NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24. JALAN-JALAN

Mentari siang meneteskan sinarnya ke halaman kediaman gubernur, membuat daun-daun flamboyan berkilau bagai permata hijau yang ditaburi cahaya emas. Angin laut yang lembut membawa aroma asin bercampur wangi bunga kamboja dari taman, dan di beranda rumah besar itu Aruna berdiri dengan selendang tipis menutupi bahunya. Wajahnya pucat namun segar, bekas sakit panjang beberapa hari lalu masih tampak, tetapi sinar kehidupan telah kembali ke matanya.

Van der Capellen mendekat, mengenakan jas putih tipis yang lebih sesuai dengan udara tropis. Ia menatap Aruna dengan senyum hangat, senyum yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun selain gadis itu.

"Aruna," ucapnya pelan, "hari ini aku ingin mengajakmu keluar. Batavia tidak hanya seperti yang terlihat dari jendela kamar atau halaman kediaman. Ada denyut kehidupan yang berbeda di pusat kotanya, dan aku ingin kau melihatnya."

Aruna menoleh, alisnya terangkat lembut. "Pusat kota?" tanyanya, suaranya mengandung nada ragu sekaligus penasaran. "Bukankah ramai sekali di sana? Aku takut tidak sanggup dengan hiruk pikuk setelah sekian lama terbaring."

Van der tersenyum sabar. "Justru itu sebabnya kita akan pergi. Agar tubuhmu kembali terbiasa, agar jiwamu tidak terkungkung oleh tembok-tembok rumah ini. Aku berjanji, kita tidak akan berlama-lama. Aku ingin kau melihat wajah Batavia, dengan segala indah dan buruknya. Aku ingin membelikanmu beberapa hadiah sebagai tanda kesembuhanmu."

Ada jeda sejenak, lalu Aruna mengangguk. Selendangnya ia rapatkan, menutupi sebagian rambut hitamnya yang diikat sederhana. Dalam hatinya, ia merasa berdebar, sebuah perjalanan kecil yang mungkin akan meninggalkan kesan besar.

Kereta kuda beroda besar membawa mereka menembus jalanan Batavia. Suara derap kuda berpadu dengan derit roda di atas jalan berbatu. Dari jendela kereta, Aruna melihat rumah-rumah Belanda berjejer rapi, dengan pintu kayu besar dan jendela kaca yang berkilau. Namun di sela-selanya tampak gubuk-gubuk kayu milik pribumi, berdiri dengan sederhana, dinding anyaman bambu yang mudah ditembus angin.

"Beginilah kota ini," ujar Van der dengan nada reflektif, menatap keluar jendela seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Ada keindahan, tetapi juga luka yang nyata."

Aruna mengikuti pandangannya. Di sebuah sudut jalan, ia melihat seorang ibu pribumi berjalan sambil menjunjung bakul penuh sayur, wajahnya letih, pakaiannya lusuh. Tak jauh dari sana, seorang budak lelaki dengan rantai tipis di lehernya sedang dipaksa mengangkat peti berat oleh seorang Belanda gemuk yang berteriak-teriak.

Aruna menggenggam tangannya di pangkuan, merasakan sesak di dada.

 "Perbudakan," cibir Aruna lirih. "Aku membencinya."

Van der mengangguk pelan, matanya redup. "Aku juga. Tetapi hukum yang diwariskan dari pemimpin sebelumnya masih mengizinkan sistem itu. Aku hanya bisa melarang penyiksaan dan kematian. Itu pun sering dilanggar diam-diam." Ia menarik napas panjang, menahan getir. "Kadang aku merasa tak berdaya di hadapan sistem yang lebih tua dari aku sendiri."

Aruna menoleh padanya, melihat kesungguhan di wajah gubernur itu. Ada sesuatu yang jujur dan rapuh dalam tatapannya. Untuk sejenak, Aruna merasakan empati yang dalam.

Kereta kuda akhirnya berhenti di dekat alun-alun kota. Hiruk pikuk pasar menyambut mereka: pedagang Tionghoa dengan jubah longgar memamerkan kain sutra berwarna-warni; pedagang Arab menjajakan rempah dengan aroma kuat yang menusuk; pribumi menawarkan buah-buahan tropis yang ranum; dan orang-orang Eropa melintas dengan payung renda serta topi lebar.

"Batavia adalah pertemuan dunia," kata Van der sambil membantu Aruna turun dari kereta. "Lihatlah, semua bangsa, semua bahasa, berbaur di sini. Namun tidak semua saling menghormati."

Aruna menapakkan kakinya di jalan berbatu, menghirup aroma bercampur yang aneh: wangi bunga melati, amis ikan, manis gula aren, dan asap arang yang menyesakkan.

Mereka berjalan menyusuri deretan toko. Salah satunya adalah toko pakaian dan perhiasan milik seorang Tionghoa. Kain sutra dengan motif naga dan bunga peony dipajang di etalase, berkilau ditimpa cahaya matahari.

Van der menoleh pada Aruna. "Mau masuk? Aku ingin kau memilih sesuatu untuk dirimu."

Aruna ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka melangkah masuk. Seorang pria Tionghoa paruh baya segera menyambut dengan ramah. "Selamat datang, Tuan, Nona. Apa yang bisa saya bantu?" katanya dengan aksen khas.

Van der bersiap menjawab dalam bahasa Belanda, tetapi Aruna mendahului. Dengan senyum lembut, ia menanggapi dalam bahasa Tionghoa yang fasih.

"Saya hanya ingin melihat-lihat dulu. Kain-kain ini indah sekali," kata Aruna salam bahasa Tionghoa.

Pria itu terkejut, matanya berbinar. "Ah! Nona bisa berbahasa Tionghoa? Lancar sekali!"

Van der menoleh cepat, matanya membelalak. "Aruna?"

Aruna menahan tawa melihat ekspresi gubernur itu. Ia hanya tersenyum lebar, menunduk sedikit lalu berkata dalam bahasa Belanda, "Aku belajar. Sama seperti aku belajar bahasa Belanda. Lidahku mudah terbiasa, itu saja."

Van der menggeleng, separuh kagum separuh bingung. "Aku semakin tak mengerti kau, Aruna. Kau selalu menyimpan kejutan."

Mereka masih berbincang ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari luar toko. Suara panik, disusul kegaduhan orang-orang yang berkerumun. Van der segera keluar, Aruna mengikutinya dengan langkah cepat.

Di jalan, seorang wanita Belanda terbaring di pelukan seorang pria muda berwajah pucat. Wanita itu sendiri tampak lebih pucat lagi, bibirnya kebiruan, keringat bercucuran di dahi. Dadanya naik turun dengan terengah-engah, seolah udara enggan masuk ke paru-parunya. Lalu, tanpa daya, ia terkulai pingsan.

"Maria! Bangunlah, Maria!" seru pria itu, jelas panik, suaranya pecah.

Orang-orang berbisik cemas. Beberapa mencoba mendekat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.

Aruna segera maju. Ia berlari kecil, lalu berlutut di sisi wanita itu.

"Tuan," sapa Aruna kepada pria muda yang memangku istrinya, "izinkan saya memeriksanya. Saya tabib."

Pria itu menatap bingung, lalu ke arah Van der yang berdiri tegap. Gubernur itu mengangguk singkat, memberi isyarat percaya. Dengan ragu, pria itu akhirnya menggeser tubuhnya, memberi ruang pada Aruna.

Aruna menunduk, meletakkan tangannya di pergelangan wanita itu untuk meraba denyut nadi. Lemah, sangat lemah. Ia menempelkan telinganya dekat mulut wanita itu: napasnya berbunyi serak, seperti ada sesuatu yang menghalangi jalannya udara.

"Gejala sesak napas akut," gumam Aruna pada dirinya sendiri. "Seperti asma."

Ia menepuk lembut pipi wanita itu, mencoba membangunkannya, tetapi hanya ada desahan lemah. Keringat dingin terus mengucur dari pelipisnya.

Aruna mendongak menatap Van der, matanya serius. "Kita harus segera menolongnya. Ia kehabisan udara."

Kerumunan semakin rapat, orang-orang berdesakan ingin melihat. Suara panik berbaur dengan seruan tak jelas. Seorang pedagang buah menaruh keranjangnya begitu saja di jalan, seorang ibu pribumi menutup mulut dengan kain lusuhnya, dan beberapa orang Belanda bersuara keras menyalahkan panas udara tropis sebagai penyebab.

Namun di tengah hiruk-pikuk itu, Aruna tetap tenang. Ia meletakkan wanita pucat itu telentang, melonggarkan kerah gaunnya yang terlalu ketat.

"Dia tidak bisa bernapas karena jalan udara di dadanya menyempit," ucap Aruna kepada pria muda yang nyaris menangis. "Kita harus membantunya agar dada lebih terbuka."

Dengan gerakan hati-hati, Aruna mengangkat kepala wanita itu sedikit, menempatkan lipatan kain di bawah lehernya agar jalan napas lebih lurus. Tangannya yang halus tapi tegas menepuk-nepuk ringan punggung wanita itu, mencoba memicu refleks pernapasan.

"Tuan?!" panggilnya cepat, "Tolong mintakan air hangat, atau lebih baik minyak kayu putih, jika ada yang menjual di dekat sini!"

Seorang babu gubernur yang ikut mendampingi langsung berlari mencari.

Wanita itu masih megap-megap, dadanya tersengal, wajahnya semakin pucat.

Kerumunan mulai heboh. "Dia sekarat ... oh, Tuhan."

Aruna menoleh pada pria muda itu, matanya tegas. "Tuan, tenanglah. Kepanikan tidak menolong. Biarkan saya yang mengurus."

Van der berdiri tegak di belakang Aruna, menatap dengan kekaguman bercampur khawatir. Ia belum pernah melihat gadis itu begitu berwibawa, seperti seorang tabib yang terlatih. Membuat Van der antusias ingin melihat apa yang dapat Aruna lakukan dalam keadaan seperti ini.

1
Jelita S
Kita yg ngontrak ini diam z lh,,,
Archiemorarty: Jomblo gigit jari aja pokoknya mah 🤣
total 1 replies
Jelita S
aku jdi senyum2 sendiri 😍😍
Jelita S
ada jga kompeni yg baik seperti Gubernur satu ini,,,pantesan sampe skg msih banyak orang kita yg menikah sama Belanda kompeni penjajah😄😄😄
Archiemorarty: Van der Capellen aslinya di dunia nyata memang baik, sayang sma pribumi, sampe buatin sekolah khusus buat pribumi agar lebih maju. Sampe dikatain sma pejabat Belanda zaman itu kalau Van der terlalu lemah untuk seorang pemimpin hindia belanda /Grimace/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!