NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Kala Om Damian Berinisiatif

Ruang rapat utama Evans Corporation dipenuhi suasana formal. Pendingin ruangan bekerja dengan tenang, menyejukkan udara di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi meja panjang yang berdiri di tengah ruangan.

Di sisi tengah, Damian duduk dengan jas cokelat gelapnya yang rapi, matanya menatap layar besar di depannya, yang menampilkan logo perusahaan arsitektur pertama yang akan melakukan presentasi.

Di sisi kanan dan kiri Damian, duduk para direktur dan kepala divisi. Masing-masing telah membuka berkas penawaran di depan mereka.

Sementara di ujung ruangan, empat orang perwakilan dari perusahaan arsitek bersiap dengan materi mereka.

Elena duduk di kursi paling belakang, di pojok ruangan yang agak tersembunyi. Di pangkuannya, sebuah tablet menyala dengan layar notulen rapat yang sudah ia siapkan. Jemarinya sesekali menari cepat di atas layar, mencatat setiap detail pembukaan rapat. Namun, di sela ketukan jarinya, pandangannya kadang berpindah ke arah Damian yang terlibat berwibawa saat memimpin rapat.

Damian terlihat sangat tenang. Ia membuka map di hadapannya, membaca cepat, lalu menegakkan tubuhnya, “Baik, kita mulai presentasi dari PT Artha Desain dulu,” ucapnya sambil mempersilahkan perwakilan PT itu dengan sopan.

Begitu lampu ruangan sedikit diredupkan, proyektor menyala menampilkan desain pusat perbelanjaan modern yang akan mereka bangun. Cahaya dari layar itu memantul di wajah Damian. Tatapan pria itu berganti, dari presentator, layar presentasi, lalu ke berkas penawaran di hadapannya.

Saat menatap layar, tatapan Damian sempat melirik ke sudut ruangan. Di sana, Elena begitu fokus mendengarkan jalannya presentasi. Ia pun segera sadar, dan kembali menatap layar, menyembunyikan perasaan yang mulai sulit ia definisikan.

Presentasi itupun berlangsung cukup lama, sampai ke empat perwakilan PT memaparkan penawaran masing-masing.

Damian menutup berkas PT terakhir di depannya, lalu menghela napas pelan.

“Cukup untuk hari ini,” ucapnya tenang, namun tegas. Tatapannya beralih ke arah para perwakilan yang duduk di seberang meja.

“Terima kasih atas waktu dan presentasi kalian. Hasil akhir akan kami sampaikan dalam beberapa hari ke depan. Mohon menunggu keputusan resmi dari pihak kami.”

Beberapa perwakilan PT itu mengangguk sopan, sebagian lainnya saling bertukar pandang.

“Rapat selesai,” ucap Damian.

Setelah itu, suara gesekan kursi terdengar hampir serempak. Para peserta rapat segera beranjak, berjalan meninggalkan ruangan satu per satu tanpa banyak bicara.

Kini, hanya Damian dan Elena yang masih ada di dalam ruangan itu.

Elena menatap layar tabletnya, berusaha menyelesaikan catatan akhir rapat, sementara Damian berjalan mendekat ke arahnya.

“Sudah selesai?”

Elena mendongak dari layar tablet, “Sedikit lagi,” jawabnya, sambil mengetik beberapa baris catatan terakhir.

Damian mengangguk kecil, “Mau makan siang bersama?”

Pertanyaan itu membuat Elena berhenti sejenak. Ia menatapnya, alisnya sedikit terangkat, “Tumben. Bukannya Tuan lebih suka memesan dari restoran?”

Damian menyelipkan tangannya ke dalam saku celana, menarik napas perlahan, “Mungkin… karena aku ingin mentraktirmu.”

Elena terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menutup tab-nya, “Baiklah,” ujarnya dengan senyuman, “Aku setuju.”

Mereka pun berjalan keluar dari ruang rapat bersama, meninggalkan meja panjang dan kursi yang beberapa tidak dirapikan oleh penggunanya.

Di sepanjang perjalanan menuju parkiran, Elena berjalan di sisi Damian sambil mencuri-curi pandang ke arah pria itu. Bukannya gugup, tapi cukup senang karena ini pertama kalinya ia diajak makan siang di luar kantor. Apalagi saat melihat Damian yang berinisiatif terlebih dulu, telah menunjukkan bahwa batasan yang Damian bangun sudah tidak ada artinya lagi.

Pria itu, memang sudah jatuh ke dalam pesonanya. Dan sedikit lagi, ia yakin bisa memiliki Damian seutuhnya.

Setibanya di mobil, Damian dengan refleks membuka pintu untuk Elena.

“Terima kasih.” Elena tersenyum.

Damian hanya mengangguk singkat, “Silakan masuk.”

Begitu mesin menyala, Damian pun mulai menjalankan mobilnya keluar gedung perusahaan. Di perjalanan itu, Elena kerap melontarkan candaan yang membuat Damian tertawa lepas. Mobil yang biasanya sepi, kini terasa lebih hidup.

Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah restoran dengan nuansa musim panas yang khas. Nuansa hangat dari dominasi warna krem dan hijau zaitun terpancar jelas, langit-langitnya dihiasi lampu rotan bergaya tropis, dengan tanaman hijau yang menjuntai di antara celah atap kayu.

“Wah…” gumam Elena lirih, matanya menatap takjub interior restoran saat mereka melangkah masuk, “Aku baru tahu ada restoran seperti ini di tengah kota.”

Damian menoleh sekilas, ujung bibirnya terangkat, “Aku pernah datang ke sini satu kali.”

Pelayan segera menghampiri dan mengantar mereka ke meja di tengah ruangan. Meja itu relatif jauh dari terik matahari yang memantul dari jendela di sana.

Damian bergerak lebih dulu, lalu menarik kursi untuk Elena.

Elena sempat tertegun, tidak menyangka perlakuan seformal itu dari pria sepertinya.

“Terima kasih,” ucapnya sambil duduk perlahan. Tidak terhitung berapa kali ia mengatakan kalimat itu hari ini.

Damian menatapnya sekilas sebelum duduk di hadapan, “Sekarang, kita tidak di kantor. Jangan memanggilku Tuan.”

“Baik, Om Damian,” ucap Elena sambil terkekeh.

Pelayan datang membawa dua buku menu dan meletakkannya di atas meja. Elena dan Damian sama-sama membuka halaman demi halaman, menelusuri deretan nama makanan yang panjang.

“Cuaca panas seperti ini memang enaknya yang segar-segar,” gumam Elena sambil menopang dagu.

Damian hanya melirik sekilas, “Aku tidak peduli panas atau dingin, yang penting mengenyangkan.”

Elena terkekeh kecil, “Tentu saja, pria seperti Om pasti butuh tenaga ekstra untuk memikirkan urusan perusahaan.”

“Begitulah,” balas Damian tenang sambil menutup menu, “Saya pesan beef teriyaki dengan nasi putih dan espresso dingin.”

Pelayan mencatat, lalu menatap Elena.

“Kalau saya, mmm... chicken salad dan lemon squash,” ucapnya dengan senyum kecil.

Pelayan itu beranjak pergi dan segera menyiapkan pesanan mereka.

Damian bersandar di kursinya, matanya menatap ke arah Elena yang sibuk mengamati atap restoran.

“Jadi, ini pertama kalinya aku mentraktir sekretarisku di luar kantor,” ujar Damian.

Elena menatapnya, lalu tersenyum, “Dan aku akan menganggapnya sebagai pencapaian pribadi.”

“Pencapaian?”

“Tentu saja. Tidak semua sekretaris bisa makan siang bersama bosnya di tempat seindah ini,” jawab Elena sambil menunjuk interior restoran itu.

Damian terkekeh kecil, lalu memalingkan wajah, tapi sudut bibirnya masih terangkat.

Elena masih menatap pria itu. Ada guratan kepuasan yang bahkan tidak bisa dibaca Damian.

“Pencapaian karena rencanaku sudah menjeratmu,” batin Elena dengan licik.

Wanita itu kemudian memajukan tubuhnya, kedua tangannya menopang dagu, dan menatap Damian dengan kerlingan nakal.

“Kalau boleh tahu, Om pertama kali datang ke restoran ini dengan siapa?”

Damian menoleh, ia juga memajukan tubuhnya dengan ekspresi yang penuh teka-teki, “Menurutmu?”

“Mmm...” Bola mata Elena bergerak ke atas, “Mantan kekasih Om?”

Pria itu tertawa lepas, tidak menyangka jawaban itu keluar dari mulut wanita itu.

Elena bersandar ke kursinya, ia menatap kesal ke arah pria di depannya itu, “Kenapa tertawa?” ucapnya sambil melipat tangan di depan dada.

“Kau sudah lupa sepertinya. Aku tidak pernah berhubungan dengan wanita lain semenjak aku bercerai. Bukankah aku pernah mengatakannya saat kau berada di rumahku? Aku datang kesini dengan salah seorang klienku.”

“Ah... aku sudah ingat. Maafkan aku, Om,” ucap Elena dengan polosnya.

Damian kembali bersandar, “Santai saja.”

“Pencapaian baru lagi,” ucap Elena tiba-tiba.

“Maksudmu?”

Elena tersenyum lembut, “Karena aku adalah wanita pertama yang dekat dengan Om, setelah Om bercerai.”

Damian mengangguk setuju, lalu tersenyum, “Kau benar.”

“Tawaranku sebelumnya masih berlaku untuk Om.”

“Tawaran? Aku tidak ingat kau pernah memberiku tawaran.”

“Tawaran menjadi istri Om.”

Damian kembali tertawa, “Ah, saat di rumahku waktu itu,” Ia menatap Elena dalam, “Elena, aku anggap kau hanya bercanda.”

“Tapi aku serius,” ucap Elena dengan nada yang dibuat-buat kesal.

“Aku tidak ingin membicarakannya,” tegas Damian, nadanya sedikit dinaikkan, bahkan tatapan pria itu juga menajam.

“Baiklah, Om. Tapi, jangan marah dong,” ucap Elena dengan nada sedikit merajuk.

“Aku tidak marah,” ucap Damian, yang secepat kilat tatapannya berubah hangat.

Tidak lama, pelayan pun datang dengan membawa nampan berisi pesanan mereka. Aroma beef teriyaki yang gurih langsung memenuhi udara, bercampur dengan wangi lemon dari minuman Elena. Piring demi piring diletakkan di atas meja dengan rapi, dan Damian sempat mengucapkan terima kasih singkat sebelum pelayan itu meninggalkan mereka.

Elena menatap chicken salad di depannya dengan senyuman lebar, “Aromanya sangat lezat,” ucapnya sambil mencium aroma segar dari makanannya.

Ia pun segera mengambil sendok dan garpu.

Damian menegakkan duduknya, menunggu Elena mencicipi makanannya sebelum ia mulai dengan miliknya sendiri.

“Cobalah dulu. Kalau rasanya tidak sesuai seleramu, kita bisa pesan yang lain,” ucap Damian.

Elena menggeleng sambil tersenyum, “Tidak perlu, Om. Ini terlihat sempurna.” Ia menyuap sedikit, dan sekejap kemudian matanya berbinar, “Ini enak sekali! Aku tidak bohong.”

Damian ikut mencicipi makanannya sendiri, mengangguk puas, lalu melirik ke arah wanita itu, “Jadi, salad itu lulus ujian?”

“Tentu saja,” jawab Elena sambil tersenyum, “Aku bahkan ingin tahu resepnya.”

Damian terkekeh pelan, menaruh sumpitnya sejenak, “Tapi tetap saja, rasanya masih kalah jauh dibandingkan masakanmu.”

Elena mengangkat kepala, sedikit terkejut, “Benarkah?”

“Tentu saja. Masakanmu adalah makanan paling enak dari apa pun yang pernah kumakan.”

“Om bisa saja. Tapi terima kasih.”

Damian hanya menatapnya sesaat, lalu kembali ke makanannya dengan senyuman yang tidak bisa ia tahan.

Tiba-tiba ponsel Damian yang tergeletak di atas meja bergetar, membuat keduanya sontak menoleh ke arah benda itu. Layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi pesan masuk.

Damian meletakkan sumpitnya, meraih ponsel itu, dan membaca sekilas isi pesannya.

“Siapa, Om?”

“Dari pamanku.”

Elena hanya mengangguk pelan, seolah tidak ingin ikut campur urusan pribadi atasannya itu.

Damian menarik napas panjang, meletakkan ponselnya kembali di meja, lalu menatap Elena dengan serius.

“Kau ada waktu luang malam ini?”

Elena mengangkat alis, menatap Damian ragu.

“Aku?”

Damian mengangguk.

“Tentu saja aku luang,” jawab Elena santai, “Keseharianku hanya bekerja di kantor, dan setelah pulang, aku biasanya hanya bersantai. Memangnya ada apa?”

Damian menyandarkan punggungnya ke kursi, “Malam nanti ada pesta ulang tahun di rumah salah satu investor lama perusahaanku. Biasanya pamanku dan istrinya yang hadir mewakili perusahaan, tapi bibiku mendadak sakit. Aku bisa saja datang sendiri, tapi...” Ia berdecak, “Pria tua itu punya aturan aneh. Semua tamu undangan wajib membawa pasangan.”

Elena mengerjap, menahan senyum, “Peraturan yang cukup unik. Jadi biasanya paman dan bibi Om yang mewakili perusahaan?”

“Benar,” jawab Damian, “Paman adalah dewan direksi senior, dan dia lebih sering menghadiri acara seperti itu dibanding aku.”

Elena meletakkan sendoknya, menatap Damian mantap, “Kalau begitu, aku akan menemani Om malam ini.”

“Kau benar-benar tidak keberatan?” Damian menatapnya lekat, “Di sana nanti, akan banyak orang bermuka dua. Orang-orang yang hanya datang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Aku bahkan tidak menyukai lingkungan seperti itu.”

Elena tersenyum lembut, “Serahkan saja padaku. Om percaya padaku, kan?”

Damian terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, “Aku percaya. Aku akan menjemputmu nanti malam.”

Elena mencondongkan tubuh sedikit, tersenyum menggoda, “Kalau begitu, bersiaplah untuk menungguku berdandan.”

Damian terkekeh singkat, “Tidak perlu berdandan terlalu berlebihan. Aku tidak ingin semua mata tertuju padamu nanti.”

Elena menatapnya lekat-lekat, “Om cemburu?” pancingnya.

“A—aku?” Damian sedikit gagap dan memalingkan wajahnya ke samping, “Aku hanya khawatir saja, bukan cemburu.”

Elena menahan tawa, menatap pria itu geli, “Aku hanya bercanda, Om. Mari kita lanjut makan sebelum makanannya dingin.”

Damian mengangguk cepat, berusaha mengalihkan suasana. Ia kembali mengambil sumpitnya, menyuap makanan dengan ukuran besar. Sementara Elena memandangnya dari seberang meja dengan senyuman kecil di sela kunyahannya.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!