang dari Jakarta dan mulai pacaran dengan Bagas, jadi dia langsung terpesona dengan Kevin. Semua perempuan tergila-gila ingin kencan sama Kevin. Tapi, setiap kali Arum memaksa Sinta untuk ketemu, Sinta selalu menolak.
Dia memang lagi nggak tertarik mengejar pria paling hits di kota. Dia lagi nggak tertarik sama cowok mana pun saat ini.
"Mungkin kali ini kamu beneran coba, ya?" kata Bella Kartika sambil terkekeh. "Kamu tuh udah nolak semua cowok di kota ini, lho."
Sinta menatap Bella dengan tatapan peringatan. "Jangan mulai deh! Kalau kamu terusin, aku bakal bikin pengumuman diskon dan maksa kamu lembur. Pelanggan nggak perlu tahu soal kehidupan cintaku."
"Emang ada kehidupan cinta, Sinta?" goda Bella.
Putri dan si pelanggan tadi tertawa. Sinta menarik napas. Dia sudah terbiasa dengan ejekan teman-temannya. "Sudah, mending kita fokus aja sama kerjaan. Nanti juga Kevin masih ada pas toko tutup."
Pas banget, bel pintu berbunyi, menandakan sekelompok pelanggan baru datang. Sinta senang bisa kembali ke rutinitasnya mengurus Modest Butik, toko kesayangannya yang dia bangun dari nol. Suasana toko dipenuhi obrolan hangat dan aroma lavender. Sinta menatap sekeliling dengan bangga.
Butiknya terletak di Pangandaran, dekat kafe dan toko mainan. Dulu, dia tahu nggak akan sanggup sewa tempat di pinggir pantai. Untungnya, dia dapat tempat komersial terakhir di area ramai ini.
Modest Butik menjual pakaian, perhiasan, dan aksesori unik bergaya pantai. Nggak ada kaus atau mug murahan di sini. Rak-raknya diisi parfum mewah, kotak perhiasan, dan lilin. Sinta tahu dekorasi itu penting, makanya tokonya didesain lapang dan menarik di setiap sudut. Ini bukan cuma toko baju, tapi juga sebuah pengalaman.
Hidupnya banyak berubah beberapa tahun terakhir. Dulu, saat mantan suaminya membawanya ke sini dari Jakarta, Sinta sempat kesulitan. Dia ingin dekat dengan adiknya, Arum, tapi mantan suaminya dapat pekerjaan bagus, dan Sinta merasa nggak punya pilihan karena suaminya sumber uangnya. Dia baru lulus kuliah sosiologi saat orang tuanya meninggal. Pilihan yang sangat cerdas, pikirnya sinis.
Dia berakhir di Pangandaran tanpa teman, keluarga, atau pekerjaan. Sinta sempat berjuang keras untuk jadi istri sempurna dan mencari jati dirinya.
Sekarang, dia sudah punya jalannya sendiri. Dia punya teman, adik yang dekat, dan bisnis yang sukses. Dia bukan lagi wanita bimbang dan hilang arah yang hidupnya hancur karena ditinggal di altar pernikahan.
Dulu, dia nggak pernah membayangkan bisa kerja di dunia fashion. Dia pikir orang yang punya butik pasti lulusan sekolah mode. Tapi setelah dia kerja di butik setelah kejadian itu, dia sadar banyak staf yang tidak tahu apa-apa.
Kurang dari setahun, dia lebih mengerti cara mengelola butik daripada pemiliknya sendiri. Dan karena dia terlalu vokal, dia malah dipecat. Itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padanya.
Sinta ikut banyak kelas bisnis online, lalu mengajukan pinjaman bank buat buka butik sendiri. Rasanya seperti semesta membukakan jalan untuknya, menyingkirkan semua rintangan. Dan sekarang, Modest Butik sukses. Dia punya banyak pelanggan setia, bahkan saat sepi turis. Sinta selalu semangat bangun pagi untuk bekerja.
Andai saja dia punya seseorang untuk berbagi.
Sinta mengenyahkan pikiran itu dan kembali fokus. Butiknya sudah ramai lagi. Bella K mengobrol dengan remaja yang sedang mencoba kalung, dan Putri sibuk di kasir. Waktu berjalan cepat.
Saat toko agak sepi, Bella menghampiri. "Putri , istirahat gih. Makasih ya udah bantuin pas lagi ramai."
Putri tersenyum senang. "Sama-sama. Oh ya, Kak Bella, bisa sisihkan anting perak yang baru itu buatku? Aku dapat diskon, kan?"
Bella menyeringai. "Tiga puluh persen. Koleksi Tulola kan?"
"Iya, keren banget!"
Sinta tertawa. "Aku aja sampai bujuk Lola buat kasih lebih banyak barangnya. Tenang, aku simpan buat kamu, tapi jangan boros-boros. Kamu butuh buat biaya kuliah."
Putri menyeringai nakal. "Tapi aku harus tampil cantik dulu dong. Sampai jumpa!" Dia keluar, celana jeans, crop top lucu, dan kepang rambutnya jadi iklan berjalan yang sempurna buat butik mereka.
Bella menghela napas. "Kamu ingat nggak kita dulu gimana?"
"Nggak," jawab Sinta singkat.
Bella menggeleng sambil mengambil salad dari kulkas. "Ingat dong. Aku dulu suka pesta dan tiap bulan gonta-ganti pacar. Khawatir sama masa depan, dan mikir kalau aku nggak cukup kurus atau cantik. Sayang banget."
Sinta mulai melipat kaus lagi. "Masa muda emang disia-siakan oleh anak muda, ingat? Kita nggak bisa ngasih tahu mereka apa-apa karena mereka harus mengalaminya sendiri, kayak kita dulu. Setidaknya kamu sudah mau menikah dengan seorang pria yang baik."
Bella duduk dan membuka makanannya. "Percaya deh, Ibu sempat khawatir. Dia lebih sayang Gilang daripada aku karena sikap Gilanf di dekatnya. Kayak Gilang udah berbuat baik banget karena mau nikahin aku."
"Oh ya?" goda Sinta.
Bella pura-pura melotot. "Lucu! Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku mau nanya, kamu mau ketemu seseorang nggak?"
"Oh, tentu saja nggak. Nggak, setelah pertemuan terakhir yang kamu tipu-tipu."
"Ayolah, Sinta! Mana aku tahu kalau dia masih tinggal di rumah ibunya? Kata Gilang, dia udah dapat promosi dan karirnya lagi naik."
"Aku lelah kencan buta dan hubungan yang dipaksakan. Aku lebih suka di rumah aja. Semesta pasti akan kirim orang yang tepat kalau aku sudah siap."
Bella menatapnya tajam. "Kamu habis makan mecin ya? Percaya sama takdir itu bukan Sinta banget. Kamu tuh tipe yang bikin sesuatu terjadi, ingat? Kamu percaya sama diri sendiri."
Sinta merapikan lilin di rak. "Jangan bilang aku ngomong omong kosong itu. Kedengarannya kayak influencer motivasi. Kalau memang ada pria yang ditakdirkan buatku, dia bakal muncul di depan pintuku, atau—entahlah—muncul begitu saja! Nah, sampai saat itu, aku lagi mikirin langkah besar dan butuh saranmu."
"Oke, aku dengerin. Tapi kamu harus coba aplikasi kencan," jawab Bella.
"Bella, ini serius. Aku butuh komitmen yang sungguh-sungguh."
Mata Bella melebar. "Oke, aku siap. Katakan padaku."
"Aku mungkin akan... mengadopsi kucing."
Bella terdiam, lalu berkedip. "Kamu bercanda?"
"Nggak. Ya ampun, mikirinnya aja bikin aku deg-degan, tapi entah kenapa, rasanya ini langkah yang tepat? Bawa makhluk hidup yang harus kuurus ke rumahku. Pasti kucingnya dari tempat penampungan. Aku bahkan belum cerita ke Arum soal ide gila ini. Menurutmu gimana?"
Bella Kartika merosot di kursinya sambil kembali fokus pada saladnya. Dia terlihat kecewa. "Menurutku pengumumanmu itu menyebalkan. Aku takut kalau kamu pelihara kucing, kamu nggak akan pernah keluar rumah lagi."
Sinta tertawa. "Wanita pecinta kucing yang nggak punya anak bisa menguasai dunia dengan caranya sendiri."
"Oke, kamu berhasil membuatku terdiam."
Mereka berdua tertawa, lalu pelanggan baru datang. Sisa sore itu sangat sibuk sampai malam. Saat toko tutup, Sinta merasa lelah. Tapi dia harus lembur karena banyak laporan keuangan yang harus diselesaikan. Mungkin sudah saatnya mempekerjakan akuntan. Keuntungannya lumayan, tapi menambah karyawan adalah keputusan besar. Dia merasa bertanggung jawab pada semua yang bekerja di butiknya dan tidak mau terburu-buru, apalagi saat musim sepi. Pemilik propertinya juga belakangan ini bersikap aneh. Sinta merasa sewanya akan naik, tapi setiap kali diajak bicara soal perpanjangan kontrak, si pemilik selalu menghindar.
Instingnya sensitive, dan itu bukan pertanda baik.
Sinta mengingatkan dirinya kalau semuanya baik-baik saja. Dia mencintai hidupnya. Walaupun melihat adiknya dan Bagas jatuh cinta membuat hatinya merasa kosong. Dia bahagia untuk Arum, tapi bertanya-tanya apakah dia bisa benar-benar membuka hati lagi.
Pikirannya melayang pada Kevin.
Ada perasaan aneh yang menjalar di punggungnya. Malam di mana dia membiarkan dirinya merasakan gairah yang seperti kisah cinta orang tuanya. Jenis perasaan yang sering ditulis di buku dan film. Kenangan malam itu selalu ada, tapi dia menyimpannya di dalam kotak Pandora, tidak pernah dibiarkan terbuka. Dia pergi, karena merasa hidupnya akan berantakan jika dia tetap tinggal.
Kehilangan orang tua dan perceraian mengajarkannya dua hal penting yang tidak akan dia ulangi.
Dia tidak pernah dipilih. Dan semua orang pada akhirnya pergi.
Pikiran itu menyayat hatinya, tapi dia sudah terbiasa. Lebih baik berhenti kencan dan bahagia sendiri. Namun, sudah saatnya dia berani membuat komitmen baru pada sesuatu yang bisa membuatnya berkembang.
Pernikahannya mungkin gagal, tapi bagaimana dengan koleksi sepatunya? Layak dirawat, diinvestasikan, dan disabari. Luar biasa.
Mengadopsi kucing mungkin adalah langkah sempurna berikutnya.
Sinta hampir siap untuk mengambil lompatan itu.