“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mesin ATM keluarga suamiku
Rani baru saja meletakkan tas kerjanya ketika suara Andi terdengar dari ruang tamu.
“Rani, apa kamu sudah mengirimkan uang untuk orang tuaku?” tanya Andi tanpa basa-basi.
Rani menahan helaan napas, tubuhnya masih terasa pegal setelah seharian berdiri di pabrik.
“Belum, Mas…” jawabnya lirih.
Mata Andi langsung melotot. Ia berdiri dengan kasar, kursi kayu di belakangnya sampai bergeser.
“Apa? Bagaimana bisa kamu belum mengirimkan uang? Rani, mereka butuh! Adikku harus bayar uang kuliah. Kamu tega kalau sampai dia berhenti sekolah?” bentaknya keras.
Rani menunduk, mencoba meredam gejolak hatinya. Wajah cantiknya tampak letih, rambut yang terurai sedikit berantakan.
“Mas… gajiku belum cair semua. Baru setengah, itu pun sudah habis untuk bayar listrik, cicilan, sama belanja kebutuhan kita. Aku… aku janji akan mengirim sisanya begitu dapat tambahan lembur.”
Andi mendengus kasar.
“Selalu alasan! Kamu pikir keluarga aku bisa makan dengan janji? Kamu istri macam apa, Rani?”
Rani menggigit bibir, matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku sudah berusaha, Mas. Aku kerja dari pagi sampai malam, sementara Mas… uang Mas bahkan tidak pernah aku lihat untuk kebutuhan rumah.”
Andi membanting meja.
“Jangan balik nuduh aku! Aku sudah capek kerja jaga malam. Kalau uangku habis buatku sendiri, itu urusan aku! Tugasmu sebagai istri ya nurut, ngerti?”
Air mata Rani menetes, tapi ia menatap Andi dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan.
“Aku ini istri, Mas. Bukan mesin ATM untuk semua keluargamu. Aku juga manusia, aku juga capek…”
Andi terdiam sejenak, wajahnya memerah menahan amarah. Tangannya mengepal.
“Rani, jangan coba-coba melawan aku! Kalau kamu nggak suka, pulang saja ke rumah orang tuamu! Tapi ingat, jangan pernah nyesel kalau aku beneran cari perempuan lain yang lebih nurut daripada kamu.”
Rani terhenyak. Dadanya bergetar menahan luka.
“Jadi… segitu saja nilai aku di mata Mas?” tanyanya pelan, hampir berbisik.
Andi tidak menjawab. Ia hanya mendengus, lalu mengambil jaketnya dan keluar rumah dengan langkah kasar, meninggalkan pintu berderit keras.
Rani terduduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri… apakah cinta ini benar-benar layak dipertahankan?
Langkah Rani terasa berat ketika ia masuk ke kamar. Air matanya belum benar-benar kering, tapi ia berusaha menenangkan diri. Di balik lemari tua yang mulai berderit, ada sebuah kaleng biskuit berkarat.
Rani menariknya perlahan, memastikan tak ada yang melihat. Dengan hati-hati ia membuka tutupnya. Lembaran-lembaran uang kertas tampak tersusun, tidak banyak, tapi cukup untuk sekadar menjadi pegangan darurat.
Sambil memasukkan beberapa lembar dari gajinya tadi sore, ia berbisik lirih, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
“Aku harus punya simpanan… kalau-kalau Mas Andi benar-benar meninggalkan aku, atau kalau keadaan makin sulit. Aku nggak boleh terus-terusan bodoh.”
Tangannya bergetar saat merapikan uang itu. Bayangan wajah Andi yang penuh amarah masih terngiang di kepalanya.
Tiba-tiba pintu kamar berderit pelan. Rani terlonjak, cepat-cepat menutup kaleng itu dan menyelipkannya kembali di balik tumpukan kain.
Ternyata hanya angin. Ia menahan napas lega, lalu duduk di tepi ranjang.
“Andi nggak boleh tahu… kalau sampai dia tahu, tabungan ini pasti raib untuk keluarganya lagi.”
Rani mengelus perutnya yang kosong, tubuhnya terasa lemah. Ia sadar sudah jarang makan dengan benar demi menabung lebih banyak.
Dalam hati, ia berdoa lirih.
“Ya Tuhan… beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku terus-terusan jadi budak cinta. Aku ingin bahagia, aku ingin hidupku berarti…”
Air matanya kembali jatuh, namun kali ini ada secercah tekaddalam sorot matanya.
Dengan langkah lunglai Rani mulai berjalan ke belakang dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Rani baru saja selesai mencuci, terdengar suara ketukan keras di pintu. Tanpa menunggu dipersilakan, seorang wanita paruh baya masuk begitu saja. Wajahnya kaku, sorot matanya tajam penuh kecurigaan.
“Rani!” suara itu melengking. “Kamu ini gimana sih? Masa sampai sekarang belum juga kirim uang ke rumah? Menantu macam apa kamu, nggak tahu diri! Udah nggak bisa kasih cucu, sekarang malah bikin anakku pusing terus!”
Rani buru-buru mengeringkan tangannya dengan kain.
“Ibu… saya sudah jelaskan ke Mas Andi, gaji saya baru cair setengah. Sisanya masih dipotong cicilan, Bu.”
Bu Marni mendengus, tangannya bersedekap di dada.
“Alasan! Dari dulu selalu begitu. Kamu itu boros, Rani! Uangmu pasti habis buat dandanan sama beli barang-barang nggak penting. Coba lihat tuh, lipstikmu banyak, bajumu numpuk. Pura-pura miskin padahal jelas-jelas ngabisin uang buat diri sendiri!”
Rani menunduk, menahan perih di dada.
“Saya tidak pernah foya-foya, Bu. Semua gaji saya untuk kebutuhan rumah, untuk Andi, bahkan untuk adik Andi bayar kuliah. Saya hanya… menyisakan sedikit untuk…” kalimatnya tercekat, ia tak berani melanjutkan.
Bu Marni mendekat, menunjuk wajah Rani dengan telunjuknya.
“Kamu jangan banyak alasan! Kalau bukan karena kamu, Andi nggak akan hidup susah begini. Coba kalau dia nikah sama pilihan saya dulu—pasti sudah enak, nggak perlu repot kerja di pabrik segala!”
Air mata Rani jatuh, tapi ia menggenggam erat ujung kain di tangannya.
“Bu… saya sudah berusaha sekuat tenaga. Saya kerja siang malam demi rumah tangga ini. Apa salah saya kalau semua masih terasa kurang?”
Bukannya luluh, Bu Marni malah tertawa sinis.
“Salahmu jelas, Rani! Kamu yang nggak bisa ngatur uang. Kamu cuma bikin anak saya sengsara. Ingat, kamu itu cuma numpang hidup. Jangan sampai aku bener-bener usir kamu dari rumah ini!”
Pintu kembali terbuka. Andi pulang lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terkejut melihat ibunya sedang berdiri dengan wajah merah padam, sementara Rani tertunduk dengan mata sembab.
“Ada apa ini, Bu?” tanya Andi.
Bu Marni langsung mengadu dengan suara lantang.
“Ndiiii! Istri kamu ini keterlaluan. Uangmu entah kemana, dia boros, nggak tahu diri, bikin kita semua susah! Kamu harus tegas, jangan mau diinjak-injak sama perempuan kayak dia!”
Andi menoleh ke Rani, wajahnya kembali diliputi
amarah yang tadi sempat reda.
“iBu benar, Rani!” suaranya meninggi. “Kamu itu boros! Aku capek kerja malam-malam, tapi kamu nggak bisa ngatur gaji. Lihat sekarang, ibu sampai harus datang sendiri ke rumah, malu aku!”
Rani menatap suaminya dengan mata yang sudah sembab.
“Mas… tolong dengarkan aku. Aku nggak boros. Semua uang itu aku pakai buat bayar kebutuhan rumah—listrik, cicilan, belanja, bahkan uang kuliah adikmu. Aku tidak pernah—”
“Cukup, Rani!” potong Andi, membanting tangannya ke meja hingga gelas di atasnya bergetar. “Kamu selalu merasa paling capek, paling berkorban. Kalau memang kamu merasa susah hidup sama aku, bilang saja! Jangan sok jadi korban di depan ibuku!”
Bu Marni mengangguk setuju, menambahkan minyak ke api.
“Betul, Ndi! Dari dulu aku udah bilang, perempuan ini cuma bikin repot. Kalau bukan karena Rani, kamu pasti hidup enak. Coba lihat, hampir lima tahun menikah, cucu pun nggak ada! Istri apa namanya kalau nggak bisa kasih keturunan?”
Ucapan itu menusuk hati Rani paling dalam. Air matanya jatuh deras, tangannya gemetar.
“Bu… jangan bawa-bawa itu. Saya juga ingin punya anak, tapi Tuhan belum kasih rezeki. Apa salah saya?” suaranya pecah, penuh luka.
Andi malah menggeleng keras.
“Salahmu, Rani! Kalau kamu benar-benar istri yang baik, pasti Tuhan udah kasih anak buat kita. Jangan nyalahin takdir kalau nyatanya kamu yang nggak becus jadi istri!”
Rani terisak hebat. Dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia menatap Andi dengan pandangan yang tidak hanya penuh sedih, tapi juga getir.
“Jadi… semua ini salahku? Semua yang aku lakukan selama ini nggak ada artinya? Aku kerja banting tulang, aku berusaha jadi istri yang baik… tapi yang kalian lihat cuma kekuranganku?”
Andi tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangan seolah merasa terganggu dengan tangisan istrinya. Bu Marni justru bersuara lagi, lebih tajam.
“Kalau kamu sadar diri, Rani, kamu harusnya pergi. Jangan bikin anakku susah terus. Kamu itu cuma beban!”
Rani terdiam. Air matanya berhenti seketika, diganti tatapan kosong. Hatinya remuk, tapi di balik keterpurukan itu, ada percikan kecil yang mulai menyala—pertanyaan yang sama terus menggema di kepalanya: Apakah aku masih sanggup bertahan di rumah ini?
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati