Satu kesalahan di lantai lima puluh memaksa Kirana menyerahkan kebebasannya. Demi menyelamatkan pekerjaan ayahnya, gadis berseragam putih-abu-abu itu harus tunduk pada perintah Arkan, sang pemimpin perusahaan yang sangat angkuh.
"Mulai malam ini, kamu adalah milik saya," bisik Arkan dengan nada yang dingin.
Terjebak dalam kontrak pelayan pribadi, Kirana perlahan menemukan rahasia gelap tentang utang nyawa yang mengikat keluarga mereka. Di balik kemewahan menara tinggi, sebuah permainan takdir yang berbahaya baru saja dimulai. Antara benci yang mendalam dan getaran yang tak terduga, Kirana harus memilih antara harga diri atau mengikuti kata hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Langkah Baru Tanpa Dirinya
Kirana menghantam cermin besar di kamar mandi gedung pusat dengan kepalan tangannya hingga kaca itu retak seribu menjadi kepingan yang sangat tajam. Darah segar menetes dari sela jemarinya, namun ia sama sekali tidak merasakan perih sedikit pun pada kulit halusnya yang putih pucat. Matanya yang dulu selalu penuh dengan binar keceriaan kini telah berubah menjadi telaga hitam yang sangat dingin dan dipenuhi oleh kabut dendam.
"Kirana, hentikan perbuatan gila ini sekarang juga sebelum tanganmu terluka lebih parah lagi!" teriak Indra sambil mendobrak pintu kamar mandi dengan wajah penuh kecemasan.
Indra segera menarik tubuh Kirana menjauh dari wastafel yang kini sudah dipenuhi oleh bercak darah merah yang mulai mengering dengan sangat cepat. Ia tidak menyangka bahwa gadis remaja yang dulu sangat lugu bisa berubah menjadi sosok yang sangat mengerikan hanya dalam waktu satu malam saja.
Kirana menepis tangan Indra dengan sangat kasar, ia kemudian menatap pantulan dirinya di cermin yang sudah hancur berantakan tersebut.
"Tuan Arkananta mengorbankan nyawanya demi saya, Indra, jadi jangan harap saya akan tetap diam melihat mereka merayakan kemenangan di atas lumpur itu!" tegas Kirana dengan nada suara yang sangat tajam.
Kirana melangkah menuju lemari besar dan mengambil sebuah setelan jas hitam milik Arkananta yang dulu pernah ia simpan secara diam-diam sebagai kenangan. Ia mengenakan jas tersebut di atas seragam sekolahnya yang sudah ia rapikan sedemikian rupa hingga tidak lagi terlihat seperti pakaian seorang siswi magang. Dengan gerakan yang sangat cekatan, ia mengikat rambut panjangnya menjadi satu ikatan yang sangat kencang dan memberikan kesan yang sangat tegas.
"Apakah kamu benar-benar akan mendatangi rapat umum pemegang saham tersebut sendirian tanpa perlindungan siapa pun?" tanya Indra dengan nada yang sangat ragu.
Kirana mengambil buku catatan ibunya dan menyisipkan sebuah pisau lipat kecil di balik saku jas hitam yang sangat longgar di tubuh mungilnya. Ia menoleh ke arah Indra dengan senyuman tipis yang tidak pernah mencapai matanya, sebuah senyuman yang jauh lebih menakutkan daripada tangisannya. Ia menyadari bahwa mulai hari ini, ia bukan lagi Kirana yang lemah, melainkan seorang ahli waris yang akan menuntut setiap tetes darah yang telah tumpah.
"Saya tidak sendirian, Indra, saya membawa seluruh amarah dan luka yang mereka tanamkan di dalam dada saya selama bertahun-tahun," jawab Kirana sambil melangkah keluar menuju lobi utama.
Gedung pencakar langit itu tampak sangat sibuk, para petinggi perusahaan sedang berkumpul di aula besar untuk merayakan pengambilalihan kekuasaan oleh Clarissa. Kirana masuk ke dalam ruangan tersebut tepat saat Clarissa sedang berdiri di atas podium kayu jati sambil memegang palu kepemimpinan yang sangat mewah. Semua mata tertuju pada sosok gadis muda yang mengenakan jas hitam kebesaran tersebut, menciptakan kesunyian yang sangat mencekam secara mendadak.
"Siapa yang mengizinkan anak magang rendahan ini masuk ke dalam ruang rapat yang sangat sakral ini!" bentak Clarissa dengan wajah yang berubah menjadi sangat merah padam karena amarah.
Kirana mengabaikan teriakan tersebut, ia terus berjalan menuju meja bundar di tengah ruangan dengan langkah kaki yang sangat mantap dan penuh dengan wibawa. Ia meletakkan buku catatan ibunya dan kunci tembaga kuno di atas meja tersebut, tepat di hadapan para pemegang saham yang mulai berbisik-bisik. Suasana di dalam aula besar itu menjadi sangat panas, seolah oksigen di udara tiba-tiba menghilang karena kehadiran aura yang dibawa oleh Kirana.
"Saya adalah putri tunggal dari Sekar, pemilik sah dari empat puluh persen saham perusahaan ini yang telah Anda curi melalui dokumen palsu!" seru Kirana dengan suara yang sangat menggelegar.
Para petinggi perusahaan terperanjat, mereka saling berpandangan dengan wajah yang sangat pucat pasi karena rahasia besar itu akhirnya terbongkar di depan umum. Clarissa tertawa mengejek, ia mencoba meraih palu kepemimpinan untuk mengusir Kirana secara paksa dengan bantuan para petugas keamanan yang sudah bersiaga. Namun, Indra segera masuk ke dalam ruangan bersama beberapa pria berseragam hitam yang membawa berkas legalitas asli dari pengadilan tinggi pusat.
"Jangan berani menyentuhnya, Clarissa, atau seluruh dunia akan tahu bagaimana cara licikmu membakar rumah sakit itu demi sebuah takhta!" ancam Indra sambil menunjukkan bukti rekaman video rahasia.
Clarissa terhuyung mundur, ia menjatuhkan palu kayu tersebut hingga suaranya bergema sangat keras di atas lantai marmer yang dipoles dengan sangat halus. Ia menatap Kirana dengan pandangan yang penuh dengan ketakutan yang sangat mendalam seolah ia baru saja melihat hantu Arkananta di dalam diri gadis itu.
Kirana mengambil palu tersebut dan memegangnya dengan sangat kuat, ia merasakan sebuah kekuatan baru mengalir dari dalam jiwanya yang sudah membatu.
"Hari ini, sejarah perusahaan ini akan berubah, dan tidak akan ada tempat bagi para pengkhianat seperti kalian untuk tetap bernapas di sini!" tegas Kirana sambil mengetukkan palu tersebut ke atas meja.
Namun, di tengah kemenangannya, Kirana merasakan sebuah getaran aneh dari arah sakunya, telepon genggam milik Arkananta yang ia bawa tiba-tiba menyala terang. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak dikenal, hanya berisi titik koordinat yang mengarah ke sebuah pulau terpencil di tengah laut selatan. Di bawah pesan tersebut, terdapat sebuah foto tangan seseorang yang menggunakan jam tangan milik Arkananta sedang memegang bunga melati yang sangat segar.
Kirana hampir saja menjatuhkan palu di tangannya saat melihat foto tersebut, jantungnya kembali berdegup kencang antara rasa tidak percaya dan harapan yang membuncah. Ia menyadari bahwa ledakan di muara semalam mungkin bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah rencana yang jauh lebih besar dan rumit. Namun, saat ia akan berlari keluar ruangan, pintu aula utama terkunci secara otomatis dan gas air mata mulai memenuhi setiap sudut ruangan tersebut.