Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama Tanpa Cinta
“Kau yakin ingin menjual dirimu untuk ini?”
Suara Bu Melani, wanita berumur dengan penampilan elegan, terdengar menusuk dalam keheningan kamar hotel bintang lima itu.
Aku hanya mengangguk. Tak mampu bersuara. Tenggorokanku kering, dan napasku terasa berat seolah paru-paruku enggan menerima kenyataan ini.
Di tanganku, selembar kertas kontrak. Satu malam. Tanpa nama. Tanpa ikatan.
Sebagai imbalannya, keluargaku bisa terbebas dari utang tiga ratus juta rupiah, jumlah yang tak akan sanggup aku kumpulkan walau bekerja sepuluh tahun ke depan.
Aku Lana Ayudia.
Bukan siapa-siapa. Hanya gadis miskin yang harus putus kuliah dan bekerja serabutan demi ibu yang sakit dan adik yang masih sekolah. Ayahku kabur bertahun-tahun lalu, meninggalkan kami tenggelam dalam utang dan penyesalan.
Dan malam ini... aku menjual keperawananku.
Bukan karena aku murahan. Tapi karena hidup memaksaku memilih: kehormatan atau keluarga.
“Klien sudah datang,” ucap Bu Melani, melihat layar ponsel. “Namanya... Mr. L.”
Mr. L.
Nama yang terdengar seperti tokoh dalam film thriller. Misterius. Dingin. Tidak ingin dikenal.
Aku mengangguk pelan.
Tubuhku berbalut gaun malam hitam selutut, punggung terbuka, bahannya tipis dan dingin. Aku bahkan tak mengenali bayangan diriku di kaca besar kamar hotel. Rambutku disanggul setengah, bibir diberi warna merah pudar. Mataku tampak kosong.
Tok. Tok.
Pintu itu diketuk.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Tanganku gemetar saat Bu Melani berjalan membukanya.
Dan pria itu masuk.
Tinggi. Tegap. Bersetelan jas hitam sempurna. Wajahnya tajam, rahang kokoh, dan sorot matanya—Tuhan… sorot itu seperti jurang gelap yang menarikku masuk.
Ia memandangku tanpa senyum.
Matanya menyapu tubuhku, membuat kulitku merinding walau AC ruangan tak begitu dingin.
"Keluar," ucapnya datar pada Bu Melani.
Wanita itu segera pamit dengan tunduk hormat, lalu menutup pintu. Kini hanya kami berdua.
Aku menunduk, tubuhku gemetar. Tapi suara langkah kakinya mendekat cepat.
“Berapa umurmu?” tanyanya tajam.
“D-dua puluh dua...” jawabku nyaris tak terdengar.
“Hm. Cukup legal.”
Dia melepaskan jasnya dan meletakkannya di sofa. Lalu dengan santai, membuka kancing kemejanya satu per satu sambil tetap menatapku.
Aku merasa ingin pingsan.
Tak pernah kusangka malam pertama dalam hidupku akan seperti ini,bukan dengan cinta, bukan dengan kelembutan… tapi dengan transaksi dingin.
“Lihat aku,” katanya pelan, tapi tegas.
Aku mengangkat wajah. Dan untuk pertama kalinya, mata kami bertemu.
Tatapannya menusuk.
Bukan seperti pria biasa. Mata itu... seolah menyimpan luka yang dalam dan kemarahan yang nyaris tak bisa dijinakkan.
Ia melangkah lebih dekat. Tangannya meraih daguku.
Lembut, tapi mengancam.
"Mulai malam ini," bisiknya pelan, "kau milikku. Tubuhmu... perasaanmu… semuanya."
Deg.
Jantungku berdetak kacau. Tapi aku tak punya hak untuk melawan. Aku sudah menandatangani kontrak. Sudah menukar harga diriku.
Dia mencium leherku. Napasku tercekat.
Dan dalam sekejap, semua runtuh. Benteng pertahananku, keperawananku… hilang dalam malam yang dingin, tanpa cinta, tanpa harapan.
Keesokan paginya
Aku bangun dengan tubuh nyeri, tapi hatiku lebih sakit.
Dia tak ada di kamar. Hanya secarik kertas di meja:
“Kontrak belum selesai. Aku akan menemuimu lagi.”
L
Aku memandangi tulisan tangan itu. Tegas. Dominan.
Dan hatiku bergetar entah karena takut... atau rasa lain yang belum kupahami.
Aku menangis dalam diam.
Tidak karena kehilangan keperawananku. Tapi karena tahu, aku baru saja menyerahkan tubuhku pada pria yang tidak kukenal… yang mungkin akan muncul lagi dan lagi dalam hidupku.
Dan aku bahkan tidak tahu… wajah siapa yang mencuri jiwaku malam tadi.
Air mataku belum kering saat aku berdiri menatap jendela besar kamar hotel itu. Jakarta masih terjaga. Lampu-lampu jalanan berpendar bagai bintang jatuh. Indah. Tapi hatiku,kosong.
Kupandangi refleksiku di kaca. Wajah yang sama sekali tak lagi kuanggap milikku.
Aku ingin marah. Tapi pada siapa?
Pada ayahku, yang menelantarkan kami?
Pada ibuku, yang terlalu lemah untuk berjuang?
Atau pada diriku sendiri… yang begitu mudah menyerah pada pilihan paling kejam dalam hidupku?
Aku berjalan ke kamar mandi, menyalakan air hangat, dan menenggelamkan tubuhku dalam bak berisi busa. Tapi tidak ada yang bisa membersihkan rasa kotor di dalam diriku.
Air mengalir, tapi bekas sentuhannya… tidak.
Tangannya. Bibirnya. Cara dia menyentuhku dengan dingin,seperti aku hanyalah barang yang dibeli.
Tapi anehnya, ada bagian dari tubuhku yang justru masih mengingat rasa itu. Dan itu membuatku jijik pada diriku sendiri.
Aku meremas lengan sendiri, berharap rasa itu lenyap. Tapi hanya kesunyian yang menelan segalanya.
Dua hari kemudian
Aku menerima transferan sebesar 300 juta rupiah.
Tanpa nama pengirim. Hanya inisial “L.”
Aku membayar semua utang ibu. Rentenir itu bahkan terkejut. Dia tertawa, lalu pergi sambil mengancam tidak akan segampang itu melepaskan kami sepenuhnya.
Aku tahu, kebebasan tak pernah gratis. Bahkan setelah utang itu lunas… rasa bersalahku tidak.
Dan lebih parah lagi… aku mulai terobsesi.
Siapa dia?
Mengapa dia begitu dingin… tapi tetap menghantuiku?
Hari pertama magang
Aku berdiri di depan gedung tinggi menjulang: Revanza Corp.
Perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara. Aku diterima karena nilai IPK-ku yang tinggi meski tak lulus. Salah satu manajer HR menyukai surat motivasiku. Katanya, aku ‘berani’.
Lucu. Jika dia tahu seberapa jauh keberanianku malam itu…
Aku masuk, menggenggam tas kecil erat-erat.
“Kau pasti Lana Ayudia?”
Suara lembut menyambutku di lobi.
Aku mengangguk pada seorang wanita elegan dengan name tag “Maya Sekretaris CEO.”
“Kau dijadwalkan hadir di presentasi internal hari ini. Ruang rapat lantai 27.”
Aku hanya menjawab, “Baik.”
Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, tapi aku menepis rasa itu. Ini hari baruku. Aku tak boleh dipecat hanya karena takut menghadapi orang penting.
Ruang rapat itu besar dan dingin. Lantai marmer putih, lampu gantung elegan, layar LED raksasa di dinding.
Aku duduk di kursi paling ujung, bersama lima peserta magang lainnya. Semuanya tampak ambisius dan siap tampil.
Hingga pintu terbuka.
Dan aku membeku.
Itu dia.
Pria itu.
Pria dari malam neraka itu.
Mr. L… kini bernama lengkap di hadapanku: Leonhart Revanza.
Dia masuk dengan postur sempurna. Jas mahal, rambut tersisir rapi, wajah tak berubah dingin, maskulin, dan berbahaya.
Matanya langsung menatapku.
Bukan sekadar melihat… tapi menelanjangiku dari ujung kepala hingga kaki. Seolah dia mengenal setiap inci tubuhku.
Aku memalingkan wajah, tapi dadaku sesak.
Apa yang harus kulakukan? Melarikan diri? Berpura-pura tak mengenalnya? Menghadangnya?
Tapi dia justru berbicara…
“Aku ingin mengenal satu peserta magang secara personal,” katanya tiba-tiba.
Seluruh ruangan menoleh ke arahnya.
Langkah kakinya mendekat. Detak sepatunya seperti gema dari mimpi burukku.
Dan dia berhenti tepat di depan mejaku.
“Lana Ayudia.”
Semua orang menatapku. Beberapa tersenyum iri, beberapa bingung. Tapi hanya aku yang tahu kengerian di balik nada suaranya yang tenang.
“Aku ingin kau ikut ke ruang kerjaku. Sekarang.”
Aku berdiri. Tangan dan kaki gemetar. Napas tak stabil. Tapi aku melangkah… seperti zombie yang tak punya pilihan.
Ruang Kerja CEO
Kantor itu lebih seperti penthouse daripada ruangan kantor. Jendela besar menghadap kota. Sofa kulit hitam. Meja kayu eksklusif. Rak penuh buku hukum dan ekonomi.
Leon duduk. Lalu memandangku seperti hewan buruan yang baru dikurung kembali.
“Kau bekerja di sini. Menarik,” katanya pelan.
“Aku tidak tahu... ini perusahaanmu,” jawabku pelan. Sungguh, aku tidak tahu.
“Benarkah?” Tatapannya menusuk. “Atau kau memang mengejarku ke sini?”
Aku terkejut. “Apa maksudmu?”
Dia berdiri, berjalan mendekat. Langkahnya lambat, tapi tegas.
“Kau menjual tubuhmu. Tapi sekarang kau di sini. Di kantorku. Dalam wilayahku. Di bawah kekuasaanku.”
Deg.
Dia menatap wajahku. Dekat. Nafasnya menyentuh pipiku.
“Apakah kau pikir… aku akan melepaskanmu semudah itu?”
Aku menahan napas.
“Kau sudah kubeli, Lana. Malam itu hanya permulaan.”
Tangannya mengangkat daguku, seperti malam itu. Tapi kini matanya penuh permainan.
“Mulai hari ini… kau bukan hanya karyawanku. Kau adalah milikku.”
Aku ingin membantah. Berteriak. Tapi suaraku tertahan di tenggorokan.
“Aku bukan barang,” bisikku akhirnya.
“Tentu saja tidak.” Dia tersenyum miring. “Tapi aku tak pernah membeli barang. Aku membeli… kekuasaan. Dan kau tahu persis harga dirimu.”
Aku menamparnya.
Tangan kiriku bergetar setelah itu. Tapi dia hanya tertawa kecil.
“Aku suka semangatmu, Lana.”
Lalu dia mendekat lagi.
“Jangan lari. Aku belum selesai denganmu.”
Malam itu
Aku duduk di kamar kosku. Tangan memegang ponsel. Ada notifikasi masuk:
Transfer masuk: 15 juta rupiah.
Pengirim: L.
Catatan: Untuk kost dan makan bulan ini.
Aku membuang ponsel ke kasur. Tubuhku bergetar.
Aku tahu ini baru permulaan.
Dan mungkin aku sudah melangkah terlalu jauh untuk bisa kembali.
Tapi mengapa jantungku… berdetak lebih kencang saat dia menatapku?
Mengapa sentuhannya… masih meninggalkan jejak?
Dan mengapa, Tuhan… aku tak bisa berhenti memikirkan dia?
Aku memeluk lutut di sudut kasur sempit kamar kos. Lampu redup menyala, menyoroti bayanganku di dinding,seorang perempuan yang sudah bukan lagi dirinya sendiri.
Aku pernah bermimpi jadi jurnalis. Pernah berharap bisa menyuarakan kebenaran lewat tulisan. Tapi sekarang, aku bahkan tak bisa menyuarakan luka dalam diriku sendiri.
Leon…
Nama itu berputar-putar di kepalaku seperti mantra kutukan. Pria itu telah menyentuh bagian terdalam dalam diriku, bukan hanya tubuh… tapi rasa yang tak bisa kupahami.
Aku membencinya.
Aku takut padanya.
Tapi mengapa bayangannya justru datang saat aku memejamkan mata?
Kupandangi ponselku sekali lagi. Nominal transfer itu membuat perutku mual.
Semuanya terasa seperti jerat.
Dia menolongku dengan cara yang salah.
Dia membantuku dengan harga yang membuatku kehilangan harga diri.
Dan sialnya… ada bagian dalam diriku yang justru menunggu pesan selanjutnya.
Apakah ini cinta?
Bukan. Ini bukan cinta. Ini obsesi. Ini ketergantungan. Ini racun.
Tapi siapa yang bisa membedakan antara cinta dan racun saat keduanya terasa begitu manis sekaligus menyakitkan?
Aku memejamkan mata.
Dan di kegelapan malam itu, aku berjanji…
Jika pria itu ingin bermain kekuasaan,aku akan bertahan. Bukan sebagai miliknya, tapi sebagai wanita yang tidak akan kalah.
Walau aku harus terbakar dalam permainannya, aku akan jadi api yang membakar balik.