NovelToon NovelToon
Pelukan Untukmu ASHILLA

Pelukan Untukmu ASHILLA

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Beda Usia / Gadis nakal / CEO / Duniahiburan / Cintapertama
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: MissSHalalalal

Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1: BADAI DI TENGAH MALAM

Langit malam itu seperti sedang melampiaskan dendam. Guntur menggelegar, bersahutan dengan kilat yang membelah kegelapan, menciptakan suasana mencekam yang persis menggambarkan gejolak di dadaku. Di atas motor matik yang berguncang diterjang angin, aku membiarkan butiran hujan menghantam wajahku seperti ribuan cambukan kecil yang perih. Setiap inci tubuhku memprotes, otot-otoku kaku oleh dingin dan kelelahan yang luar biasa.

Dulu, saat masih kecil, aku sering bermimpi menjadi seorang putri. Dalam khayalanku, aku adalah sosok yang manja, dilindungi oleh seorang ayah yang gagah, dan dijaga dari segala kesulitan dunia. Namun, realita malam ini menghancurkan fana itu hingga menjadi debu. Impian itu remuk, menyisakan seorang buruh pabrik furniture yang harus menembus badai demi absensi yang tak boleh alpa.

Telingaku masih berdenging oleh ucapan pria yang seharusnya menjadi pelindungku.

“Pergilah sendiri! Biasanya juga berangkat sendiri, jangan sok manja!”

Kalimat itu bukan sekadar penolakan; itu adalah belati yang menyayat sisa-sisa rasa hormatku padanya. Aku memang terbiasa mandiri, tapi malam ini berbeda. Tubuhku sudah di titik nadir, dan batinku terkoyak. Jika bukan karena bayangan wajah Ibu yang letih, mungkin aku sudah membiarkan motor ini meluncur ke dalam parit dan menyerah pada keadaan.

>>>flashback

Beberapa jam sebelumnya, suasana di rumah terasa jauh lebih dingin daripada udara luar. Aku berdiri di depan pintu kamar Ayah, mencoba mengumpulkan keberanian. Aku baru saja pulang dari urusan tambahan dan harus segera berangkat untuk shift malam.

“Yah, antarkan aku bekerja. Hari ini hujannya sangat deras, aku takut di jalan,” kataku dengan suara serak, mencoba membangunkan Ayah yang terlelap.

Ibu berdiri di sampingku, meremas ujung daster kusamnya. Raut wajahnya dipenuhi kecemasan yang sudah menjadi menu hariannya. “Nak, berangkat sendiri saja, ya? Nanti ayahmu marah kalau tidurnya diganggu,” bisik Ibu, suaranya gemetar.

“Tapi, Bu, aku lelah sekali. Kepalaku pening, cuma hari ini saja aku minta tolong...”

Belum sempat kalimatku usai, sebuah bentakan menggelegar dari dalam kamar. Pintu terbuka kasar, menampilkan sosok pria dengan wajah merah padam dan mata yang menyalang penuh amarah.

“Beraninya kau bangunkan aku! Kau pikir aku sopirmu?” teriak Ayah.

“Yah, tolonglah. Aku hampir telat dan jalannya banjir,” aku memohon, nyaris putus asa.

“Sejak kapan kau jadi manja begini? Biasanya juga berangkat sendiri! Pergi sana!” Ayah melangkah keluar, bukan untuk mengambil kunci motor, melainkan untuk melampiaskan kekesalannya.

Ibu mencoba menengahi, memegang lengan Ayah dengan tangan gemetarnya. “Mas, tolonglah Ashilla sekali ini saja. Dia sudah bekerja keras seharian...”

“Diam kau!”

Sebuah pemandangan yang paling kubenci kembali terjadi. Ayah mengibaskan tangannya dengan kasar, membuat Ibu kehilangan keseimbangan. Belum sempat aku bereaksi, sebuah tamparan mendarat di pipi Ibu.

“Aaaakh!” Ibu terkulai di lantai, menutupi wajahnya.

Darahku mendidih. Aku berlutut di dekat Ibu, memeluk bahunya yang ringkih. “Ayah memukul Ibu lagi? Kenapa Ayah setega ini?”

Ayah menatap kami dengan tatapan merendahkan, seolah kami bukan keluarga, melainkan hama. “Diam kau! Kau sama saja seperti ibumu, hanya bisa mengeluh. Sana pergi kerja, cari uang yang banyak supaya kita tidak miskin! Jangan cuma tahu menghabiskan nasi!”

Kata-kata itu membakar habis kesabaranku yang sudah kupupuk bertahun-tahun. Aku berdiri, menantang matanya yang penuh kebencian.

“Selama ini aku bekerja, dan Ayah menghabiskan gajiku untuk judi online! Berapa banyak utang Ayah yang sudah kulunasi? Sampai kapan, Yah? Harusnya Ayah yang bekerja menafkahi kami, bukan malah menjadi parasit!”

PLAK!

Pandanganku sempat gelap. Pipiku terasa panas dan kebas. Tamparan itu lebih keras dari yang kuterima sebelumnya.

“Mulai berani bicara kau, ya? Sudah merasa hebat karena punya uang?” geram Ayah.

Ibu berteriak histeris, berusaha menarikku menjauh. Aku tidak menangis di depannya. Aku tidak ingin memberinya kepuasan melihatku hancur. Dengan gerakan kaku, aku mencium tangan Ibu yang masih terisak, lalu menyambar mantel hujan.

“Aku berangkat, Bu,” pamitku singkat tanpa menoleh lagi pada pria itu.

***

Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di gerbang pabrik furniture yang tampak seperti monster beton di tengah kegelapan. Aku memarkirkan motor dengan tangan gemetar.

Setelah menyeka sisa air mata yang bercampur air hujan, aku menarik napas dalam-dalam. Aku harus memakai topengku kembali: Ashilla yang kuat, Ashilla yang tangguh.

Bel pabrik berbunyi nyaring, membelah suara hujan.

“Ashilla!”

Aku menoleh. Mas Rifal berjalan menghampiriku dari kerumunan pekerja pria.

Dia adalah senior sekaligus rekan kerja yang sangat kuhargai. Sikapnya yang tenang seringkali menjadi penyejuk di tengah lingkungan pabrik yang keras.

“Mas, sudah bel masuk. Kenapa masih di sini?” tanyaku sambil melepas mantel yang basah kuyup.

“Aku menunggumu. Kamu terlambat beberapa menit dari biasanya,” katanya, matanya meneliti wajahku yang sebagian tertutup masker. “Kenapa wajahmu sembap? Habis menangis?”

“Tidak, cuma kelilipan air hujan,” jawabku singkat, mencoba menghindari kontak mata.

“Shilla, kamu tidak bisa membohongiku. Nanti jam istirahat, kita bicara di kantin. Oke?”

“Aku ingin tidur saja, Mas. Capek banget,” dalihku. Aku hanya ingin sendiri, memproses rasa sakit yang masih berdenyut di pipi dan hatiku.

Pekerjaan malam ini terasa berlipat-lipat lebih berat. Menghaluskan permukaan kayu, memindahkan papan-papan berat, dan memastikan setiap detail furniture sempurna di bawah lampu neon yang menyilaukan. Pikiranku melayang pada Ibu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah Ayah masih mengamuk?

Di pabrik ini, aku melihat teman-temanku. Ada Zunai yang selalu ceria meski hidupnya susah.

“Shill, kamu bawa bekal tidak?” tanya Zunai saat kami sedang di lini perakitan.

“Tidak, Nai.”

“Mau ke kantin nanti?”

“Tidak, aku mau tidur saja.”

Pukul 03.30 pagi. Bel istirahat berbunyi. Aku tidak punya tenaga untuk berjalan ke kantin yang jaraknya seratus meter dari area produksi. Aku mengambil selembar kain tipis dari loker dan membentangkannya di bawah meja kerja, tempat yang cukup tersembunyi untuk memejamkan mata sejenak.

Baru saja kesadaranku mulai memudar, aku merasakan sebuah sentuhan lembut di puncak kepalaku. Sentuhan yang begitu asing, namun sangat menenangkan.

“Bangun dulu, Shilla,” suara bariton Mas Rifal terdengar pelan di dekat telingaku.

Aku mengerjap, mengucek mata. “Mas Rifal? Sudah jam masuk?”

“Belum, masih ada setengah jam. Makanlah dulu,” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan plastik hitam yang masih hangat.

Aku menatapnya dengan rasa tidak enak.

“Mas, ini... berapa harganya? Aku ganti uangnya.”

Rifal menggeleng tegas. “Simpan saja uangmu. Sekarang, makan dan ceritakan padaku. Apa yang terjadi di rumah?”

Aku membuka bungkusan itu. Roti selai srikaya dan teh manis hangat. Aroma teh itu entah bagaimana meruntuhkan pertahanan yang kubangun sejak tadi malam. Aku mulai bercerita dengan suara yang tercekat di tenggorokan.

“Aku cuma minta diantar, Mas,” bisikku. “Aku lelah sekali hari ini. Tapi Ayah... dia bilang aku manja. Dia memukul Ibu, lalu menamparku karena aku mengungkit soal utang judinya.”

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, membiarkan isakan yang sedari tadi kutahan pecah begitu saja. “Semua gajiku habis untuk dia, Mas. Aku tidak punya tabungan. Aku cuma ingin Ibu bahagia, tapi rasanya seperti aku sedang mengisi ember bocor. Sampai kapan aku harus begini?”

Mas Rifal tidak memotong. Ia membiarkanku tumpah. Tangannya bergerak ragu, lalu perlahan menggenggam jemariku yang dingin.

“Shill, dengarkan aku,” suaranya berat dan penuh penekanan. “Kamu adalah orang terkuat yang pernah aku kenal di pabrik ini. Apa yang kamu lakukan untuk ibumu itu luar biasa. Tapi, kamu juga manusia. Kamu punya batas.”

Ia menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke arahku. “Jangan pernah merasa sendiri. Kalau kamu butuh tempat bersandar, aku ada di sini. Kita akan cari jalan keluarnya, entah itu mencari kontrakan kecil untukmu dan ibumu, atau hal lain. Tapi sekarang, kamu harus bertahan demi malam ini.”

Triiiing!!!

Bel tanda istirahat berakhir memutus keheningan di antara kami. Mas Rifal bangkit, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menyeka air mata, memasang masker, dan mencoba tegak kembali. Dukungan Mas Rifal memberikan setitik harapan, meski beban di pundakku masih terasa sama beratnya.

***

Bersambung...

1
partini
ehhh nongol tuh Kunti,kata mati kecelakaan?
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,
kalea rizuky
tolol harusnya lu sebagai orang tua jujur biar erlangga gk goblok lagi
partini
ahhh jadi seperti itu ,hemmm maklum lah cinta mata MEREM hati tertutup jadinya y agak ni BEGE PLUS IDIOT tetang cinta ,ya susah ga bakal percaya apa lagi tuh sarah dah methong terkecuali ada video Ina inu
partini
Erlangga ko bisa jadi kaya gitu karena wanita,,saking cintanya atau saking dalam lukanya sih Thor aku ngeh bacanya kah
kalea rizuky
biarin ibumu mati bapak mu mati qm bebas sila goblok
kalea rizuky
keluarga tolol. ini. novel paling konyol yg q baca
kalea rizuky
lu yg aneh sila uda tau orang gila lu berkorban demi ibu lu yg goblok itu
kalea rizuky
ibuk goblok
kalea rizuky
emakmu aja gatel tkut kehilangan laki. mokoondo biar aja di penjara lahbuk suami. g guna mati aja lu biar anakmu bebas keluar dr situ jd ibu nyusain doank lu
kalea rizuky
bodoh itu ibumu laki. goblok. kok di piara cerai lah nyusain anak aja buk lu itu
Meris
Maaf thor kalimat perkalimat Ashilla terlalu mendramatisir...
MissSHalalalal: terima kasih banyak atas sarannya kak. akan aku di perbaiki di bab berikutnya🙏
total 1 replies
Meris
Shilla ini aneh .lha wong dia yg menyerahkn diri...koq malah dia yg penuh drama
partini
aku baca sinopsisnya udah nyesek mulai baca bab satu Weh tambah nyesek
MissSHalalalal: jangan lupa baca sampai akhir ya kak🙏
total 1 replies
Iis Amoorea
panggung kehidupan....bikin mewek
MissSHalalalal: terimakasih kak🙏 semoga suka dengan karya saya.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!