Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NAYARA DAN KAELITH
Nayara menghela napas kesal ketika tidurnya terusik. Dengan malas, ia membuka mata dan mendapati Kaelith tengah menatapnya sambil tersenyum samar. Sebelum sempat berkata apa-apa, pria itu kembali menunduk dan mencium bibirnya. Kali ini tak sekadar mencium Kaelith melumatnya dengan paksa, seolah Nayara adalah miliknya dan tak punya hak untuk menolak.
"Kaelith, lepaskan," desis Nayara kesal, mencoba menarik wajahnya menjauh.
Pria bermata biru itu akhirnya menghentikan ciumannya namun bukan tanpa meninggalkan jejak. Ia menggigit lembut bibir Nayara yang sudah terlihat membengkak, seolah menjadikannya milik yang ditandai.
"Akh…" Nayara meringis, rasa perih menyelip di antara helaan napasnya.
"Good morning, baby," bisik Kaelith seraya mengecup kembali bibirnya yang baru saja ia sakiti manis sekaligus menyebalkan.
Nayara segera memalingkan wajah begitu tatapannya bertemu dengan mata biru dingin milik pria itu.
"Ayo bangun. Aku bawa oleh-oleh untukmu," ujar Kaelith, kini berdiri santai di ambang pintu kamar dengan senyum tipis di wajahnya.
Pria itu baru saja kembali dari sesi latihan bersama klub sepak bola tempatnya bernaung saat ini Nexora FC, tim elit yang tak hanya membanggakan namanya, tapi juga memperkuat kuasa yang ia miliki.
"Tidak, aku masih ngantuk. Taruh saja di kulkas, nanti aku makan," ucap Nayara, menolak tanpa menoleh, suaranya terdengar lelah dan dingin.
Kaelith tak pernah suka jika Nayara membantah. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mendekat, lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh gadis itu.
"Mau lihat oleh-oleh dariku, atau... kita bersenang-senang dulu di ranjang, hm, sayang?" bisiknya di dekat telinga Nayara, nada suaranya licin dan menggoda.
Nayara menghela napas pelan, jelas kesal, namun tak cukup berani untuk melawan. Ia tahu, menolak hanya akan memperpanjang permainan pria itu.
Dengan mata masih setengah tertutup karena kantuk, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan melewati Kaelith yang hanya tersenyum puas, seperti baru saja memenangkan sesuatu.
Nayara duduk di depan meja makan, matanya menatap kosong pada deretan oleh-oleh khas Prancis yang tertata rapi di atas meja buah tangan dari perjalanan Kaelith saat menjalani training di salah satu kota di sana.
Tanpa berkata apa-apa, Kaelith mengambil sebotol air minum dari kulkas, menuangkannya ke dalam gelas, lalu menyerahkannya pada Nayara.
Begitu tangannya terulur, bibir pria itu kembali menempel di bibir Nayara. Singkat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ciuman itu telah menjadi candu baginya sekaligus pengingat bahwa Nayara masih miliknya, seutuhnya.
Nayara tak menanggapi ciuman itu. Ia hanya menerima gelas dari tangan Kaelith, lalu menyesap airnya perlahan berharap kesunyian pagi bisa meredam kekacauan yang selalu datang bersamaan dengan pria itu.
"Yang ini dari Lyon," ujar Kaelith santai, menunjuk sekotak kue kering di meja. "Yang itu..." ia mengangkat selembar syal sutra tipis berwarna merah anggur, "Kupilih sendiri untukmu. Katanya perempuan suka yang lembut dan mahal."
Nayara hanya melirik sekilas. Hatinya tak tertarik pada benda-benda mewah itu. Ia lebih sibuk menahan detak jantungnya yang selalu kacau setiap kali Kaelith terlalu dekat bukan karena cinta, tapi karena rasa terjebak yang tak pernah bisa ia lepaskan.
"Kau diam saja. Tak senang aku pulang?" tanya Kaelith, kini berdiri di belakangnya, kedua tangannya bertumpu di sandaran kursi Nayara, membungkus tubuh gadis itu dalam bayangan tubuhnya yang tinggi dan berkuasa.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan," jawab Nayara lirih, jujur namun tetap berhati-hati.
Kaelith terkekeh pelan, lalu menunduk, membisikkan kata-kata di telinganya dengan nada yang membuat bulu kuduk Nayara berdiri.
"Maka biar aku bantu kau merasakannya lagi."
"Aku menginginkanmu," bisik Kaelith, suaranya dalam dan mengunci.
Nayara menghela napas, kepalanya sedikit menunduk. "Aku sedang lelah, Kaelith. Semalam aku begadang mengurus tugas kuliah," ucapnya pelan, menolak tanpa berani menatap langsung ke arahnya.
Kaelith hanya terkekeh rendah, tawa yang terdengar lebih seperti ancaman daripada hiburan. Ia menunduk hingga wajahnya nyaris sejajar dengan Nayara.
"Memangnya kau siapa, bisa menolak aku, Nayara?" bisiknya dingin, matanya menatap tajam, menusuk seperti belati. "Apa kau lupa… aku siapa untukmu?"
Suasana mendadak membeku. Nafas Nayara tercekat. Jari-jarinya menggenggam gelas di tangannya lebih erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Ia tahu, menolak Kaelith bukan perkara sederhana karena sejak dulu, pria itu tak pernah tahu cara menerima kata tidak.
Kaelith membalik tubuh Nayara dengan gerakan tegas, tanpa banyak kata. Sentuhan itu bukan lembut namun juga bukan sekadar paksaan. Ada sesuatu yang mengendap di dalam tatapannya: rindu, obsesi, dan kemarahan yang tak terucap.
"Aku sudah terlalu lama menahan diri," gumamnya, nyaris seperti keluhan yang berat.
Nayara menggigit bibirnya, tubuhnya kaku di tempat. Ia tahu benar ke mana arah semua ini, dan meski tubuhnya terbiasa dengan sentuhan pria itu, hatinya selalu dihantui perasaan yang sama ketakberdayaan yang dibungkus dalam hubungan yang tak pernah bisa ia kendalikan.
Di antara tarikan napas yang memburu, hanya satu hal yang tak berubah Kaelith selalu memperlakukannya seolah Nayara adalah miliknya. Dan Nayara... tak pernah benar-benar punya pilihan.
Peluh membasahi kulit keduanya, memenuhi udara dengan aroma kelelahan dan keintiman yang tak terucap. Napas Nayara terengah, tubuhnya sudah lemas dan tak lagi mampu melawan ritme yang dipaksakan padanya.
Namun Kaelith belum juga berhenti. Tatapannya masih menyala, seolah dahaga dalam dirinya belum benar-benar terpenuhi.
"Aku lelah, Kaelith…" ucap Nayara lirih, nyaris seperti sebuah bisikan penuh rintihan dan luka. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena letih yang tak hanya datang dari fisik melainkan dari hati yang terus terjepit dalam ikatan tak seimbang.
Kaelith akhirnya mencapai puncaknya, tubuhnya menegang sesaat sebelum tenggelam dalam desahan panjang. Ia memeluk Nayara dari belakang, napasnya masih berat, namun bibirnya tetap sempat membisikkan sesuatu kalimat yang menyisakan luka samar di udara.
“Kau selalu jadi canduku…,” ucapnya lirih, kemudian mengecup rambut panjang Nayara, lembut namun sarat dengan kepemilikan yang tak sehat.
Nayara memejamkan mata. Kata-kata itu bukan pujian. Bukan pula ungkapan cinta. Lebih seperti belenggu yang tak terlihat mengikatnya, melemahkannya, menjadikannya bagian dari obsesi pria yang tak pernah benar-benar ia pahami.
Kaelith meninggalkan Nayara begitu saja di ruang tengah apartemen. Tanpa menoleh, pria itu melangkah masuk ke kamarnya sendiri meninggalkan keheningan yang terasa jauh lebih berat daripada keramaian mana pun.
Nayara terduduk lemas di sofa, tubuhnya masih gemetar oleh sisa kejadian tadi. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang tertutup, seolah berharap semuanya hanyalah mimpi buruk yang bisa ia bangunkan.
"Aku membencimu, Kaelith…" bisiknya pelan, nyaris tak terdengar, tapi penuh dengan getir yang menyesakkan.
Lalu, senyap. Yang tersisa hanya suara napasnya sendiri dan rasa sesak di dadanya.
Ia menggigit bibir, menahan air mata yang nyaris tumpah. Entah pada Kaelith, atau pada dirinya sendiri. Ia merutuki betapa lemahnya ia betapa tak berdayanya ia menolak semua yang pria itu inginkan. Kaelith Arvendor Vemund. Nama yang telah mengikatnya sejak SMA. Lelaki yang tak hanya merenggut tubuhnya, tapi perlahan menggerus dirinya.
Dan ia masih di sini. Masih diam. Masih... menyerah.