Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Pagi itu suasana kantor PT Arkanata Pratama sudah ramai. Suara ketikan keyboard, dering telepon, hingga langkah-langkah karyawan yang sibuk mondar-mandir memenuhi ruangan. Namun di sudut lift lantai lima, seorang gadis muda berdiri sambil terengah-engah. Nafasnya masih tidak beraturan, rambutnya sedikit berantakan, dan keringat membasahi pelipisnya.
“Astaga… kenapa harus macet banget sih pagi ini?” gumamnya lirih.
Gadis itu bernama Aruna Prameswari, seorang karyawan baru di divisi administrasi. Hari ini adalah minggu ketiganya bekerja di perusahaan besar tersebut, tapi ia sudah sering mendapat tatapan tidak enak dari atasannya. Semua orang tahu, atasannya bukan orang sembarangan. Arkan Dirgantara, CEO muda perusahaan, terkenal dengan sifat dingin, perfeksionis, dan galak. Bahkan karyawan senior pun sering dibuat gemetar hanya dengan satu tatapan tajamnya.
Aruna buru-buru merapikan kemejanya, mencoba menenangkan diri. Ia melangkah cepat ke ruang kerjanya, berharap tak ada yang menyadari keterlambatannya. Namun sial, baru saja ia duduk, suara berat menggema di seluruh ruangan.
“Siapa yang baru datang jam segini?”
Semua karyawan spontan berhenti mengetik. Suasana ruangan mendadak hening. Tatapan mereka serentak mengarah ke Aruna yang masih berusaha menyalakan komputernya.
Aruna menelan ludah, tangannya gemetar. Belum sempat ia menjawab, seorang pria berjas hitam dengan wajah datar berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, langkahnya mantap, dan sorot matanya tajam menusuk. Dialah Arkan, bos galak yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan.
“Kamu!” suara Arkan tegas, penuh wibawa. “Kamu pikir ini pasar? Bisa seenaknya masuk jam berapa saja?”
Aruna buru-buru berdiri, wajahnya pucat pasi.
“Maaf, Pak… jalanan macet, dan—”
“Alasan!” potong Arkan cepat. Tatapannya menusuk seperti pisau. “Kalau kamu tidak bisa disiplin, silakan keluar dari sini sekarang juga. Perusahaan ini tidak butuh karyawan pemalas.”
Semua karyawan terdiam, tak ada yang berani membela. Aruna menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu Arkan memang galak, tapi tidak menyangka akan dipermalukan seperti ini di depan semua orang.
“Saya janji tidak akan terlambat lagi, Pak,” ucapnya lirih, hampir tidak terdengar.
Arkan mendekat, menatapnya dari jarak dekat hingga Aruna bisa merasakan aroma parfum maskulin yang menusuk hidung. “Kata-kata tidak ada artinya tanpa tindakan. Saya akan mengawasi kamu. Sekali lagi terlambat, kamu keluar.”
Aruna menunduk, menahan perasaan campur aduk antara takut, malu, dan kesal. Setelah mengatakan itu, Arkan berbalik meninggalkan ruangan. Suasana yang tadinya mencekam perlahan kembali normal, tapi jantung Aruna masih berdetak kencang.
“Kasian banget, Na,” bisik salah satu rekan kerjanya, Mira, sambil menepuk pundaknya. “Tapi emang udah sifatnya Pak Arkan. Semua orang di sini udah pernah kena semprot.”
Aruna tersenyum kecut. “Tapi kenapa harus aku yang dipermalukan di depan semua orang?”
Siang harinya, Aruna mencoba fokus bekerja, tapi pikirannya kacau. Setiap kali mengingat tatapan tajam Arkan, jantungnya berdegup tak karuan. Antara marah karena dipermalukan dan… entah kenapa ada rasa bergetar yang tidak bisa ia jelaskan.
Saat jam istirahat, Aruna memilih makan sendiri di pantry. Ia duduk sambil menatap nasi kotak yang sudah mulai dingin.
“Gila, bos itu galak banget. Kalau bukan karena butuh pekerjaan ini, aku udah resign dari tadi,” gumamnya sambil menghela napas.
Namun mendadak pintu pantry terbuka. Sosok tinggi dengan jas hitam masuk. Aruna sontak terbatuk, hampir tersedak makanannya.
“Pak Arkan?!”
Arkan menatapnya sebentar, ekspresinya tetap dingin. Ia berjalan menuju mesin kopi, membuat kopi hitam tanpa sepatah kata pun. Suasana mendadak canggung. Aruna menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya.
“Kalau kamu masih ingin bekerja di sini,” ucap Arkan tiba-tiba, tanpa menoleh, “belajarlah disiplin. Dunia kerja tidak bisa mentoleransi kecerobohan.”
Aruna mengangguk cepat. “Ba-baik, Pak.”
Arkan mengambil cangkir kopinya, lalu berjalan keluar begitu saja. Aruna hanya bisa menatap punggungnya, hatinya berkecamuk. Galak, menyebalkan, tapi… karismanya memang luar biasa.
Malam itu, sepulang kerja, Aruna baru saja masuk rumah ketika ibunya menyambut dengan wajah serius.
“Aruna, besok kamu harus ikut Mama ke rumah keluarga Pak Dirgantara.”
Aruna mengernyit bingung. “Pak Dirgantara? Yang punya perusahaan tempat aku kerja?”
Ibunya mengangguk. “Ya. Mereka sudah lama punya hubungan baik dengan keluarga kita. Dan… Mama sudah setuju kalau kamu akan dijodohkan dengan putra mereka.”
Aruna sontak terbelalak. “Apa?! Dijodohkan?!”
“Ya, kamu akan bertunangan minggu depan. Calon suamimu adalah Arkan Dirgantara.”
Dunia seakan berhenti berputar bagi Aruna. Tubuhnya membeku, mulutnya terbuka tanpa suara.
Arkan? Bos galak itu?
Pria yang baru saja mempermalukannya di depan semua karyawan?
Sekarang… akan menjadi suaminya?