Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22.
“Tapi... ada apa, Pak? Katakan!” suara Arjo terdengar tegas, penuh kegelisahan. Wajahnya pucat, keringat dingin mulai mengalir di pelipis.
Pak Karto menarik napas panjang, lalu menatap Arjo dan Kang Pono dengan sorot mata berat.
“Ada jejak kaki kuda... selain kuda yang saya bawa.”
Arjo menelan ludah, pelan. “Apa ada tanda-tanda perlawanan?”
“Tidak.” Pak Karto menggeleng. “Tak ada pintu rusak. Tak ada darah. Tapi...” Ia berhenti sejenak. Wajahnya menegang.
“Di dinding rumah... ada tulisan. Pakai arang. Tulisan Jawa Kuno. Saya hanya mengerti sedikit.”
“Apa isinya?” tanya Kang Pono, cepat.
Pak Karto menarik napas sekali lagi. Lalu, dengan suara parau, ia mengucapkan:
“Sing nggoleki, bakal ketemu. Sing ora siap, bakal ilang.”
Yang mencari, akan menemukan.
Yang tidak siap... akan hilang.
Hening. Seolah seluruh alam membeku. Tak ada angin. Tak ada suara.
Arjo segera kembali masuk ke dalam loji. Ia mendekati Nyi Kodasih yang sejak tadi duduk bersila, memejamkan mata. Di tangannya, kalung kelor tergenggam erat.
“Aku sudah mendengar,” ucap Nyi Kodasih lirih. “Sekarang kamu pergi. Ritual Kesunyian sudah gagal. Jika dilanjutkan pun, percuma.”
Ia membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong.
“Mbah Jati... entah pergi sendiri, atau dibawa. Mungkin juga ia menyerah. Atau mungkin ... ditarik.”
Arjo menunduk. Ada gurat duka di wajahnya. Ia merasa gagal. Gagal membantu, gagal belajar hingga tuntas pada Mbah Jati. Masih banyak yang belum ia pahami.
“Lalu... apa yang akan Nyi lakukan?” tanyanya pelan. “Menerima semua ini... atau pergi ke rumah Mbah Ranti?”
“Kamu tak perlu tahu,” jawab Nyi Kodasih datar. Ia perlahan bangkit. Langkahnya gontai saat berjalan menuju kamar. Punggungnya seolah membawa beban yang tak kasat mata.
Di luar, matahari mulai tinggi. Kabut memang belum sepenuhnya sirna, tapi cahaya terang telah menerobos sela-sela pepohonan di halaman loji.
“Ayo Kang, kita pulang.” Arjo menatap Kang Pono yang berdiri di ambang pintu, masih terpaku.
“Jo... apakah mungkin Nyi Kodasih akan pergi ke rumah Mbah Ranti?” tanya Kang Pono, hampir tak terdengar.
Arjo menggapit lengan Kang Pono, agak keras. Ia menariknya menjauh dari loji Tuan Menir. Di tangan satunya, ia masih menggenggam kitab kecil peninggalan Mbah Jati.
“Ada kemungkinan itu, Kang.” bisiknya saat mereka melewati gerbang loji.
Ia berhenti sejenak, lalu menatap tajam saudaranya.
“Lebih baik Kang Pono buang cinta itu. Kalau Kang Pono masih ingin selamat, jiwa raga Kang Pono sendiri.”
“Kenapa?”
Arjo menunduk sedikit, lalu berkata lirih:
“Nyawa Kang Pono bisa jadi tumbal. Dan jiwamu... bisa menjadi milik Mbah Ranti. Bahkan Mbah Jati pun tak bisa memastikan, apa Mbah Ranti itu manusia, atau bukan.”
Kang Pono terdiam. Langkahnya lambat, penuh pikiran.
“Aku sangat mencintai dia, Jo...” gumamnya. “Aku ingat, saat kecil dia kelaparan. Keluarganya meninggal satu per satu. Orang tuaku yang mengasuhnya. Dia rajin, ringan tangan... membantu Si Mbok. Tapi sejak dia jadi pemetik kopi di perkebunan Tuan Menir...”
Kata-katanya menggantung.
Arjo menepuk bahunya. “Sudahlah Kang. Hati manusia bisa berubah. Apalagi jika ada luka lama yang belum sembuh. Dendam dan kemewahan bisa membutakan siapa pun. Mungkin Nyi Kodasih tak ingin lagi hidup miskin. Dan cinta dari sang Tuan... memberinya dunia yang tak pernah ia punya.”
Mereka berjalan dalam diam, hanya ditemani desir angin dan jejak jejak kenangan masa lalu yang mulai terasa asing.
Langkah Arjo dan Kang Pono belum jauh dari gerbang loji ketika suara langkah cepat terdengar dari belakang.
“Jo! Kang Pono! Tunggu sebentar!”
Mereka menoleh bersamaan. Seorang gadis muda dengan kain batik dan baju lurik lusuh, berlari kecil menyusul mereka. Di tangannya, tampak bungkusan daun pisang berisi makanan.
“Yu Tiyem?” Arjo mengangkat alis. “Ada apa kamu menyusul?”
Tiyem sedikit terengah, lalu mengulurkan bungkusan itu ke Kang Pono.
“Mbok Piyah menyuruh aku mengantar ini. Katanya kalian belum sarapan. Ini jenang abang dan pisang kukus. Aku tambahi tempe goreng, tadi masih anget.”
Kang Pono menerima bungkusan itu sambil mengangguk. “Terima kasih, Yem.”
“Maaf, Kang, kalau nasinya agak keras. Aku masaknya buru-buru.”
Tiyem tertawa kecil, tapi matanya diam-diam memperhatikan wajah Kang Pono, mata yang lelah, dan sorotnya yang masih memikirkan Nyi Kodasih.
“Terima kasih, Yu. Tapi... kamu tak perlu repot repot,” ucap Arjo pelan.
“Bukan repot, Jo. Aku... aku memang pengen.” jawab Tiyem cepat, lalu pipinya memerah.
Hening sejenak. Hanya suara burung hutan dan ranting yang patah di bawah kaki.
“Kang Pono...” Tiyem memandangnya ragu. “Aku tahu... hatimu masih di loji. Tapi, jangan terlalu dalam, ya.”
Kang Pono memandang gadis itu. Mata Tiyem jernih. Suaranya lembut, namun menyimpan sesuatu yang tulus dan menahan.
“Aku tidak ngerti apa apa soal dunia kalian. Tapi aku lihat dan dengar sendiri, kejadian kejadian ganjil di loji karena ritual....” suara Tiyem mengecil. “Aku takut, Kang. Takut kamu ketarik juga...”
Kang Pono tersenyum samar. “Tiyem... kamu gadis baik.”
Tiyem menggigit bibirnya. “Jadi jangan pilih yang jalannya sudah beda, Kang. Mungkin dia dulu butuh cinta. Tapi sekarang... dia butuh tumbal.”
Arjo menatap Tiyem sejenak. Lalu menepuk bahu Kang Pono.
“Kamu dengar itu?” bisiknya. “Mungkin dunia kasihmu harus mulai geser sedikit. Dari loji... ke dapur belakang.”
Tiyem terkekeh pelan, menunduk malu. “Aku pulang dulu, ya. Hati hati di jalan. Jangan lupa makan.”
Langkah Tiyem menjauh, kainnya terseret tanah basah, tapi hatinya terasa ringan. Ia tak tahu apakah Kang Pono akan membalas perasaannya. Tapi hari ini, setidaknya... ia sudah berani mengatakannya dengan caranya sendiri.
Kang Pono memandangi punggung gadis itu sampai hilang di balik pepohonan.
“Jo...” gumamnya pelan. “Mungkin... yang aku cari tidak selalu ada di tempat yang aku kira.”
Arjo tersenyum tipis. “Kadang yang benar justru datang diam diam, bawa jenang dan tempe goreng.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan, kini dengan sedikit rasa hangat yang tak dibawa cahaya matahari, tapi dari jenang, kata-kata tulus, dan sorot mata jernih seorang gadis bernama Tiyem.
Waktu pun terus bergulir, di kala matahari telah melewati di atas ubun ubun. Warna nya tampak aneh: merah keperakan, seolah malu untuk bersinar. Suasana loji sunyi, kecuali suara burung-burung yang terdengar lebih keras dari biasanya, seperti mencoba mengusir sesuatu yang tak terlihat.
Sesaat terdengar suara kereta besi alias mobil Tuan Menir yang kembali tiba di depan loji.
Mbok Piyah dan Tiyem yang sedang mengambil jemuran pakaian di halaman samping. Langsung menoleh ke arah sumber suara.
Kidung asmorodono yang tadi mengalun lirih lembut dari bibir Tiyem mendadak terhenti.
“Mbok, Nyonya datang lagi. Pasti akan mengusir kita semua.” Ucap lirih Tiyem sambil memegang kain kain yang telah kering.
Mbok Piyah tak bisa berkata kata, hanya mampu menatap ke arah depan dengan tubuh gemetar.. tak tahu apa yang akan terjadi..
Nyonya Wihelmina turun dari mobil hitam berkilau, dengan senyum lebar. Disusul oleh Andrean dan seorang asisten Nyonya Wihelmina yang di tangannya membawa koper kecil dan satu map tebal.
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk