Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 Hari Pertama di Kampus
Pagi itu, rumah Adrian penuh dengan energi yang berbeda. Alira berlarian ke kamar ganti, ke cermin, ke lemari, bahkan sampai ke dapur. Semua itu hanya karena satu hal: hari pertamanya kuliah.
“Mas, aku pakai baju ini aja kali, ya?” teriak Alira dari kamar. Ia keluar dengan dress kasual berwarna biru muda, lalu berputar di depan Adrian yang duduk dengan tenang di ruang kerja rumah.
Adrian mengangkat pandangan sekilas. “Kamu terlihat seperti anak SMA yang tersesat.”
“Mas!” Alira langsung manyun, tangannya berkacak pinggang. “Bukan tersesat, ini namanya imut. Lagian, kalau aku terlihat muda, bukannya bagus? Mas jadi awet muda karena punya istri kayak aku.”
Adrian menutup laptopnya dengan tenang. “Kalau kamu terus berisik, saya tidak akan mengantarmu ke kampus.”
Mendengar itu, Alira segera berlari kecil, meraih lengannya dengan gaya manja. “Nggak boleh! Pokoknya mas harus nganterin aku. Aku mau semua orang tahu aku istrinya mas yang super dingin tapi super tampan.”
Adrian hanya mendengus, meski sudut bibirnya hampir saja melengkung. “Centil.”
Alira malah tertawa puas. “Hore, aku dipuji kan mas!”
Mobil hitam Adrian berhenti tepat di depan gerbang kampus. Semua kepala otomatis menoleh, terutama mahasiswi. Sosok Adrian yang turun lebih dulu dengan jas semi formal dan kacamata hitam membuat beberapa orang terdiam sambil berbisik-bisik.
“Siapa itu? Ganteng banget!”
“Bukan mahasiswa deh. Auranya bos banget.”
“Cewek di sebelahnya… kayak anak SMA.”
Alira mendengar jelas bisikan-bisikan itu. Ia mendekat ke Adrian, lalu dengan suara cukup keras berkata, “Mas, jangan jalan jauh-jauh dong. Nanti aku disangka anak hilang.”
Adrian menatapnya datar. “Kalau kamu diam, orang tidak akan sadar.”
Alira menempel di lengannya sambil tersenyum manis ke arah mahasiswi yang melirik. “Biar aja, mas. Aku bangga kok jadi anak hilang, asal hilangnya bareng mas.”
Beberapa mahasiswi langsung salah tingkah, sementara Adrian hanya menghela napas, membiarkan Alira melakukan sesukanya.
Kelas Pertama dan Gangguan Kecil
Di kelas, Alira tampak heboh. Ia mencatat dengan semangat, meski sebenarnya lebih banyak menggambar doodle berbentuk kucing dan hati. Di sela jam istirahat, seorang mahasiswa pria mendekat.
“Hai, kamu Alira, kan? Aku Dika. Jurusan komunikasi. Kalau butuh teman keliling kampus, kabari aku aja ya.”
Alira baru saja membuka mulut hendak menjawab centil, ketika suara dingin terdengar dari pintu.
“Dia tidak butuh pemandu. Saya cukup.”
Semua mahasiswa menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu dengan tatapan menusuk. Dika langsung gugup dan mundur.
“Mas! Malu tau!” bisik Alira sambil menutup wajah dengan buku.
Adrian menunduk sedikit, berbisik pelan tapi tegas, “Saya tidak suka ada pria mendekatimu.”
Wajah Alira langsung merah, jantungnya berdegup tak karuan.
Setelah kelas selesai, Adrian mengajak Alira makan siang di kafe dekat kampus. Alira masih riang menceritakan hal-hal lucu di kelas, sampai suara familiar menyusup di telinganya.
“Adrian. Betapa kebetulan kita bertemu lagi.”
Alira langsung menoleh. Clarissa. Wanita itu datang dengan penampilan elegan, blouse putih dan rok pensil hitam, heels tinggi, rambut disanggul rapi. Senyumnya terlihat ramah, tapi tatapan matanya jelas menusuk ke arah Alira.
Alira berusaha menahan reaksi, meski hatinya langsung panas. “Oh, ternyata kamu lagi.”
Clarissa tersenyum tipis. “Tentu saja. Dunia ini sempit. Lagipula, aku sering berurusan dengan pihak kampus untuk urusan kerja sama bisnis. Jadi wajar kalau kita sering bertemu.”
Adrian hanya mengangguk tipis, dingin seperti biasa. “Clarissa.”
Alira menegakkan tubuhnya, tidak mau terlihat kalah. “Ya udah, kalau sering ketemu, jangan bosan ya lihat aku. Soalnya mulai sekarang, aku resmi jadi mahasiswa di sini.”
Clarissa menatapnya dengan ekspresi setengah tersenyum. “Mahasiswa, ya? Lucu sekali. Tapi… kamu yakin bisa menjalani dunia kampus? Apalagi, kalau kamu ingin mendampingi Adrian, dunia bisnis itu jauh lebih keras daripada sekadar kuliah.”
Alira tersenyum miring, meski hatinya seperti diremas. “Yakin dong. Justru karena aku istrinya mas, aku harus belajar. Aku nggak mau cuma jadi penonton. Aku juga mau jadi pasangan yang seimbang buat mas.”
Adrian melirik sekilas ke arah Alira, ekspresinya nyaris tak terbaca.
Clarissa menyilangkan tangan. “Kuliah apa, kalau boleh tahu?”
Alira menatapnya dengan tatapan penuh tekad. “Bisnis. Aku akan ambil jurusan bisnis.”
Adrian spontan menoleh. “Kamu serius?”
Alira tersenyum centil ke arahnya. “Iya, mas. Aku nggak mau kalah sama siapa pun. Aku mau jadi wanita elegan yang bisa berdiri di samping mas, bukan di belakang.”
Clarissa tampak terkejut sesaat, lalu menyamarkan ekspresinya dengan senyum tipis. “Ambisi yang besar. Tapi bisnis tidak mudah, Alira. Banyak yang jatuh sebelum sampai di puncak. Dan… beberapa orang sudah pernah mendampingi Adrian di dunia bisnis. Kau yakin bisa melampaui mereka?”
Sindiran itu menusuk jelas. Alira menggenggam sendoknya erat, tapi tetap tersenyum. “Aku nggak tahu bisa melampaui atau nggak. Tapi yang jelas, aku punya satu keunggulan yang nggak dimiliki siapapun.”
Clarissa menaikkan alis. “Apa itu?”
Alira menoleh ke Adrian, lalu dengan centil berkata, “Aku istrinya.”
Wajah Clarissa menegang sepersekian detik, lalu ia tertawa kecil. “Menarik sekali. Tapi status tidak selalu menjamin kemampuan.”
Alira langsung membalas dengan nada polos namun tegas, “Kemampuan bisa dipelajari. Status nggak bisa dicuri. Jadi ya, aku sudah menang setengah jalan.”
Adrian akhirnya bersuara, dingin dan penuh tekanan. “Clarissa, cukup.”
Clarissa tetap tersenyum, tapi tatapannya tajam ke arah Alira. “Kau benar-benar beruntung, Alira. Adrian ini… dulu bukan pria yang mudah peduli. Tapi untukmu, dia bisa berubah. Menarik.”
Kalimat itu membuat hati Alira mencelos. Dulu? Apa maksudnya? Ada siapa di masa lalu Adrian?
Adrian menatap Clarissa dengan sorot tajam. “Jangan bawa masa lalu.”
Tapi bagi Alira, kalimat itu justru meninggalkan bekas. Ia tersenyum tipis untuk menutupi rasa gugupnya, tapi pikirannya dipenuhi tanda tanya besar.
Sepanjang perjalanan pulang, Alira duduk diam di kursi mobil. Adrian beberapa kali meliriknya.
“Kamu benar-benar ingin ambil jurusan bisnis?” tanyanya pelan.
Alira menoleh dengan senyum tipis. “Iya, mas. Aku nggak mau kalah. Aku mau jadi pasangan yang bisa berdiri sejajar sama mas.”
Adrian tidak menjawab, hanya menatap jalan. Tapi di dalam mobil itu, keheningan terasa berat.
Sementara di hati Alira, nama Clarissa terus terngiang. Bersama satu pertanyaan yang menyesakkan:
Apa sebenarnya hubungan Adrian dengan Clarissa di masa lalu?
Halo readers jangan lupa untuk selalu like dan komen ya 🌹
Komen juga yang mau up gila gilaan
emang Adrian gak mikir klo alira bisa aja liat beritanya
dan emak lampir jangan-jangan klo si ulet bulu itu anak rahasia nya
greget aku sama Adrian bisanya cuma marah-marah sama ulet bulu tapi gak ada tindakan
gadis seceria seperti alira juga pasti akan tertekan di tambah masalah perjodohan emaknya terlalu ikut campur
salah sendiri kurang tegas sama ibunya sendiri dan mantan