Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab bab 17
Tidak terasa, Ada banyak hari dan malam lewat begitu saja. Tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba saja dua pasangan akan mengadakan pertemuan, mereka adalah Tuan dan nyonya Sanggana yang berinisiatif mengundang kolega yang telah lama tidak saling kontak, Miko Abram dan Rania, istri tercintanya.
Restoran itu temaram dan elegan, aroma rempah lembut bercampur dengan wangi lilin vanilla di atas meja bundar tempat dua pasangan keluarga itu duduk. Nyonya Vera tampak anggun dalam balutan gaun berwarna safir, di sampingnya Tuan Sanggana yang berwibawa duduk tenang dengan tangan terlipat.
Rania dan Miko datang tak lama kemudian.
“Selamat malam,,” sapa Miko ramah. “Sudah lama sekali kita tak makan malam bersama begini.”
“Benar,” jawab Vera tersenyum hangat. “Dan malam ini rasanya memang saat yang tepat untuk itu.”
Setelah beberapa hidangan pembuka tersaji, percakapan ringan mengalir tentang bisnis, tentang klinik Chesna yang berkembang, tentang kondisi kesehatan Gideon yang makin stabil.
Tapi perlahan, suasana mulai berubah ketika Vera menatap pasangan di seberangnya dengan raut sedikit ragu namun penuh keyakinan.
“Rania, Miko… sejujurnya aku punya alasan lain kenapa ingin bertemu malam ini,” katanya lembut.
Rania menatapnya dengan penasaran. “Ada apa, Vera?”
Vera meletakkan gelasnya, lalu menghela napas kecil. “Aku tahu topik ini mungkin terlalu pribadi, tapi aku ingin membicarakan sesuatu tentang Gideon… dan Chesna.”
Miko dan Rania spontan saling pandang, ekspresi mereka campur antara terkejut dan penasaran.
Tuan Sanggana menatap istrinya, membiarkannya melanjutkan. Sekilas, ia merasa kasihan pada putranya itu, yang karena kondisi fisiknya yang tidak lagi sempurna maka isrinya yang seorang Nyonya vera Sanggana mengesampingkan gengsi, bahkan sepintas terlihat seperti memohon untuk kebahagiaan putra tunggal mereka.
“Kalian pasti masih ingat,” ucap Vera, suaranya mulai bergetar lembut, “betapa dekatnya mereka dulu semasa sekolah. Gideon bahkan tidak pernah membuka hati pada gadis mana pun, tapi pada Chesna… anak itu seperti menemukan dunianya. Dan meskipun mereka tak pernah menjalin hubungan resmi, semua kita tahu, perasaan itu nyata.”
Rania terdiam. Senyum samar terbit di wajahnya, sebuah senyum nostalgia yang samar sedih. “Aku masih ingat… Putriku menangis berhari-hari tanpa suara setelah kepergian Gideon waktu itu.”
Vera mengangguk pelan, menunduk sedikit. “Ya… dan ketika kecelakaan itu terjadi, dia sedang dalam perjalanan untuk menjemput Chesna. Sejak malam itu, hidupnya berubah total.”
Suasana meja menjadi sunyi.
Tuan Sanggana akhirnya bersuara, dengan nada rendah tapi mantap.
“Kami tidak bermaksud memaksakan apa pun. Tapi kami melihat Gideon sudah pulih, baik secara fisik maupun mental. Ia mulai kembali aktif di perusahaan, dan… mungkin, sudah waktunya dia bertemu kembali dengan orang-orang dari masa lalunya.”
Vera menatap Rania, matanya teduh. “Kami hanya ingin tahu… bagaimana menurut kalian, kalau suatu saat kami berinisiatif mendekatkan mereka lagi? menutup masa lalu atau mungkin memulainya kembali.”
Miko terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kupikir… itu bukan hal buruk. Mereka berdua sudah dewasa sekarang. Siapa tahu, perasaan dulu itu masih tersisa atau setidaknya bisa jadi awal baru.” Miko sendiri tahu persis bahwa putrinya sudah menunggu gideon selama dua belas tahun. Sekali lagi, dua belas tahun.
Rania menatap meja, senyumnya lembut tapi matanya tampak berkaca.
“Dua belas tahun, Vera. Waktu yang panjang. Tapi kalau memang takdir masih membuka jalannya, mungkin sudah seharusnya mereka diberi kesempatan itu.”
Vera menatap suaminya, lalu menunduk pelan dengan senyum puas yang tenang.
“Jadi… kita sepakat, ya?” katanya lembut.
Miko tersenyum, menegakkan gelasnya. “Untuk masa lalu yang belum berakhir dan mungkin, untuk awal yang baru.”
Keempatnya saling mengangkat gelas, dan untuk sesaat, restoran itu terasa seperti ruang kecil yang menyimpan rencana besar.
___
Kediaman keluarga Sanggana.
Ruang keluarga luas itu hanya diterangi cahaya lembut lampu lantai. Nyonya Vera duduk di sofa panjang dengan segelas teh hangat di tangan, sementara Tuan Sanggana duduk membaca koran di seberang. haruka? gadis itu sudah kembali ke Paris untuk melanjutkan perkuliahannya.
Langkah pelan terdengar di lantai, Gideon baru turun dari lantai atas dengan tongkatnya, mengenakan kaus rumah dan jaket tipis.
“Sudah malam, Ma. Tumben belum tidur,” ujarnya, menatap ibunya dengan alis terangkat.
Vera tersenyum misterius. “Menunggu kamu. Ada yang mau Mama tanyakan.”
“Wah, kalau nadanya kayak gitu biasanya bukan pertanyaan ringan,” gumam Gideon sambil duduk di kursi seberang. “Tentang pekerjaan?”
“Bukan.” Vera meletakkan cangkirnya pelan. “Tentang... hati.”
Gideon hampir tersedak udara. “Hati?”
“Ya, hati,” sambung Tuan Sanggana datar tanpa menatapnya. “Mama-mu penasaran, kamu nggak kepikiran menikah?”
Gideon menatap keduanya dengan tatapan kaget bercampur geli. “Apa ini semacam interogasi mendadak?”
Vera tersenyum manis tapi tajam. “Bukan. Cuma… kamu bukan anak kecil lagi, Nak. Mama cuma ingin tahu, apakah ada seseorang yang spesial di hidupmu sekarang?”
Gideon menghela napas, menunduk sebentar. “Aku belum mikir ke sana, Ma. Masih banyak yang harus aku bereskan di kantor.”
Vera menatapnya, matanya menyipit sedikit. “Termasuk urusan klinik yang sering kamu datangi belakangan ini?”
Gideon menatap ibunya dengan cepat, terlalu cepat, sampai-sampai reaksinya itu justru mengonfirmasi dugaan Vera.
Tuan Sanggana terkekeh kecil di balik korannya. “Kelihatannya Mama-mu mulai benar, hm?”
“Pa…” Gideon mendengus, menegakkan bahu. “Jangan mulai dengan gosip keluarga, deh.”
“Siapa yang gosip?” Vera terkekeh pelan. “Mama cuma senang lihat kamu mulai hidup lagi. Kalau itu karena seseorang, ya Mama bersyukur.”
Gideon terdiam, lalu hanya menjawab lirih, “Kadang, yang pernah ada di hati nggak gampang hilang, Ma. Tapi belum tentu bisa kembali.”
Vera menatapnya penuh arti, namun kali ini ia tidak menekan lagi. “Kalau begitu, pikirkanlah untuk menikahi Chesna.”
___
Sementara itu, di sisi kota lain, keluarga Miko juga tengah bersantai. Rania duduk di ruang tamu membaca buku, sementara Miko sibuk mengutak-atik tablet.
Chesna baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi, rambutnya masih setengah basah.
“Mama belum tidur?” tanyanya.
Rania menutup buku, tersenyum lembut. “Nggak bisa tidur. Kebetulan tadi Mama ketemu orang yang menarik.”
Chesna mengerutkan dahi. “Menarik gimana?”
Miko tiba-tiba menyelutuk dari sofa, nada suaranya santai tapi penuh maksud. “Kalau cowok sebaik Gideon Sanggana masih tertarik sama kamu, kamu bakal keberatan nggak?”
Pertanyaan itu membuat Chesna langsung menatap mereka curiga. “Gideon? Tertarik? Sama aku?”
Rania menatapnya sambil menahan senyum. “Iya, cuma tanya aja. Dulu kalian pernah akrab waktu SMA, kan? Kayaknya kamu cinta pertamanya, deh.”
Chesna mendengus, berusaha tampak tenang padahal jantungnya berdetak cepat. “Itu dulu, Ma. Tapi kan sudah dua belas tahun berlalu. Mana bisa sama lagi.”
“Tapi takdir lucu, kan? Setelah sekian lama, kalian bisa kerja di proyek yang sama.” Rania menatapnya dalam. “Mama cuma penasaran... kalau dia datang lagi ke hidupmu, kamu akan buka pintu atau tutup rapat-rapat?”
Pertanyaan itu membuat Chesna tercekat. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap secangkir teh di tangannya yang kini mulai mendingin.
Akhirnya ia berkata lirih, “Aku nggak tahu, Ma.”
Miko dan Rania saling pandang - keduanya tersenyum samar.
Rania akhirnya berdiri, menepuk bahu putrinya lembut. “Yang penting, jangan lari kalau hatimu masih ingin tahu jawabannya. Dunia ini kecil, Nak. Bisa jadi Tuhan sedang mempertemukan kalian lagi bukan tanpa alasan.”
"Kenapa tiba-tiba bahas Gideon, sih?"
"Ingat umur, sayang. kalau memang masih suka, jujur aja. Mama papa bisa urus." ujar Rania dengan mantap.
"Maksudnya, Mama sama Papa mau ngelamar Gideon buat aku? Yang benar aja, Ma... hidupku terlalu menyedihkan kalau sampai itu terjadi.!"
"Bukan, sayang. tetap gideon yang bakal datang ngelamar kamu."
"Apa? Mama sebut Gideon?" Chesna tampak ingin tertawa. "Gideon, Ma? Sekali lagi, Gideon Sanggana? Datang ngelamar aku?" Chesna membuang napas panjang dengan muka yang masih sama. "Mama boleh mengidamkan menantu tapi jangan terlalu banyak menghayal, deh." ucapnya remeh, menganggap itu mustahil.
Miko dan Rania saling tersenyum singkat.
___
Bersambung...
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??