Mati-matian berusaha dan berakhir gagal membuat Deeva enggan membuka hati, tapi sang ibu malah menjodohkannya tepat dimana perasaannya sedang hancur. Diantara kemalangannya Deeva merasa sedikit beruntung karena ternyata calon suaminya menawarkan kerjasama yang saling menguntungkan.
"Anggap gue kakak dan lo bebas ngelakuin apa pun, sekalipun punya pacar, asal nggak ketahuan keluarga aja. Sebaliknya hal itu juga berlaku buat gue. Gimana adil kan?" Arshaka Rahardian.
"Adil, Kak. Aku setuju, setuju, setuju banget." Deeva Thalita Nabilah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menerima
Baru turun dari mobil, ibunya sudah menghampiri dengan tangan yang memegang ponsel sambil diarahkan ke wajahnya.
“Ini loh anaknya baru pulang, Kek.” Ani meminta Deeva menyapa orang yang wajahnya memenuhi layar ponsel.
“Deeva, apa kabar? Udah lama nggak ketemu yah.” Terdengar sapaam dari benda pipih itu.
“Deeva baik, Kek.” Jawabnya meski malas. Siapa yang tidak malas coba? Katanya dijodohin sama cucunya, tapi si Dirga yang merupakan cucu keluarga Rahardian yang satu sekolahan dengan dirinya justru mempublikasikan hubungan dengan gadis lain.
“Besok langsung dijemput sama calon suami kamu yah di stasiun. Kata Mama, Deeva mau naik kereta aja nggak mau dijemput ke rumah?” tanyanya lagi. Tapi Deeva sudah tak menanggapi dan malah pergi lebih dulu.
Ani tersenyum canggung, ia jadi tak enak karena Deeva mengabaikan kakek dari calon suaminya. “Kek, maaf yah Deeva langsung pergi padahal kakek belum selesai ngomong. Dia udah nggak sabar mau ke Jogja kayaknya. Barang-barangnya kan banyak harus dibereskan lebih dulu.”
Setelah berbasa basi lumayan lama, Ani menyusul Deeva ke dalam rumah. Ia langsung bergegas ke kamar tapi gadis itu tak ada disana. Dicarinya anak semata wayangnya itu ke taman belakang yang merupakan tempat favoritnya tapi hasilnya nihil. Kembali ke dalam rumah, Ani mendapati putrinya sedang memberi makan ikan di aquarium yang terdapat di ruang keluarga. Gadis itu terlihat beberapa kali menghela nafas panjang seraya menatap ikan warna warni yang berenang kesana kemari melahap setiap butiran pakan yang mengambang.
“Di rumah calon suami kamu juga ada aquarium loh, kamu bisa ngasih makan ikan-ikan disana. Atau ikan-ikan yang ini mau dibawa juga boleh.” Ani berdiri di samping Deeva, mengambil sedikit pakan dari toples yang ada di tangan putrinya dan memasukannya ke dalam aquarium.
Deeva meletakan toples pakan ikan di samping aquarium dan duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Ani pun menyusulnya dan kembali duduk di samping Deeva.
“Kenapa sih lesu banget? Sedih karena nanti malem mama terbang?” tanya Ani.
Deeva menghela nafas panjang dan menatap mamanya lekat-lekat. “Ma…” ucapnya pelan.
“Bisa nggak sih aku tetep sekolah disini aja?”
“Disini kan aku sekolah gratis, Ma. Beasiswa, mungkin bisa lanjut kuliah beasiswa juga.”
“Kadang aku mikir loh, dulu awal-awal Ayah nggak ada kita emang hidup susah, tapi Mama selalu ada buat aku.”
“Kenapa kita nggak kayak dulu aja sih, Ma?”
“Aku nggak usah dijodoh-jodohin. Mama nggak tau kan kalo orang yang mau dijodohin sama aku aja sukanya sama orang lain?”
“Sama orang lain? Kok kamu bisa ngomong gitu? Ketemu sama orangnya juga belum.” Jawab Ani. “Nih Mama kasih lihat fotonya yah.” Ani mengambil ponselnya.
“Nggak usah, Ma. Deeva udah tau kok, cucu kakek kan satu sekolahan sama Deeva. Namanya Dirga, ketua OSIS di sekolah.” Jawab Deeva.
Ani jadi bingung sendiri, Dirga? Dia sama sekali tak tau yang dimaksud putrinya.
“Waktu awal-awal aku tau kalo Dirga cucu kakek Rahardian, aku udah seneng banget dijodohin sama dia. Aku sampe mati-matian ngedeketin dia. Tapi Zonk, Ma. Zonk!” keluh Deeva.
“Zonk gimana, sayang? Mama nggak tau siapa itu Dirga. Calon suami kamu, Shaka. Arshaka Rahardian, dia pimpinan bank swasta di Jogja. Bukan ketua OSIS, kamu itu dapat info dari mana, ngawur gitu.” Jelas Ani.
“Jadi bukan Dirga?” tanya Deeva, “tapi Dirga cucu kakek Frans, Ma. Info valid, aku dapat dari pusat data sekolah kok. Nggak mungkin salah.” Lanjutnya.
“Mama nggak tau siapa Dirga yang kamu maksud, yang jelas bukan dia calon suami kamu. Bentar lagi mama harus siap-siap ke bandara, sekarang kita beresin barang-barang kamu dulu sebelum mama berangkat.” Ani menarik tangan putrinya supaya bergegas bangun.
“Ma, please lah aku nggak mau.” Rengek Deeva.
“Mama kok jadi kayak yang di film-film, ngejodohin anak demi balas budi. Mama nggak mikirin perasaan aku apa?”
“Kalo mama jadi aku gimana? Apa mama mau dijodoh-jodohin?” lanjutnya.
Ani yang semula sudah berdiri jadi duduk lagi. “kalo mama jadi kamu?”
“Iya.” Deeva mengangguk.
“Tentu saja mama mau dijodohin. Kan orang tua juga milihin jodoh buat anaknya nggak asal. Kamu kira mama asal-asalan setuju gitu aja?” Deeva hanya diam mendengarkan, sorot mata sang ibu terlihat begitu dalam.
“Tadi kamu bilang balas budi?”
“Iya, memang ada sedikit unsur balas budi, tapi tak sepenuhnya.”
“Mama tau mungkin kamu belum cukup dewasa untuk paham akan keputusan yang mama ambil. Kamu pasti mikir mama maksa dan nggak peduli sama perasaan kamu.”
“Dengerin mama baik-baik. Benar, kamu sekolah dapat beasiswa jadi saat ekonomi keluarga kita terpuruk juga sekolah kamu nggak kena efek apa pun. Tapi kehidupan kita berubah bukan? Saudara-saudara almarhum ayah kamu menjauh saat kita butuh bantuan, mereka sibuk dengan berbagai alasan. Beruntung ada kakek Rahardian yang bantuin kita. Modalin usaha hingga perusahaan yang udah gulung tikar bisa pulih bahkan berkembang seperti sekarang.”
“Kita beruntung, Deeva. Bukan cuma bantu finansial kakek juga mau merangkul kita seperti keluarga. Beliau bahkan memberikan cucunya untuk jadi calon suami kamu. Mama udah selidiki, anaknya baik. Lebih dewasa dari kamu jadi pasti bisa ngemong.” Jelasnya panjang lebar.
“Tapi Deeva nggak mau, Ma.”
“Jalanin aja dulu, kalian pasti cocok.” Ucap Ani.
“Pasti nggak cocok lah. Pokoknya Deeva nggak mau, Ma.” Jawab Deeva. “Asal mama tau aja, aku tuh lagi patah hati, Ma. Bisa-bisanya malah ngebet dijodohin, sekolah aja belum tamat.”
“Kan kenalan dulu sayang nggak langsung nikah. Nanti kalo udah kenal juga pasti suka kamu tuh. Mama jamin. Dicoba aja dulu, jalanin. Kalo sering ketemu juga lama-lama suka.” Ucap Ani.
“Udah jangan rewel! Ayo Mama bantuin beres-beres sebelum berangkat.” Lanjutnya.
“Mama, kok pemaksaan sih! Sekarang zamannya demokrasi, Ma. Setiap orang bebas menyuarakan pilihannya.” Protes Deeva.
“Menyuarakan pilihan? Ini bukan pemilu Deeva. Lagian calon suami kalo cuma satu jadi nggak perlu milih!”
“Tapi, Ma…”
“Nggak ada tapi-tapian, Arshaka Rahardian udah paling oke.”
“Kalo emang paling oke ya udah mama aja yang nikah sama dia. Aku nggak keberatan.” ucap Deeva.
Geram, Ani menampol bibir putrinya. “Kalo ngomong suka asal!”
“Serius, Ma. Aku nggak apa-apa punya Papa muda juga” ledek Deeva.
“Deeva!” sentak Ani.
“Aku bercanda, Ma. Aku bantuin mama beres-beres pakaian yang mau dibawa ke luar negri aja. Punya aku nanti bisa dibantuin sama Elisa.” Ucap Deeva, “tapi kalo misal nanti aku nggak cocok sama calon pilihan mama atau dianya nggak suka sama aku, boleh yah dibatalin perjodohannya?”
“Jalanin dulu aja. Pokoknya apa pun yang terjadi nanti, hubungan kita sama kakek nggak boleh jadi renggang. Tapi besar harapan mama, kalian jadi pasangan yang bahagia.” Jawab Ani. “Bisa dipahami?” lanjutnya.
Deeva mengangguk, “paham, asal dia nggak suka pasti perjodohan ini batal.” Batin Deeva.
“Anak pinter.” Puji Ani seraya memeluk putrinya yang tersenyum licik di belakang sana. Otak Deeva suah penuh dengan tak tik supaya perjodohan ini bisa dibatalkan.
.
.
.
like komennya yah jangan ketinggalan
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Aku ya gitu seperti Deeva, malah tahan diem berhari-hari. mending diam, g nguras emosi.