Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
•Prolog
Aku terbaring di atas cairan merah yang terus merembes ke sela-sela tanah. Bunyi bising di sekitarku tidak lebih berisik dari suara-suara di kepala. Itu sangat memekakkan telinga.
Langit gelap mulai menitikkan air hujan. Seolah memperingati hari kematianku dan waktu yang tinggal sebentar. Namun selain langit, aku yakin tidak ada seorang pun yang akan bersedih. Eksistensiku seumpama noda hitam yang tak layak untuk diberi perhatian atau belas kasian.
Aku menantikan tubuhku menyatu sempurna dengan alam. Menguap dan berubah menjadi bintang.
Apa itu terdengar konyol?
Kematian adalah salah satu hal paling membahagiakan setelah aku lelah dengan seisi bumi beserta para penghuni di dalamnya. Mereka yang mengenakan topeng untuk terlihat sempurna dan orang-orang yang tak segan merendahkan orang lain yang tidak lolos standardisasi kehidupan.
Aku akhirnya bebas dari segala macam kebencian tak berakar.
Sejujurnya aku telah menghitung waktu sejak seisi duniaku berubah menjadi abu-abu. Harapan dan mimpi sudah pergi meniadakan diri oleh ribuan realitas tak adil yang dicetak oleh mereka yang punya kuasa.
Aku yang hanya seonggok sampah di jalanan kotor? Lebih baik dihilangkan saja daripada mencemari sekitar mereka. Yah, aku sudah biasa dianggap sebagai pemeran ekstra tidak berguna atau badut konyol yang pantas dipermainkan seenaknya.
Kegelapan mulai memerangkap penglihatanku. Semua suara berubah menjadi keheningan yang aku harap akan abadi.
Sebab aku benci seluruh suara di muka bumi beserta takdirnya yang acap kali mengkhianati. Walau semua itu tidak akan mampu meniadakan fakta, yang paling aku benci di dunia masihlah Aluna Capella.
Yang tak lain dan tidak bukan ialah diriku sendiri.
•••
Bab-1
Seorang gadis perlahan membuka netranya. Ia mengerjap pelan untuk memastikan apakah pandangannya sudah benar. Dia jelas sudah mati di jalanan. Tepat di bawah guyuran air hujan dan suara-suara panik orang-orang di sekitar. Tapi, apa ini? Bukannya rumah sakit atau kontrakannya malah sebuah penjara kotor yang masuk dalam pandangannya.
Aluna Capella. Gadis yang bahagia atas kematiannya sendiri itu mengerutkan keningnya bingung. Dia menatap sekeliling dengan heran. Sungguh, dia tidak mati? Atau Semesta sedang bercanda dan membuatnya hidup kembali?
Aluna mencoba bangkit dari tumpukan jerami yang menjadi alasnya berbaring saat ini. Seluruh tubuhnya terasa lemas tanpa tenaga. Perutnya sudah berdering sejak ia membuka mata. Lapar sekali. Untungnya ini Aluna, gadis yang sudah terbiasa menahan lapar sejak masih kecil hingga dewasa.
Ada yang aneh. Ruangan ini terlalu tidak familiar baginya. Tidak ada alasan juga baginya untuk dimasukkan ke penjara. Sudah jelas pengendara itu yang membuat kesalahan hingga dia tertabrak. Apa mungkin pengendara itu orang kaya raya? Mereka kan biasanya bebas mengendalikan hukum negara.
Keanehan juga terjadi di tubuhnya. Kulit ini terlalu halus dan lembut bagi pekerja paruh waktu seperti dirinya. Apa pula helaian rambutnya yang malah berubah warna menjadi pirang. Dibandingkan mewarnai rambut dia pasti akan lebih memilih menggunakan uangnya untuk membeli makanan.
"Aku beneran hidup lagi?" Itu kesimpulan yang dia dapat dari semua keanehan ini. Tubuhnya berubah dan tempat ini juga asing baginya. Padahal, dia kan ingin mati. Kenapa susah sekali?
[ Benar, Nona. Anda telah dihidupkan kembali sebagai salah satu karakter novel. Selamat!]
Sebuah layar biru muncul di hadapan Aluna. Itu mirip dengan layar di game online yang pernah ia lihat saat masih kecil di ponsel temannya.
"Oke, tolong buat aku mati kembali," singkatnya lalu memejamkan matanya tenang. Layar itu terkejut melihat respon Aluna yang tidak masuk akal. Bukankah seharusnya gadis ini bahagia? Siapapun pasti ingin menjalani kehidupan kedua bukan?
[Itu tidak mungkin, Nona. Anda tidak mungkin mati sebelum satu bulan. ]
"Apa maksudmu?" Aluna kembali menatap layar aneh itu. Firasatnya memburuk. Sebenarnya sudah buruk sejak dia dihidupkan kembali seenaknya.
[Saya tidak memiliki kuasa untuk membunuh Anda sebelum satu bulan. Tapi tenang, Anda hanya akan hidup selama satu bulan saja. Setelah satu bulan, kehendak dunia akan secara otomatis melenyapkan Anda selama-lamanya. ]
Sudah seenaknya menghidupkan kembali, lalu membatasi masa hidupnya hanya satu bulan? Hahaha, Aluna nyaris tertawa mendengar lelucon konyol ini. Apa semesta ingin menjadikannya mainan? Dia sudah sangat muak menghadapi takdir yang selalu seenaknya, oke.
"Kamu seenaknya membuatku hidup lagi, tapi tidak bisa membuatku mati dan malah membatasi hidupku hanya satu bulan? Kalau tidak niat menghidupkan aku lagi kenapa dilakukan sih?!" Emosinya memuncak saat ini. Sudah cukup dia dipermainkan. Sudah cukup takdir membuatnya menderita.
[Maaf, Nona. Tapi, memang begitu ketentuannya. Anda tidak akan bisa melawan.]
Sekarang malah meremehkannya. Aluna menatap layar itu kesal. Dari sekian banyaknya orang yang ingin hidup lagi, dia tidak pernah menjadi salah satunya. Kenapa sekarang dia harus ada di posisi ini?
"Yah, kau mungkin benar. Orang sepertiku mana mungkin punya kuasa untuk melawan." Bahkan jika ini kehidupan kedua, tapi semua sama saja. "Jadi apa lagi yang kamu mau dariku?"
[Anda hanya harus hidup selama satu bulan sebagai Agatha. Tokoh Antagonis di dunia ini. Saya tidak menuntut Anda melakukan hal lain karena sebenarnya alurnya sudah mencapai ending. ]
[Hanya saja Agatha harusnya mati satu bulan kemudian, tapi entah kenapa dia sudah mati tadi. Menambah pekerjaanku saja. Sampai akhir pun dia masih tetap merepotkan. Tinggal menjalani alur saja apa susahnya sih?]
Layar itu mengomel panjang lebar. Menyalahkan tokoh antagonis yang mati lebih cepat dari jadwal seharusnya. Disini Aluna hanya dijadikan pengganti agar takdir tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Tangan Aluna mengepal kencang. Ternyata dia begitu rendah hingga layak diperlakukan sedemikian rupa.
[Hari ini sudah terhitung satu hari ya. Jadi sisanya tinggal 29 hari lagi. Jangan banyak tingkah dan terima saja takdirmu itu. Toh, perlawanan apapun darimu tidak berguna.]
Telapak tangan Aluna mulai berdarah karena tangannya mengepal terlalu kuat. Tubuh Agatha yang pada dasarnya lemah sangat mudah terluka.
Tapi seperti yang dikatakan oleh layar aneh yang menamai dirinya sendiri dengan nama 'Sistem', memangnya apa yang Aluna bisa? Takdir bukanlah sesuatu yang bisa dilawan oleh manusia. Karena itulah dia selalu hidup dalam derita.
•••
"Papa, tidak mau main dengan Atha?" Seorang gadis mungil menatap ayahnya dengan penuh permohonan. Tangannya memegang boneka dengan erat. Menyalurkan kegugupannya saat berbicara dengan Sang Ayah.
Duke Blanche menatap putri satu-satunya dengan tenang. Tangannya terangkat. Bukan untuk membelai putrinya melainkan mencengkeram dagunya erat.
"Agatha, siapa yang mengajarimu menjadi tidak punya sopan santun seperti ini? Apa itu bibi pengasuhmu?" Agatha menggeleng takut. Ayahnya terlihat menyeramkan saat ini. Dagunya sakit dan membiru. Air matanya sudah mengucur deras sembari berharap Ayahnya akan melepaskannya dan memaafkan ketidak sopanannya tadi.
Agatha salah. Tidak seharusnya putri bangsawan terhormat melakukan itu. Dia harusnya fokus belajar dengan baik.
"A-ayah sakit," rintihnya kesakitan. Duke Blanche malah menambah kekuatan tangannya lalu menjambak rambut pirang milik Agatha.
"Pastikan untuk melihatnya baik-baik, Agatha. Ini pelajaran pertamamu dari Ayah." Duke Blanche memberi kode pada ksatria di belakangnya. Ksatria itu dengan sigap memahami kode tuannya lalu berjalan mendekati bibi pengasuh.
Bibi pengasuh dipaksa berlutut. Tubuhnya bergetar takut. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Slashh...
"Aaaaaaaaa Bibi!!"
Darah memercik hingga mengenai wajah Agatha. Bibirnya pucat pasi. Kakinya melemas hingga tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Dia terjerembab jatuh ke tanah.
Duke Blanche menyeringai. Dia melepaskan putrinya lalu melangkah ke mayat salah satu pelayannya itu. Dia menendang kepala pelayan itu ke depan Agatha sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.
Gadis kecil itu merangkak lalu memeluk kepala bibi pengasuh kesayangannya. Dia berada di taman hingga malam hari tanpa seorangpun datang mengkhawatirkan dirinya.
Hari itu, Agatha sadar. Kastil ini bukanlah rumah melainkan neraka yang akan memenjarakannya hingga dia dewasa.