CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"P—Pak Dimas??" Matanya membelalak kaget saat sang atasan tiba-tiba muncul di depannya dan dia semakin was-was saat lelaki itu semakin mendekat ke arahnya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
"Bukannya kamu sudah tahu kalau aturan untuk menjadi sekretaris saya harus single apalagi tidak mempunyai anak?"
"Bu—bukan seperti itu pak. Saya memang belum menikah apalagi mempunyai anak. Saya bisa jelaskan—ARGHH!" Belum selesai Velove berbicara, perempuan itu sudah dibuat mengerang karena Dimas dengan tiba-tiba meremas sebelah gundukannya yang menyebabkan cairan putih itu merembes keluar.
***
"Vel, lo dipanggil sama Pak Dimas tuh di ruangannya."
Velove yang berada di balik kubikelnya sedikit terperanjat kaget saat suara itu tiba-tiba muncul. Perempuan itu mendongakan kepalanya dan mendapati Dewa sedang berdiri di depannya. Kemungkinan lelaki itu baru saja keluar dari ruangan Pak Dimas.
"Ya ampun, Mas Dewa! Bikin kaget aja." Ucap Velove seraya menatap rekan kerja yang berbeda divisi dengannya.
"Udah buruan sana ke ruangan atasan lo, sebelum tuh orang ngamuk-ngamuk." Lelaki itu berucap seraya tertawa kecil di akhir.
"Iya-iya ini juga mau langsung ke sana." Velove menjawab seraya menyingkirkan bantal leher yang dia gunakan sebagai penyangga dagu dan beranjak dari duduknya, sedangkan Dewa sudah melengos dari sana.
Perempuan itu merapihkan penampilannya terlebih dulu sebelum masuk ke dalam ruang kerja milik Dimas Gautama, yang selama 2 tahun ini selalu menerornya dengan banyak kerjaan dan banyak perintah.
Ah, atasannya itu pasti akan menanyakan soal file yang pagi tadi untuk di revisi oleh Velove. Tapi Velove belum sempat untuk mengerjakan itu karena dirinya sibuk untuk mengatur ulang jadwal lelaki itu yang dibatalkan kemarin.
Setelah sampai di depan pintu yang tinggi, perempuan itu mengetuk pelan ruang sang atasan. “Permisi, Pak.”
"Masuk." Suara dingin itu terdengar dari dalam sana. Yang membuat Velove segera masuk ke dalam ruangan itu.
"Mana file yang tadi pagi saya minta kamu buat revisi?" Tidak pakai basa-basi lagi Dimas langsung menanyakan file itu tanpa menatap sedikitpun pada Velove, lelaki itu masih fokus pada laptop di depannya.
"Maaf, Pak. Filenya belum selesai saya revisi saat ini, nanti setelah makan siang akan segera saya kirimkan." Velove mengatakannya sambil menunduk karena tidak berani untuk menatap ke arah atasannya itu.
Dimas lantas mendongakan kepalanya untuk mengalihkan pandangannya dari laptop pada Velove, lalu lelaki itu mengernyitkan dahinya saat melihat hal aneh pada penampilan sekertarisnya itu.
Atasannya itu menatap ke arah Velove dengan mata tajam dan juga ekspresi datarnya. "Kamu ini bisanya apa, Velove? Masa merevisi satu file saja tidak bisa, apa saja yang kamu pelajari 2 tahun ini bersama saya?" Ucapan Dimas itu terdengar menohok bagi Velove.
"Tadi saya mengatur ulang jadwal dan menghubungi beberapa clien karena Bapak membatalkan jadwalnya kemarin." Jawab perempuan itu masih dengan menundukan kepalanya.
"Kalau sedang berbicara itu lihat lawan bicaranya." Tegur lelaki itu. "Dan juga, apa-apaan kamu ini datang ke ruangan saya dengan kemeja basa seperti itu?"
Mendengar perkataan Dimas sontak membuat Velove mendongakan kepalanya, lalu menelisik kemeja yang sedang dia pakai saat itu. Matanya membelalak saat mendapati kemeja yang tengah dia pakai basah di bagian dada, buru-buru perempuan itu menutupnya dengan map yang dia bawa.
"Pak... maaf saya tidak tahu kalau kemeja saya basah." Perempuan itu mengatakannya sambil menahan malu karena kemejanya ternyata menjadi tembus pandang di bagian dada karena basah. Apa Dewa juga melihatnya tadi? Tapi kenapa lelaki itu malah diam saja? Atau memang dia tidak melihatnya karena tadi tertutupi oleh bantal?
Dimas berdehem pelan guna menghilangkan rasa pada tenggorokannya yang mendadak tercekat. "Ambil jas saya yang ada di sofa, kamu rapihkan dulu sana ke kamar mandi penampilan kamu dan pakai jas itu." Lelaki itu melirik pada jas miliknya yang tergeletak asal di atas sofa sana.
"Ti—tidak usah Pak, saya masih bisa menutupinya."
"Dan tangan kamu akan terus seperti itu sampai menunggunya kering?"
Mendengar pertanyaan itu Velove terdiam sejenak, benar juga apa yang dikatakan oleh atasannya itu, tidak mungkin dia seperti ini terus sampai menunggu kemejanya kering.
"B—baik, Pak. Saya pinjam jas Bapak dulu." Perempuan itu membawa langkah kakinya ke arah sofa dimana jas itu berada, lalu dia kembali ke hadapan Dimas untuk meminta izin ke kamar mandi terlebih dahulu.
"Kalau begitu saya izin ke kamar mandi sebentar Pak." Velove membungkukan sedikit tubuhnya sebelum dia beranjak untuk keluar dari dalam ruangan.
"Tunggu."
Mendengar suara itu membuat tubuh perempuan itu terhenti dan kembali berbalik menatap ke arah atasannya. "I—iya, Pak?"
"Pakai toilet ruangan saya aja, biar gak lama."
"O—oh, baik Pak terima kasih." Perempuan itu membawa langkah kakinya ke arah toilet yang ada di dalam ruangan itu dengan jas milik Dimas yang ada di tangannya.
***
"Duh ini air apa sih? Kok tiba-tiba bisa ada gini, mana baunya aneh."
Velove terus menggurutu sambil mencoba untuk mencium kemeja basah yang dipakainya, perempuan itu sedikit mengernyit karena kemejanya itu hanya basah di bagian dadanya saja.
"Aww!" Perempuan itu sedikit meringis karena tangannya tidak sengaja menyentuh bongkahan kembarnya yang entah kenapa menjadi sangat sensitif seperti ini.
"Ini kenapa lagi dada aku malah jadi ngilu begini. Apa mungkin aku mau datang bukan kali ya?" Velove berpikir demikian karena memang terkadang dia merasakan beberapa bagian tubuhnya sensitif jika mendekati datang bulan.
Tidak ingin membuat sang atasan menunggu lebih lama, perempuan itu mencoba untuk membilas sedikit kemejanya agar tidak terlalu bau dan segera memakai jas milik Dimas untuk menutupi kemejanya yang basah itu. Setelah dirasa penampilannya sudah rapih, Velove membawa langkah kakinya untuk keluar dari toilet itu.
Saat dirinya keluar dari dalam toilet, hal yang pertama dia dapati adalah Dimas yang sudah kembali fokus berkutat dengan berkas-berkas di tangannya, raut wajahnya terlihat sangat serius dan jangan lupakan wajah tegasnya yang kerap membuat beberapa orang takut ketika melihatnya.
"Permisi, Pak. Bapak siang ini ada janji makan siang bersama Pak Wisnu dan setelahnya akan ada jadwal meeting untuk pembahasan soal peluncuran produk baru." Ucap Velove menjelaskan tentang apa saja jadwal sang atasan siang ini, jadwal yang seharusnya dijalankan kemarin tapi karena Dimas membatalkannya jadi dia harus mengatur ulang jadwal tersebut.
Sebuah anggukan singkat dari lelaki itu menjadi sebuah jawaban untuk penjelasan Velove. "Kamu ikut saya untuk janji makan siang dengan Pak Wisnu."
"Eum, tapi Pak—"
"Tidak ada tapi-tapian." Potongnya dengan cepat.
"Maaf Pak sebelumnya, tapi saya harus merevisi berkas yang Bapak suruh revisi tadi pagi, mungkin nanti saya akan meminta Bu Chaca untuk menemani Bapak."
"Saya mau kamu yang ikut, lagipula memang kamu mau melewatkan makan siang kamu? Kalau kamu sakit, akan semakin banyak kerjaan yang tertunda."
"Saya bisa makan di kubikel saya Pak." Jawab perempuan itu.
"Kamu ini! Turuti perintah saya, ikut saya makan siang! Tidak ada penolakan, kamu bisa keluar sekarang." Suara milik Dimas lebih tinggi dari sebelumnya membuat Velove hanya bisa terdiam tidak bisa berkutik.
"B—baik Pak, saya permisi kalau begitu." Perempuan itu sedikit membungkukan tubuhnya sebelum kemudian keluar dari dalam ruangan itu dengan perasaan kesal pada sang atasan.
Sialan!
Arghhh, Pak Dimas sialan! Kalo kayak gini gimana aku bisa revisi berkas yang tadi pagi dia suruh kerjain.
Sepanjang perjalanan menuju ke kubikelnya, Velove hanya bisa mengumpati sang atasan yang sangat menyebalkan itu, andai saja lelaki itu bukan atasannya, pasti sudah Velove maki-maki langsung di depan wajahnya.