karya tamat, novel ini hanya pembentukan world-building, plot, dan lore kisah utama
kalian bisa membaca novel ini di novel dengan judul yang lain.
Karena penulisan novel ini berantakan, saya menulisnya di judul lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Transmigrasi
Suara itu… suaranya mirip Mulya…”
Aku tersadar. Tubuhku masih terbaring, menatap atap-atap yang terlihat asing. Tanganku meraba sekitar—bukan kasur lipat yang aku beli online dengan voucher potongan harga.
“Yang benar saja…” Suaraku berbeda. Sontak aku terbangun dalam posisi duduk.
Rambut panjang menyentuh leher hingga bahu.
“Suara anak perempuan?!”
Aku menyentuh rambutku. Halus, panjang, dan bersih—tidak seperti rambutku. Panik? Tentu saja. Ini menakutkan. Aku melihat kaki yang pendek, kemudian menatap tanganku sendiri yang kecil dan gemulai.
“Jadi… bukan mimpi ya?”
Aku mencoba bangun, tapi bukankah aku sudah bangun? Semuanya terasa nyata: panas tubuhku, semua indra, nafas yang kencang, detak jantung yang terdengar sampai ke telinga. Tekanan darahku naik.
Aku menoleh ke kanan. Seorang perempuan dewasa tertidur di lantai dengan kepala di atas kasurku. Menoleh ke kiri, seorang pria dewasa dengan posisi serupa.
"Ah… jadi ini nyata… Apa ini dunia Pe and Kob?" Aku menyeringai, karena dunia Pe and Kob adalah humor yang kubuat dari kata Pekob.
Suara yang memanggilku ke dunia ini sama persis dengan suara mantanku. Bahkan sistem loading bar yang kulihat sebelum transmigrasi ke dalam novel yang kutulis—premisnya, prolognya bahkan belum jadi.
Aku mundur ke ujung kasur dan bersandar.
“Takdir kejam banget,” keluhku dengan beban pikiran berat.
Bukan hanya transmigrasi—aku bahkan menjadi seorang perempuan.
“Jadi ini maksud sistem tentang tubuh…”
“Kenapa tidak kirim aku ke naskah yang sudah jadi? Malah ke dalam naskah yang prolognya saja belum…”
Tanpa sadar, aku menangis sesegukan kecil. Sesegukan itu terdengar, membangunkan pria dewasa di sebelah kiri kasur.
“Lala!! Kamu sudah sadar?!” Suaranya keras, panik.
Dia membangunkan wanita dewasa di sebelah kanan kasur.
“Lala?!! Syukurlah, nak, kamu buat ibu khawatir.”
Refleks, wanita dewasa itu memelukku erat, tubuhku yang sudah berhenti sesegukan.
“E-ehh?”
Aku terheran. Situasi apa ini?
“Ada apa, nak?”
Pria dewasa itu bertanya sambil mengusap kepalaku.
“K-kalian siapa?”
Sudah jelas aku ingin tahu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi situasi ini terlalu ambigu.
“A-apa maksudmu, Lala?”
Wanita dewasa itu bertanya dengan ekspresi bingung.
Pria dewasa itu menambahkan, nadanya lembut, menenangkan:
“Lala, jangan bikin kami jantungan…”
Tapi serius, aku memang tidak tahu siapa mereka.
“...Aku memang tidak tahu siapa kalian,” ucapku. Aku berharap mereka menjelaskan siapa aku, siapa mereka, di mana kita, dan Lala… apakah itu namaku?
“Lala itu siapa?” tanyaku pada mereka.
“Sayang, apa maksudnya ini?”
Wanita dewasa itu menatap pria di sebelahku.
“Gak mungkin…?!” lirih pria itu. Wajahnya pucat.
Aku melihat mereka berkeringat deras. Wanita dewasa itu menangis. Pria dewasa mencoba tenang, tapi matanya menampung banyak beban.
Aku tersadar. Mereka adalah orang tua tubuh ini. Aku masih merasa menjadi Yoga. Kini aku harus menjadi Lala.
“Nak, kamu nggak ingat beneran?”
Wanita dewasa itu gelisah, keringat menetes dari dahinya, air mata masih mengalir.
“Aku nggak ngerti,” gumamku, meski enggan mengungkapkan lebih jauh.
Pria dewasa itu memeluk kami berdua, nadanya lembut dan menenangkan:
“Gak apa, Lala. Ayah dan Ibumu akan menjagamu.”
Sebagai pria di kehidupan lamaku, aku mengerti perasaannya. Ia mencoba tetap rasional—pria selalu mengandalkan logika dan pengalaman. Dulu, saat menjadi Yoga Permana, aku sering duduk di teras, menenangkan diri dan mencari solusi dari masalah yang datang. Pria tidak bercerita, itulah definisinya.
Setelah mereka tenang dan menjelaskan, aku akhirnya mengerti:
Aku adalah Lala Rosalia, putri Dave Rodriguez dan Liria Elphene.
Usiaku saat ini empat tahun, tapi jiwaku adalah pria dewasa berusia dua puluh lima tahun, dengan ingatan kehidupan lama yang utuh.
Keluarga ini tinggal di desa Carrington, desa kelahiran protagonis novel ini. Mereka menjelaskan latar waktu: tahun 666, bulan 6, tanggal 6.
Artinya, premis naskahnya memang seperti ini. Novel ini terjadi saat protagonis berusia empat tahun.
“Usia protagonis sama denganku…”
Aku semakin yakin, dunia ini memang Pe and Kob.
Masalahnya, novel ini belum ditulis. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu garis besar cerita. Sebagai penulis, aku tahu naskah bisa berubah drastis. Aku teringat komik bajak laut yang kubaca: penulis bilang komiknya akan tamat lima tahun, tapi dua puluh tahun kemudian, komiknya masih berjalan, lebih dari seribu chapter, dan belum tamat.
Ini novel yang prolognya bahkan belum jadi. Jadi ini bukan lagi sekadar novel—ini kehidupan nyata dengan garis besar yang sudah kupahami.
James adalah protagonis Pe and Kob.
Ryan, rival sekaligus sahabat protagonis, juga teman masa kecilnya.
Natasya, heroine utama, teman masa kecil mereka.
Mereka hidup di desa ini, di desa yang sama denganku.
“Coba kuingat-ingat dulu…”
Mereka jelas calon pahlawan. Dunia ini kelak akan menghadapi perang.
“Bisakah aku hidup tenang dan nyaman?”
Aku sudah menentukan dua ending:
Good ending: protagonis berhasil menyelamatkan dunia.
Bad ending: jika villain terlalu kuat, protagonis gagal dan kalah.
“Bagaimana jika aku tidak ikut campur? Lagipula kisah akan tetap berjalan tanpa aku.”
Yang kusyukuri saat ini hanyalah menjadi tokoh extra, NPC desa yang tidak penting.
Namun aku berpikir:
“Apa Lala juga salah satu tokoh penting? Karena konflik yang berkembang.”
Terlebih ini novel fantasi. Logika kehidupan lamaku tak bisa dipakai di dunia ini. Tapi pengalamanku sebagai orang dewasa mungkin bisa membimbing mereka.
Di luar rumah, dari jendela kamarku, aku melihat desa dengan sawah di sekitarnya, seperti yang kubuat untuk Carrington. Tapi ada buku tentang sihir.
“Pe and Kob, Pekob… kalau dibalik bisa banned platform ini…”
Aku hanya ingin menulis humor, tapi mengapa terjebak dalam humor ini.
“Ya Tuhan, janji deh… aku nggak bakal malas nulis lagi…”
Kupikir sistem itu akan muncul lagi, mungkin karena ini tubuh seorang extra, mungkin.
Contoh salah: "Aku lelah." keluhku.
Contoh benar: "Aku lelah," keluhku.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian saya tidak akan pernah menyelesaikan rangka awal kisah ini.
Terimakasih untuk para reader yang sudah membaca kisah ini hingga volume 1 selesai.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini.
Novel ini tamat dalam bentuk naskah kasar. Saya berniat merapihkannya nanti dengan sudut pandang orang ketiga.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih.
Aku menunduk lebih dekat. "Apa-apaan ini …." bisikku, tenggorokanku kering.
Celah itu melebar. Dari dalam, sesuatu merayap keluar, sebuah tangan legam, berasap seakan bara membakar udara di sekitarnya. Jari-jari panjangnya menancap di tepi layar, mencengkeram kuat, lalu menarik celah itu lebih lebar, seperti seseorang membuka pintu ke dunia lain.
Tangan itu terhenti. Perlahan, satu jari terangkat … lalu berdiri tegak. Jari tengah.
Narasi ini jauh lebih baik dan lebih enak dibaca.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.