Ruby Rikaya terpuruk, setelah kepergian bayi mungilnya. Dan pada saat itu ia juga mendapat perceraian dari suaminya-Ganesha Maheswara. Beberapa bulan pulih, Ruby akhirnya menerima lamaran dari mantan kekasihnya dulu-Gama.
Namun, masalah tidak berhenti disitu. Ruby terpaksa menuruti permintaan terakhir sahabatnya-Fatimah, setelah insiden kecelakaan yang merenggut nyawa sahabatnya itu. Dalih menjadi Ibu susu, Fatimah juga meminta Ruby untuk menggantikan posisinya.
Di campakan selama 2 tahun pernikahannya, rupanya hal itu membuat Ruby ingin menyerah.
Namun, suatu hal serius sedang menimpa putri sambungnya-Naumi. Bocah berusia 4 tahun itu di vonis mengidap Cancer darah (Leukimia)
Tidak ada pendonor sel darah yang cocok. "Jalan satu-satunya Bu Ruby harus hamil anak kedua!" Papar sang Dokter.
Dan hanya darah dari plasenta sang adiklah, yang nantinya akan menyelamatkan nyawa Naumi.
Cinta sudah hilang, perceraian menanti diujung jurang. Disisi lain, ada nyawa yang harus Rubi selamatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ambisi Diandra.
"Mas Ganesha lihatin apa?" Tegur Zayn asisten Ganesha.
"Itu, kau tadi lihat pria yang masuk mobil didepan tadi?" Ganesha kembali mengingatkan.
Zayn agak berpikir sejenak. "Dia Mahendra Adiguna 'kan? Adiknya Ardiansyah Wijaya?" Kata Zayn yang masih belum terlalu tahu. "Apa wanita tadi istrinya?" Tanyanya kembali.
"Kau sama sekali tidak tahu istrinya Mahendra?" Ganesha malah kembali bertanya.
Zayn menggelengkan kepala, karena memang dia tidak terlalu paham siapa Mahendra. Yang ia tahu, hanyalah seorang Ardiansyah pemimpin Perusahaan Wijaya.
"Dia yang sekarang menjadi suaminya Ruby!" Jabar Ganesha hingga membuat Iparnya itu membolakan mata.
"Ha? Lalu, wanita tadi? Apa maksudnya?" Zayn sampai tidak habis fikir dengan hal yang dilakukan Mahendra. Detik kemudian, Zayn sudah melepas sabuk pengamannya. "Aku akan turun menemui Mbak Karina dulu. Kau tidak ikut turun?"
"Aku tunggu saja disini. Lagian keadaan Cafe sedang ramai." Putus Ganesha yang masih shock melihat suami Ruby menggandeng wanita lain.
'Ya Allah ... Apa Ruby tau perbuatan suaminya? Aku saja selama menjadi suaminya tidak pernah sekalipun mengenal wanita lain dibelakangnya. Ini Mahendra malah dengan terang-terangan mendatangi keramaian bersama wanita lain.' Ganesha sampai memejamkan mata dalam, mencoba menahan emosi yang perlahan menguasai dirinya. Terkadang, rasa penyesalan itu ada.
***
"Mah, Papah kemana? Kok nggak ngajakin Aumi mainan." Naumi terus saja menanyakan Mahendra, karena sejak pagi bocah kecil itu langsung ditinggal meting tanpa berpamitan. Dan sampai sore, Ayahnya juga belum pulang.
Mamah Rita dan Arman sudah pulang sejak tadi, ketika Bu Indah dan Ardiansyah bergantian datang. Mendengar aduan dari mulut Naumi sukses membuat Ardiansyah meradang.
"Dia pergi tidak pamit padamu?" Tanya Ardi pada Ruby.
"Sejak kapan dia pernah berpamitan, Mas? Jangan mengharapkan hal yang mustahil." Ruby hanya mampu tersenyum getir.
Sebagai Ibu, perasaan Bu Indah mulai tidak tenang. Apalagi, ia sudah tahu perihal kedekatan Mahendra dengan teman perempuannya itu. Ia kini mengusap kepala Cucunya, mencoba menenagkan Naumi dengan kalimat dalihnya. "Sayang, Papah sebentar lagi pulang. Kan Papah bekerja buat Naumi."
Ardiansyah melenggang keluar begitu saja. Ia mengeluarkan gawai, dan langsung menghubungi nomor sang Adik. "Kurang ajar! Sudah tahu Putrinya sakit, masih saja keluar dengan wanita lain." Gerutu Ardi sambil menunggu panggilannya tersambung.
Sementara di Apartemen, Mahendra saat ini sudah bersiap untuk pulang. Namun, terpaksa ia tinggalkan Gawainya di atas meja, karena mendadak ingin buang air kecil.
Drtt...?!
Diandra memajukan setengah badanya. Ujung bibirnya tertarik sinis, sembari jari telunjuknya menggeser tombol merah. 'Aku tidak akan membiarkan ada seorang pun mengganggu kedekatan kita, Mahendra!'
Selepas itu, Diandra bangkit. Ia berjalan ke arah dapur, terlihat seperti menyiapkan sesuatu.
Ceklek!
Pintu kamar mandi sudah terbuka. Baru dua langkah keluar, Diandra sontak menghadang langkah Mahendra sambil membawa sebuah mangkuk kecil. "Sebelum pulang kau harus mencoba desert buatanku! Please ... Sebentar saja!" Raut wajah Diandra sudah ia buat semelas mungkin.
Mahendra tersenyum simpul. Tanganya tak tega melihat tangan temanya itu menggantung. "Oke, aku makan sekarang!" Semangkuk desert tadi Mahendra bawa menuju ruang tamu.
Tak ada yang mencurigakan dari desert yang Diandra buat. Semuanya terasa enak dan manisnya pas. Coklatnya juga lumer, sehingga dapat mengembalikan mood pikiranya.
Dan tak menunggu lama, satu mangkuk kecil itu telah habis tak bersisa. "Kau pintar membuat makanan penutup. Kenapa tidak membuka Cafe saja, Di?" Kedua mata Mahendra berbinar, karena memang desert tadi rasanya sangat enak.
Diandra tertunduk. "Sebenarnya pingin, tapi modalnya belum cukup. Kau tahu, tidak ada yang bisa aku andalkan, Hendra!"
Mahendra reflek memegang tangan Diandra. Tatapan itu terang, namun tidak ada cinta yang terlukis. Mahendra hanya menganggap wanita didepanya itu sebagai teman saja."Aku 'kan sudah bilang ... Kau dapat mengandalkanku sebagai temanmu, Di!"
Diandra hanya mengangguk lemah. Melihat tangan Mahendra engga turun, seketika tangan Diandra menepuk diatas tangan itu. "Kau memang yang terbaik!" Lirih Diandra sambil mengusap lembut tangan Mahendra.
Mendapat sentuhan seperti itu, sebagai pria normal, jelas saja membuat darah dalam tubuhnya mengalir deras. Ia hanya dapat memejamkan mata dalam, menahan gelombang hasrat yang hampir meledak.
"Di, aku harus segera kembali ke rumah sakit!" Mahendra melepaskan genggaman tangan Diandra. Namun baru saja ia bangkit, seketika kantuk menguasai tubuhnya dengan hebat.
Hoam ...
"Kok ngantuk banget gini ya?!" Gumamnya, sambil menggelengkan kepala cepat.
Diandra juga ikut bangkit. Ia menahan lengan Mahendra sambil berkata, "Kau baik-baik saja?"
"Aku sangat ngantuk, Di. Entah mengapa aku juga nggak tahu." Mahendra masih mencoba menyadarkan fokus pandanganya.
"Kau pasti kelelahan dan banyak pikiran. Istirahat saja dulu di kamar sebelah. Nanti jika kantukmu sudah hilang, baru kembalilah ke rumah sakit. Aku tidak yakin kau akan baik-baik saja jika menyetir dalam keadaan mengantuk!" Diandra mencoba meyakinkan hati kecil Mahendra.
"Tapi, Di aku harus-"
"Hendra, ini semua demi kebaikan bersama. Jika terjadi sesuatu sama kamu, apa kau tidak kasian dengan Ruby, dan juga putrimu?" Diandra membelai wajah Mahendra, menekan lembut kalimatnya.
Mahendra menghentikan belaian tangan Diandra. "Jangan sebut nama itu. Aku hampir frustasi memikirkan dia!" Tolaknya.
Dada Diandra bergemuruh. Ada perasaan cemburu yang sulit ia jabarkan. "Maksudmu, Ruby? Dia istrimu, kenapa kamu membencinya?"
Mahendra menjatuhkan tubuhnya begitu lemah. Sorot mata itu menatap jauh kedepan, menahan luka yang teramat dalam. "Aku sangat membencinya. Saking bencinya, sampai aku tidak bisa terlepas dari jerat cintanya. Antara benci dan cinta sampai aku tidak dapat membedakan!"
Diandra menahan geram, hingga membuat guratan wajah diwajahnya memerah. Namun misinya tidak sampai disitu. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Diandra mendekat, berdiri disamping tubuh Mahendra.
"Sudah, jangan kamu pikirkan! Pergilah ke kamar untuk istirahat." Perintahnya dengan tersenyum hangat.
"Aku bisa sendiri." Mahendra menolak uluran tangan Diandra, dan langsung beranjak menuju kamar tamu begitu saja.
Sementara Diandra, kini ia tersenyum sinis, merasa menang dengan misinya saat ini. 'Sebentar lagi, Mahendra akan menjadi milikku! Dan kau Ruby ... Kau pasti akan menangis darah melihat Mahendra segera menceraikanmu.'
Mungkin karena saking kantuknya, hingga Mahendra tidak sadar, jika kamar yang ia masuki ternyata kamar milik Diandra. Kepalanya juga terasa nyeri, hingga membuatnya langsung merebahkan tubuhnya diatas ranjang dengan kaki menjuntai di lantai.
Diandra berhenti sejenak diambang pintu. Tatapan matanya penuh kepemilikan, seakan tak rela pria tampan diatas ranjangnya itu dimiliki oleh siapapun.
Setelah itu Diandra mengunci pintunya. Ia berjalan tenang menghampiri Mahendra. Dan kini, Diandra sudah berhasil melepaskan sepatu temanya itu. Begitu bangkit, jemari lentik itu sudah menjamah tubuh Mahendra hingga berhenti dibagian dada bidangnya. Satu persatu kancing kemeja itu sudah terbuka lebar. Dan kini memperlihatkan dada kekar penuh kekuatan itu.
Cup!
Sebelum turun, Diandra tinggalkan kecupan hangat pada dada bidang itu. Setelahnya kini Diandra turun. Ia berdiri didepan Mahendra yang terlelap. Sorot matanya tenang, namun jemari lentiknya berhasil menurunkan resleting dibagian punggung dress marun yang ia kenakan. Hingga ... Dress itu berhasil jatuh diatas lantai. Diandra perlahan berjalan kembali mendekat keatas ranjang.
***
PYAR!!!!
Ruby tercekat saat putrinya tanpa sengaja menyenggol gelas diatas nakas.
Hua ...
Tangisan Naumi seketika pecah.
mahes hancur tp penyesaalnmu terlambat
makin seru ceritanya
bolak balik nungguin ceritanya seru