"Cium gue, terus semua masalah selesai."
"You're crazy!?"
"Kenapa gak? Sebentar lagi lo bakal jadi istri gue, jadi wajar dong kalau gue nyicil manisnya dari sekarang."
Kesya Anggraini Viorletta, gadis cantik, pintar, kalem, dan setia. Sayangnya, dia sudah punya pacar Kevin, ketua geng motor sekolah sebelah.
Menikah sama sekali gak pernah ada di pikirannya. Tapi wasiat almarhum papanya memaksanya menikah muda. Dan yang bikin kaget, calon suaminya adalah kakak kelasnya sendiri, Angga William Danendra cowok ganteng, atletis, populer, tapi badboy sejati. Hobi balapan, tawuran, keluyuran malam, dan susah diatur.
Bagi Angga, apa yang sudah jadi miliknya enggak boleh disentuh orang lain. Dia posesif, pencemburu, dan otoriter. Masalahnya, pacar Kesya ternyata musuh bebuyutannya. Dua ketua geng motor yang tak pernah akur, entah kenapa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02 Gue Ini Spek Setia
Pagi hari telah menyambut dengan hangat. Udara masih terasa segar, sedikit menusuk kulit, namun justru memberi sensasi nyaman. Kicauan burung bersahutan dari pepohonan di tepi jalan, berpadu dengan suara bising kendaraan yang mulai memenuhi jalur raya. Pagi ini terlihat begitu cerah bahkan lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya, seolah langit benar-benar berniat memberi awal yang baru.
Di dalam sebuah kamar luas yang didominasi warna hitam, Angga tengah bersiap untuk berangkat sekolah. Kamar itu berkesan maskulin, dipenuhi furnitur minimalis dan aroma wangi parfum maskulin yang samar-samar menguar. Seragam sekolah sudah melekat di tubuhnya, walau dipakai dengan asal. Dasi yang menggantung di kerahnya pun diikat seadanya, jelas sekali ia tak berniat tampil rapi sesuai aturan sekolah.
Rambutnya bulan ini diwarnai dark grey, jatuh rapi meski masih basah tetesan air sesekali jatuh dari ujung helainya, membasahi kulit lehernya. Ia baru saja selesai mandi, memasang jam tangan di pergelangan, menyemprotkan parfum, lalu menyisir rambut menggunakan jemari alih-alih sisir. Gerakannya santai tapi terukur, khas dirinya yang jarang terburu-buru. Dari walk in closet, ia melangkah keluar sambil meraih tas ransel, menyampirkan nya di salah satu pundak dengan gerakan ringan.
Ceklek…
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosoknya dengan wajah datar dan tatapan tajam yang selalu jadi ciri khasnya. Ia menuruni anak tangga dengan langkah pasti, seperti seseorang yang tau persis ke mana akan pergi. Niat awalnya jelas mau keluar rumah, menyalakan motor, dan langsung meluncur ke sekolah. Sarapan? Tidak ada dalam daftar rencananya.
Namun rencana itu sedikit terhambat ketika suara lembut namun tegas milik Silvia maminya terdengar dari arah meja makan.
“Sarapan dulu Ga. Mau ke mana kamu?”
Langkah Angga terhenti ia menoleh. Di meja makan, sang mami duduk anggun dengan piyama satin, sementara papinya terlihat rapi dengan kemeja kerja, menandakan mereka sudah siap memulai hari.
“Udah siang Mi gak keburu,” jawabnya singkat, suaranya datar, lalu bersiap melangkah lagi.
Namun baru beberapa langkah, suara berat papinya menghentikannya.
“Papi harap kamu gak lupa dengan pembicaraan kita semalam Angga!”
Shit.
Sudah ia duga. Topik ini akan muncul pagi ini, persis seperti yang ia prediksi sejak tadi malam. Ia menghela napas panjang. Setelah hampir semalaman tak bisa tidur karena memikirkan dua pilihan konyol yang diberikan papinya, ia memutuskan menjawab.
“Pilihan pertama. Tapi dengan syarat setelah menikah nanti Angga mau tinggal sendiri. Syarat kedua, Angga gak mau langsung nikah maksimal tunangan dulu sampai lulus sekolah. Itu kalau mami sama papi setuju. Kalau gak ya udah malah gue seneng banget kalau semuanya dibatalin.”
Nada suaranya tetap datar, seolah yang ia bicarakan bukan sesuatu yang serius. Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung nyelonong keluar.
“Angga! Kalau ngomong diselesaikan yang benar dong! Astaga Pi gimana sih itu anakmu!”
Suara ibunya terdengar kesal, tapi Angga tak peduli. Ia terus berjalan cepat menuju halaman depan, lalu menaiki motor sport hitamnya yang terparkir rapi. Mesin meraung pelan, helm dipasang, dan ia melaju meninggalkan rumah tanpa sedikit pun menoleh.
Pikirannya masih kacau. Ia benar-benar tidak ingin memulai hari dengan perdebatan. Apalagi soal topik yang menurutnya sama sekali tidak masuk akal.
Sekitar lima belas menit perjalanan, motor sport itu akhirnya masuk ke halaman sekolah. Tempat parkir hampir penuh, namun ia masih mendapat tempat di deretan yang biasa ia pakai. Beberapa temannya sudah terlihat nongkrong sambil bercanda.
“Kusut banget tuh muka kenapa sih yaelah?” celetuk Rafa sambil mengerutkan kening. Biasanya wajah Angga memang datar, tapi pagi ini terlihat lebih seram.
“Palingan kurang tidur eh atau jangan-jangan semalam digantung lagi sama tante Silvia,” timpal Arya sambil mengingat perkataan Angga semalam.
“Bisa jadi. Tapi kalau gue lihat-lihat tubuhnya masih utuh. Gak ada bekas tali di lehernya,” tambah Rafa, memeriksa Angga dari ujung kepala sampai ujung kaki seperti seorang detektif amatir.
Angga hanya memutar bola mata, malas menanggapi. Ia memang terkenal dingin, jarang menunjukkan emosi. Tapi entah bagaimana ia justru berteman dengan dua orang absurd seperti Raka dan Arya.
Tiba-tiba, suara brum! dari arah gerbang membuat beberapa kepala menoleh, termasuk mereka bertiga. Sebuah mobil sport abu metalik melaju mulus dan berhenti di parkiran roda empat.
Rafa mendecak kagum sambil mengepulkan asap rokok. “Ck dedek Kanaya makin hari makin bening aja deh!”
Ya. Kanaya. Gadis yang baru turun dari mobil itu langsung menyita perhatian sebagian siswa yang ada di halaman sekolah. Rambut hitamnya tergerai rapi, langkahnya mantap, wajahnya tanpa riasan berlebihan namun tetap memikat.
“Yoi. Sayangnya udah punya pacar. Kalau belum udah gue pepet,” sahut Arya, matanya masih mengikuti gerak Kanaya.
Angga melirik sekilas ke arah kedua temannya, lalu tatapannya beralih pada Kanaya. Ada sesuatu di matanya tatapan yang sulit diartikan.
“Baru pacar Ar. Masih aman selagi janur kuning belum melengkung ya gak Ga?” ujar Rafa sambil meliriknya, mencari dukungan.
“Ck gue gak suka nikung. Ditikung itu sakit men,” jawab Arya dramatis.
“Malah curhat,” balas Rafa, malas mendengar dramanya.
Angga hanya mendengus, lalu turun dari motornya.
“Loh Ga mau ke mana?” tanya Arya.
“Toilet. Mau ikut?” jawab Angga datar, menaikkan sebelah alis.
“Ck ogah! Lo pikir gue cowok apaan!” sahut Arya cepat, membuat Rafa terkikik.
Tanpa menanggapi lagi, Angga berjalan melintasi lapangan, menaiki tangga, dan masuk ke toilet. Ia memang benar-benar ke sana, bukan alasan untuk menghindar.
Sekitar lima menit kemudian, ia keluar. Langkahnya santai, tapi setiap mata yang ia lewati seakan otomatis mengikuti. Terutama mata-mata dari siswi yang berbisik-bisik kecil sambil melirik.
Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel, dan membuka chat dengan Rafa. Jempolnya mengetik cepat.
Angga: Rooftop?
TING!
Tak butuh waktu lama, balasan datang.
Rafa: Gasken
Langkah Angga hampir melewati pintu perpustakaan ketika sebuah suara cepat dari dalam ruangan itu mendekat. Pintu didorong terbuka...
Ceklek… Bruk!
Nyaris saja wajah Angga tertampar pintu! Ia terhuyung ke belakang, ponselnya hampir jatuh. Refleks, tangan kirinya menahan pinggang seseorang yang nyaris terjatuh menubruk dadanya cukup keras.
Deg!
Tubuh Kanaya menegang matanya melebar tak percaya. Jarak mereka terlalu dekat. Angga ketua geng motor Black Venom, siswa terpopuler, dan cowok yang jadi idaman banyak gadis di sekolah ini sekarang berdiri tepat di hadapannya.
Bagi Kanaya ini seperti adegan drama yang biasanya hanya ada di film. Sudah setahun ia pindah ke sekolah ini, dan baru kali ini ia melihat wajah Angga sedekat ini.
Angga masih memegang pinggangnya, tatapannya intens dan tak bergeser.
“Ekhm Naya.”
Suara panggilan itu membuat keduanya sadar. Spontan, Angga melepaskan pegangan, dan Kanaya mundur setengah langkah. Wajahnya tampak gugup, sementara Angga tetap santai.
“S-sorry Kak. Gue gak sengaja gue gak tau kalau kakak ada di luar maaf banget,” ucap Kanaya tergagap.
“Hmm it’s okay,” jawab Angga singkat, lalu melangkah pergi.
Kanaya menatap punggung lebarnya yang semakin menjauh. Di kepalanya, pikiran berkecamuk. Bagaimana kalau ada yang memotret kejadian itu?
“Naya! Itu tadi beneran Kak Angga kan? Sumpah demi apa lo abis dipeluk ketuanya Black Venom? Aaa mau juga dong gue…” suara Riska, sahabatnya, membuyarkan pikirannya.
Kanaya menoleh cepat. “Ris hidup gue masih bisa tenang kan setelah ini? Yang gue tabrak tadi Kak Angga loh! Astaga gimana kalau dia gak terima?”
Riska menaikkan alis. “Lah justru lo harusnya senang gue aja iri. Masa malah takut?”
Kanaya mendorong bahunya pelan. “Pala lo senang! Gimana kalau gue digosipin? Kak Angga punya banyak fans. Gue bisa dikeroyok! Dan lo lupa gue udah punya Kevin bego!”
“Halah gak apa-apa. Kalau gue jadi lo gampang tuh mutusin Kevin dan berpaling ke Kak Angga,” ujar Riska sambil terkekeh.
Kanaya memutar mata. “Bisa sesat gue kalau ngikutin lo. Gue ini spek setia udah sana kejar kalau lo suka, sekalian sampaikan maaf gue!”
Ia langsung melangkah pergi, meninggalkan Riska yang hanya bisa menghela napas sambil berseru: “Ck tungguin Naya! Kanaya!”