Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak RPL
"Pak Dika... laptop saya nggak bisa connect ke infokus kelas," ucapku, berdiri kikuk di depan meja guru olahraga itu. Di tangannya masih ada peluit, padahal ini jelas bukan lapangan.
Pak Dika mengernyit. "Emangnya saya guru TIK, Tisya?" Aku tertawa kecil, menahan frustasi. "Bukan sih, Pak. Tapi Bapak kan sering bantuin anak-anak nyetel infokus juga. "
"Yaaa... itu kalau colokan longgar atau kabelnya copot. Kalau udah masuk software, saya nyerah. Kamu minta tolong anak RPL aja. Mereka yang ngerti ginian."
Aku menghela napas. "Tapi saya nggak kenal siapa-siapa di kelas RPL, Pak."
"Kenalan dong," jawabnya enteng. "Anggap aja cari jodoh, siapa tahu jodohmu anak RPL."
Aku hanya bisa memutar mata lalu mengangguk pasrah. Dengan langkah lesu, aku keluar dari ruang guru dan menyusuri lorong kelas yang mulai ramai. Suasana pagi ini cerah, tapi isi kepalaku remuk: presentasi Bahasa Indonesia jam keempat, dan sekarang laptopnya malah error.
Di tengah kepanikan itu, satu nama melintas.
Maaz Azzam.
Anak RPL. Satu-satunya anak RPL yang aku tahu namanya.
Kami pernah satu kelas di SMP dulu. Bukan teman dekat, tapi dia cukup dikenal. Dingin, pendiam, tapi punya dua sahabat kocak yang selalu nempel kayak bayangan: Rafa dan Bima. Dan, kebetulan sekali Rafa dan Bima juga sahabatku di SMP. Ya bisa dibilang aku dan Azzam memiliki sahabat yang sama.
Oke. Harus dicoba.
Aku merogoh saku rok, membuka grup alumni SMP. Di kolom anggota, ada namanya. Untung dia belum ganti nama jadi "Orang Ga Penting" atau "Maaz Samsung" seperti yang lain.
...Maaz Azzam...
^^^Pagi Azzam. ^^^
^^^Kenalin gue Celia Tisya Athara. ^^^
^^^Kita dulu satu kelas di SMP. ^^^
^^^Sekarang gue di kelas XI Akuntansi 2. ^^^
^^^Mau minta tolong boleh nggak? ^^^
^^^Laptop gue error.^^^
^^^Nggak bisa connect ke infokus nih.^^^
^^^Hari ini gue presentasi. ^^^
^^^Bisa bantuin ga zam? ^^^
Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk.
Ga bisa. Cari orang lain aja.
Mataku membesar. Dia… serius?
^^^Serius, Zam? ^^^
^^^Pak Dika yang suruh gue minta bantuan ke anak RPL. ^^^
^^^Gue cuma kenal lo doang. ^^^
Tetep nggak bisa.
Aku mengerang pelan. Oke. Saatnya jurus terakhir.
^^^Kalau lo nolak, gue chat Rafa sama Bima sekarang juga. Suruh mereka bujuk lo sampai mau.^^^
Tiga titik pengetikan muncul di layar. Aku tersenyum menang. Lalu balasan datang.
Hadeh. Yaudah. Istirahat pertama ke kelas gue.
Yes!
Dengan senyum puas, aku masukkan ponsel ke saku dan mempercepat langkah ke kelas. Dan untuk pertama kalinya sejak SMP, aku akan bicara langsung dengan Maaz Azzam.
Semoga anaknya nggak sedingin rumor yang beredar.
...****************...
Istirahat pertama datang juga. Sesuai janji, aku pun bersiap ke kelas RPL. Letaknya persis di sebelah kelasku, di lantai dua. Tapi saat membuka pintu dan melangkah keluar, langkahku langsung ragu.
Depan kelas RPL penuh. Anak-anak cowok nongkrong sambil teriak-teriak, bercanda, dan beberapa duduk nyeker di lantai kayak lagi buka warung kopi. Riuh. Ribut. Dan aku mulai ciut.
Cepat-cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengetik:
Azzam, lo bisa keluar kelas sebentar nggak? Di depan kelas lo rame banget. Gue malu masuk sendiri, serius🥺
Pesan terkirim.
Terbaca.
Tapi nggak dibalas.
Aku berdiri di balik tembok penghalang antara dua kelas, sambil sesekali mengintip ke arah kelas RPL. Jantungku mulai deg-degan. Bukan karena apa-apa, tapi ini aneh banget. Aku cuma butuh bantuan infokus, bukan jadi tontonan umum.
Beberapa detik kemudian, seseorang keluar dari kelas RPL.
Azzam.
Wajahnya datar seperti biasa. Tapi matanya menangkapku dengan cepat. Dia nggak senyum, nggak ngomong, cuma melambaikan tangan singkat ke arahku—maksudnya menyuruhku masuk.
Dan seperti aku duga...
"Ih Azzam manggil siapa tuh?"
"Zam, pacar lo ya?"
"Cieeee yang manggil cewek!"
"Cuit-cuit!"
Sorakan itu langsung nyambung kayak speaker bluetooth. Beberapa temannya bahkan ikut tepuk tangan kecil-kecil, bikin pipiku panas seketika.
Astagaaaa, bukan begini rencananya!
Aku buru-buru melambaikan tangan balik, memberi isyarat agar Azzam saja yang ke kelasku.
Dia mendesah. Aku bisa lihat dari jauh. Lalu akhirnya mengangguk dan melangkah ke arah kelasku.
Giliran aku yang deg-degan.
Dan ternyata, masuknya Azzam ke kelasku nggak kalah heboh.
"Astaga, itu Azzam kan?"
"Yang anak RPL? Yang pendiem itu?"
"Duduk deket Tisya dong??"
"Wah wahhh..."
Aku cuma bisa pura-pura nggak dengar sambil geser kursi ke samping, memberi ruang untuk Azzam duduk.
Dia merogoh sakunya mengeluarkan flashdisk dan langsung membuka laptopku tanpa banyak tanya. Tangannya lincah, matanya fokus, dan aku malah sibuk memandangi dia dari samping.
Dari dekat, dia lebih tinggi dari dugaanku. Rambutnya agak berantakan, dan bau parfumnya entah kenapa nyangkut banget di hidung.
"Nih," katanya, memutus lamunanku. "Udah bisa connect. Driver-nya corrupt, tadi gue gantiin pake file baru."
Aku berkedip cebaru "Eh, serius? Cepet banget."
Dia berdiri. "Lain kali hati-hati. Jangan asal install sembarangan."
Aku tersenyum. "Makasih ya, Zam. Beneran, gue nggak tahu harus gimana tadi kalau lo nggak bantuin."
Dia cuma mengangguk. Tanpa senyum, tanpa basa-basi, langsung balik ke kelasnya. Tapi langkahnya cepat, seolah ingin lepas dari semua sorakan tadi.
Dan aku?
Aku berbalik dan tentunya disambut oleh belasan pasang mata yang menatapku penuh rasa ingin tahu. Senyum-senyum menggoda mulai bermunculan, tidak terkecuali dua sahabatku, Yamira Dwi Aisyah dan Yumna Jelita.
Yumna langsung menarik kursi dan duduk di depanku, ekspresinya penuh selidik.
"Cepet banget dia bantuin lo. Sejak kapan kalian deket?" tanyanya.
Aku mendengus kecil sambil merapikan laptop. "Ngga deket. Gue cuma minta tolong."
Yumna tertawa pelan. "Oh. Gue kira lo punya sesuatu sama Azzam. Soalnya dari kita kelas sepuluh gue belum pernah liat lo sama Azzam. Gatau malah kalian saling kenal."
Aku menoleh cepat. "Apaan, sih? Enggak banget. Gue aja baru chat dia tadi pagi karena terpaksa."
Yumna dan Mira mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih menyimpan tanya. Sementara yang lain mulai bubar, suasana kelas perlahan tenang lagi.
Aku menarik napas. Laptop sudah nyala, infokus bisa connect, dan masalah selesai. Seharusnya nggak ada yang perlu dibesar-besarkan. Tapi entah kenapa, tatapan orang-orang hari ini terasa beda.
Ya sudahlah. Besok juga lupa.
Yang penting, presentasi aman.
Dan soal Maaz Azzam?
Dia cuma anak RPL yang kebetulan kenal.
Cuma bantuin sekali.
Udah, titik.
Aku tutup laptopku dan berdiri.
Hari masih panjang. Dan aku nggak mau hari ini jadi awal gosip baru.
...****************...
Bel istirahat kedua baru saja berbunyi ketika langkah kaki cepat terdengar mendekati kelas. Tak lama, pintu kelas terbuka dan muncul sosok tinggi berkulit sawo matang dengan rambut agak acak, Nizan Alfarez.
Aku baru saja meletakkan botol minum di meja saat dia menghampiri.
"Sya," panggilnya. Suaranya terdengar buru-buru, tapi tetap dijaga agar terdengar tenang. "Kamu bisa ngobrol sebentar?"
Aku mengangguk pelan,mengira-ngira arah pembicaraan ini. Dan benar saja.
"Itu, soal tadi pagi..." Nizan menyandarkan bahunya ke meja depanku. "Bener kamu sama Azzam, anak RPL itu?"
Aku menarik napas. "Nggak. Cuma minta tolong."
"Tapi kamu ke kelas dia, terus dia ke kelas kamu." Nizan menimpali. Nada suaranya mengandung sesuatu yang nyaris seperti cemburu?
Aku menatapnya lurus. "Zan, aku nggak deket sama Azzam. Serius. Tadi cuma masalah laptop, itu juga karena Pak Dika suruh minta bantu anak RPL."
Nizan terdiam sejenak, ekspresinya belum sepenuhnya lega. Tapi dia akhirnya mengangguk kecil. "Oke."
Dari bangku sebelahku, Mira pura-pura fokus menulis sesuatu di kertasnya. Tapi matanya beberapa kali melirik tajam, menyelidik.
Aku tahu dia menyukai Nizan. Dan entah kenapa, sejak tadi pagi ekspresinya agak berbeda.
Mungkin karena pagi ini Azzam yang ke kelasku, bukan Nizan.
Atau mungkin, karena dia tahu Nizan belum berhenti menyukaiku.
Dan aku?
Aku cuma ingin urusan laptop ini selesai. Tapi seperti biasa, drama selalu datang dari arah yang tak terduga.