Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.
Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Untuk Anin
Keesokan harinya, sinar matahari pagi terpantul melalui kaca jendela mobil. Di kursi belakang, Anin duduk bersama Giandra. Sementara Sudarsono berada di kursi depan bersama Agus.
“Kita mau ke mana, Yah?” tanya Anin.
“Ayah punya hadiah untuk kalian,” jawab Sudarsono tanpa menoleh.
“Hadiah apa?” tanya Anin lagi, setengah mendesak. Namun, hanya dengung mesin dan deru angin yang terdengar karena Sudarsono tidak menjawab.
Anin melirik Giandra, sementara Giandra hanya mengedikkan bahu—pertanda tidak tahu apa pun. Keheningan pun menyelimuti perjalanan hingga mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat putih dengan pagar tinggi berwarna hitam.
“Ayo turun,” ucap Sudarsono datar.
Anin dan Giandra bergegas turun, melangkah mengikuti Sudarsono yang memasuki pekarangan rumah.
“Ini rumah siapa, Yah?” tanya Anin.
Sudarsono menghela napas panjang. “Ini rumah yang ayah bangun bersama ibumu. Sebelum dia meninggal, kami sepakat membangunnya untuk kamu tempati setelah menikah nanti. Namun, takdir berkata lain ... Ibumu meninggal duluan dan ayah harus menyelesaikan impian ini sendirian,” jawabnya jujur.
Anin mematung, matanya memerah, berkilat oleh air mata yang tertahan. Giandra yang berdiri di sisinya langsung mengusap punggung Anin lembut.
Sudarsono berdiri di ambang pintu, memutarnya, lalu masuk. Aroma kayu baru menyeruak, sofa tersusun rapi di sudut jendela, dan meja berlapis kaca menyambut kedatangan mereka.
“Semuanya sudah lengkap. Dapur, kamar, dan semua perabotan penting sudah ayah siapkan,” tutur Sudarsono.
“Makasih ayah ... Aku nggak nyangka ayah kasih rumah buat aku,” ucap Anin.
“Ayah hanya memenuhi keinginan terakhir ibumu,” jawab Sudarsono.
Anin tersenyum tipis sembari memandang sekeliling rumah yang sudah tertata rapi dan elegan.
“Rumah ini memang tidak tingkat dan tidak sebesar rumah keluarga Giandra tapi ayah yakin kalian akan lebih aman dan bahagia di sini,” tutur Sudarsono.
“Iya, ayah. Aku nggak peduli mau besar atau kecil, rumah ini tetap berharga karena satu-satunya hadiah dari ayah dan ibu,” balas Anin, suaranya bergetar.
Sudarsono melirik Anin sekilas, lalu berjalan ke arah pintu belakang. “Di belakang ada lahan kosong. Ayah sengaja tidak bangun apa pun di sana karena Anin suka berkebun jadi dia bisa menyalurkan hobinya dan mungkin hasil kebunnya bisa kalian jual juga.”
“Makasih, Pak. Karena udah kasih rumah buat kami. Saya janji akan balas kebaikan bapak,” ucap Giandra.
“Saya lakukan ini demi kebahagiaan Anin,” jawab Sudarsono.
Sudarsono terpaku menatap lahan kosong. Tiba-tiba rasa sakit menyalak dari perutnya. Sudarsono langsung mencengkeram erat perutnya.
“Ahh!” jeritnya tertahan.
“Ayah kenapa?” tanya Anin.
Tak ada jawaban. Tiba-tiba—
Huek!
Darah segar menyembur dari mulut Sudarsono, membasahi lantai yang mengilap. Anin membelalak, tubuhnya gemetar hebat. Dalam hitungan detik, tubuh Sudarsono ambruk.
“Ayah!!!” Anin menjerit, tubuhnya ikut ambruk, duduk di lantai, memangku kepala Sudarsono. “Bangun Ayah!”
Di sisi lain, Agus berlari masuk setelah mendengar teriakan Anin. “Bapak kenapa, Non?” tanyanya.
“Saya nggak tahu, Pak. Tiba-tiba ayah muntah darah,” jawab Anin.
“Bawa ke kamar, Non. Saya hubungi dokter pribadi bapak dulu,” ujar Agus.
Giandra langsung memapah tubuh Sudarsono, dan berjalan ke salah satu kamar. Anin mengikuti dari belakang.
...🌹🌹🌹...
Anin duduk di sisi tempat tidur, menunggu dokter selesai memeriksa Sudarsono yang masih pingsan.
“Gimana kondisi ayah?” tanya Anin.
Dokter menatapnya, menghela napas berat. “Sebenarnya Darsono mengidap penyakit kanker lambung, Nak.”
“Apa? Sejak kapan?” Anin tercengang, lehernya seolah tercekat.
“Beliau sudah lama mengidap penyakit kanker lambung. Jauh sebelum kamu menikah, Nin,” jawab dokter.
“Kenapa paman baru bilang sekarang?” tanya Anin lagi, suaranya melirih.
“Karena ayahmu meminta paman untuk merahasiakannya dari kamu,” jawab Hartono—adik Sudarsono.
Anin terpejam, menjambak rambutnya dengan gemetar. Dadanya terasa sesak membuat napasnya tak karuan.
“Paman tahu, kan? Cuma ayah satu-satunya keluarga yang aku punya. Kenapa paman rahasiain penyakit ayah dari aku?” cecar Anin.
“Paman hanya menuruti permintaan ayahmu,” jawab Hartono.
Anin membisu, air matanya mengalir semakin deras, membasahi kasur—tempat Sudarsono berbaring. Sementara Giandra yang berdiri di sisi Anin, mengusap punggungnya.
“Anin ....” Suara berat memecah keheningan. Sudarsono membuka mata perlahan, tangannya terangkat gemetar, berusaha meraih tangan Anin.
“Ayah ....” Anin langsung menggenggam jari-jemari Sudarsono.
“Tolong, maafin ayah karena gagal jadi ayah yang baik. Selama ini ayah selalu kasar, bukan karena ayah nggak sayang, tapi karena ayah merasa bersalah.” Telapak tangan Sudarsono yang dingin menyentuh pipi bulat Anin.
“Rasa bersalah apa, Yah?” tanya Anin.
“Karena gagal memberi ibu sambung yang baik. Ayah pikir dengan menikahi adik kandung ibumu, kamu tidak akan kekurangan figur ibu, tapi ternyata dugaan ayah salah ... Siti justru sering menyiksa kamu,” ungkap Sudarsono.
Anin terisak, mencium tangan Sudarsono. Napasnya tersendat-sendat.
“Anin ...” panggil Sudarsono.
“Iya, Yah?”
“Kamu tahu kenapa ayah menikahimu dengan Giandra?” tanya Sudarsono.
Anin menggeleng pelan.
“Karena dia anak yang baik. Sebelum kalian menikah, ayah selalu cari tahu latar belakang anak laki-laki dari para sahabat ayah supaya bisa dijodohkan denganmu. Dan Giandra lah yang paling sempurna. Dia pekerja keras, sopan, dan nggak pernah macam-macam.” Tatapan Sudarsono beralih ke Giandra.
Anin ikut menatap Giandra, sementara Giandra hanya tersenyum tipis.
“Ayah yakin Giandra bisa menggantikan posisi ayah dan menjaga kamu seumur hidup,” lanjut Sudarsono.
“Ayah juga bisa jagain aku terus. Ayah jangan bilang gitu ya,” ujar Anin.
Sudarsono terdiam, tatapannya tak lepas dari Giandra. “Saya mau bicara empat mata, Giandra ....”
Giandra mengangguk. Agus dan Hartono menarik Anin keluar kamar.
“Ada apa, Pak?” tanya Giandra.
“Buka laci meja itu,” titah Sudarsono.
Giandra membuka laci meja di sebelah tempat tidur.
“Ambil kunci dalam laci. Lalu buka brankas di belakang lemari,” lanjutnya.
Giandra mengambil kunci, kembali menutup laci, kemudian menggeser lemari kayu jati. Tampak sebuah brankas tertanam di dinding kamar.
“Bukalah brankas itu,” titah Sudarsono.
Giandra memutar kunci, pintu besi pun terbuka. Seketika Giandra melotot melihat emas batangan dan tumpukan uang yang tersusun rapi dalam brankas.
“Pakai uang itu untuk modal usahamu dan simpan emasnya untuk masa depan kalian,” ujar Sudarsono.
“Tapi, Pak—”
“Cukup! Saya tidak menerima penolakan!” tegas Sudarsono.
Giandra menarik napas berat, lalu mengangguk pasrah.
“Tolong, panggil Anin,” ucap Sudarsono.
“Baik, Pak.” Giandra kembali menutup brankas, lalu membuka pintu. Anin langsung berlari saat pintu terbuka.
“Ayah kenapa suruh aku keluar? Apa yang ayah bicarain sama Giandra?” tanya Anin.
“Ayah titip kamu ke Giandra karena umur ayah sudah tidak lama. Ayah juga kasih seluruh tabungan ayah ke suamimu supaya dia bisa membuka usaha,” ungkap Sudarsono.
“Kenapa ayah ngomong gitu? Ayah pasti sembuh!” seru Anin.
Sudarsono tersenyum tipis. “Kanker ayah sudah stadium akhir, Nak. Mustahil bisa sembuh tapi ayah berharap semoga Tuhan mencabut nyawa ayah setelah anakmu lahir jadi ayah bisa merasakan gendong cucu.”
Anin menggeleng, bibirnya bergetar. Dia memeluk erat ayahnya, sementara Sudarsono menepuk lembut kepalanya.