Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 : DEMAM
<
Ingatanku terseret kembali ke malam jahanam beberapa hari lalu. Malam saat harga diriku runtuh sepenuhnya di bawah lampu remang sebuah kelab eksklusif. Aku berdiri di sana, gemetar, menjual sisa hidupku pada Tuan Bram untuk mendapatkan uang seratus juta, guna melunasi hutang ayah pada tuan Mahendra.
Harusnya kontrak itu sederhana: satu malam bersama pria tua itu, dan semuanya selesai.
Namun, saat Tuan Bram hendak menyentuhku, sebuah tangan kekar merenggut lenganku dengan kasar. Itu Erlangga. Dia menatapku dengan mata yang membelalak, seolah melihat hantu yang bangkit dari kubur. Napasnya memburu, wajahnya pucat pasi.
"Sarah?" bisiknya parau, nyaris tak terdengar di antara dentum musik.
Dia tidak memedulikan protes Tuan Bram. Dengan dingin, Erlangga mengeluarkan cek dan menuliskan angka yang fantastis. "Tiga kali lipat dari yang kau tawarkan. Pergi, sebelum aku menghancurkanmu," desis Erlangga pada pria tua itu.
Malam itu, di bawah dekapan Erlangga yang asing, aku menyadari sebuah kenyataan pahit. Dia tidak menginginkanku. Dia menginginkan wanita yang dia lihat melalui wajahku. Setiap sentuhannya yang brutal malam itu adalah luapan kerinduan pada Sarah, kekasihnya yang telah tiada. Aku hanyalah raga yang secara tragis memiliki struktur wajah yang sama.
Rencananya, pagi itu aku bebas. Kontrak telah usai. Namun, saat aku mencoba melangkah keluar dari kamarnya, Erlangga mengunci pintu dan menatapku dengan obsesi yang mengerikan.
"Kau pikir bisa pergi setelah membangkitkan bayangannya?" ucapnya dengan suara rendah yang mengancam. "Kau tidak akan ke mana-mana, Ashilla. Transaksi malam itu bukan untuk satu malam. Aku baru saja membeli seluruh hidupmu."
Sejak saat itu, aku terjebak. Obsesinya tidak mengenal batas. Aku bukan lagi buruh pabrik, tapi aku juga bukan manusia. Aku adalah pajangan hidup yang dipaksa menghidupkan kembali kenangan Sarah. Dia membeliku untuk memuaskan egonya yang tak sanggup menerima kehilangan, mengunci diriku dalam penjara emas ini tanpa jalan keluar.
<
Setelah kekacauan di dapur, monster dalam diri Erlangga seolah melenyap, digantikan oleh sosok asing yang penuh perhatian. Rasa frustrasi dan alkohol yang membakar tubuhku berakhir dengan demam tinggi yang menyerang hebat.
Malam itu, kesadaranku timbul tenggelam. Di tengah gigilan yang membuat tulangku terasa linu, aku merasakan sentuhan lembut yang bukan berupa paksaan. Erlangga tidak beranjak. Dengan telaten, dia memeras kain hangat dan mengompres keningku. Setiap kali aku mengerang karena pusing yang menyengat, jemarinya akan mengusap rambutku, mencoba menenangkan badai di kepalaku.
"Dingin... sakit..." rintihku dalam racauan.
Tanpa suara, Erlangga naik ke atas ranjang. Dia menarik tubuhku yang lemas ke dalam pelukannya, berbagi kehangatan tubuhnya untuk meredam menggigilku yang tak kunjung usai. Aku menyandarkan kepala di dadanya, mendengar detak jantungnya yang berdegup tenang—sangat kontras dengan kekacauan yang dia ciptakan dalam hidupku.
"Aku Ashilla, Erlangga... aku bukan Sarah," gumamku lirih, napas panas demamku menerpa lehernya.
Gerakan tangannya yang mengusap bahuku terhenti sejenak. Keheningan yang menyesakkan menyelimuti kamar. Aku merasakan kecupan lama mendarat di puncak kepalaku.
"Tidurlah, Ashilla. Jangan pikirkan apa pun," bisiknya parau, suaranya sarat dengan emosi yang sulit kutafsirkan.
Sepanjang malam, dia terjaga. Dia menyuapiku air putih dengan sendok setiap kali aku terbangun kehausan. Dia mengganti pakaianku yang basah karena keringat dingin dengan gerakan sangat halus, seolah takut aku akan hancur jika dia menekan terlalu keras. Kelembutan ini jauh lebih berbahaya daripada kekejamannya; ia mulai mengikis dinding kebencian yang kubangun dengan susah payah.
Pagi harinya, panas tubuhku mulai turun. Aku membuka mata dan mendapati Erlangga masih di sana, duduk bersandar di kepala ranjang dengan mata merah karena tidak tidur. Kemeja kantornya kusut, wajahnya yang biasanya angkuh kini nampak lelah dan rapuh.
Dia menyentuh pipiku, menatapku dengan sorot mata yang dalam. "Ibu dan Ayah benar," ucapnya tiba-tiba, suaranya serak. "Kita akan menikah minggu depan. Aku tidak akan membiarkanmu hancur lagi, bahkan jika aku harus mengikatmu selamanya di sampingku."
Aku tertegun, menatap matanya yang kembali memancarkan obsesi. Perawatannya yang tulus semalam hanyalah cara agar aku cukup kuat untuk melangkah menuju altar. Dia merawatku bukan untuk membebaskanku, melainkan untuk memastikan bahwa "pajangan" miliknya kembali utuh sebelum ia mengunciku dalam ikatan yang permanen.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,