Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
"Cari dia dan bawa ke sini, SEKARANG JUGA!!" suara Ryandra menggema begitu keras, hingga membuat para pria berpakaian hitam bergegas pergi seolah-olah mereka adalah rusa yang sedang berlari menghindari singa.
Tubuhku spontan tersentak mendengar suaranya. Aku menunduk, lalu perlahan-lahan mendongak hanya untuk mencuri pandang ke arah Tuan Ryandra — dan darahku seketika terasa membeku. Sosok pria yang berusia hampir kepala lima kini berdiri di altar sama sekali tak menyerupai pria tampan dan tampak rapuh yang kulihat sehari sebelumnya. Tuan Ryandra, pria yang kini menjadi ayah mertuaku, tampak seperti sosok asing yang tak pernah kukenal. Sorot matanya dingin dan tajam, wajahnya penuh kemarahan. Dan ketika ku tolehkan pandanganku ke sekitar, aku sadar ada banyak pasang mata mengamati ku. Tatapan mereka dipenuhi tanda tanya yang tak terucapkan — dan sayangnya, aku sendiri tak tahu jawabannya.
"Astaga, apa dia sebegitu buruknya sampai-sampai ditinggal di hari pernikahannya sendiri?" bisik seseorang di bangku para tamu. Meskipun ucapannya pelan, di telingaku itu terdengar seperti gong besar yang memekakkan.
Aku menoleh, mencari sumber suara itu. Seorang wanita tua sedang berbisik pada temannya. Jujur saja, aku pun tak pernah membayangkan akan berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin terindah yang pernah ku sentuh, hanya untuk ditinggal oleh calon suamiku. Ini jelas bukan bagian dari hidup yang ku rancang. Tapi ya, hidup memang sering kali tak berjalan seperti yang kita harapkan.
“Pak Ryan, kalau putra Anda tidak muncul dalam beberapa menit ke depan, saya khawatir upacara ini harus dibatalkan,” kata sang penghulu pernikahan dengan suara hati-hati.
Ryandra berjalan mendekati penghulu dengan senyum kecil, tapi jelas terlihat penghulu itu menegang. Ada sesuatu yang salah. Saat mataku tertuju pada celana Tuan Ryandra dan melihat senjata tergantung di pinggangnya, tubuhku langsung membeku. Tidak mungkin. Dia tidak akan... dia tidak mungkin akan melakukan itu, kan? Tapi aku kembali berpikir — sejak aku masuk ke acara pernikahan ini, apa ada hal yang benar-benar terasa normal? Kalau penghulu saja diancam dengan senjata, apa yang akan terjadi padaku jika aku membuat satu gerakan yang salah? Apakah dia akan menghabisi ku di tempat?
"Apa sebenarnya yang merasuki ku saat itu?" pikirku, mengingat kembali momen saat aku menyetujui pernikahan ini dengan putranya — Rayga D'Amato.
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari-cari pintu tersembunyi atau celah untuk kabur. Dalam hati kecilku, aku justru berharap Rayga tak muncul. Kalau dia tidak datang, berarti aku tidak harus menikah dengannya, bukan? Tapi satu tatapan dari Tuan Ryandra saja cukup untuk membuyarkan harapanku. Aku tahu, Ryandra-lah yang mengendalikan segalanya. Dan dari percakapan kami sebelumnya, aku tahu jelas: melanggar perjanjian bukanlah pilihan.
“Rika?” aku mendongak, menatap Tuan Ryandra yang kini terlihat lebih lembut. “Kamu ingin duduk? Perlu makan sesuatu?” tanyanya sambil mengamati ku.
“Tidak, saya baik-baik saja tuan. Terima kasih,” jawabku sopan.
Aku sengaja menjaga jarak. Tidak ingin menunjukkan kelemahan atau bersikap terlalu ramah. Karena jujur saja, aku tak tahu apa yang sedang dia rencanakan.
"Sudah ku katakan jangan panggil aku dengan sebutan tuan!! Aku lelah memperingatkan mu! Panggil aku 'Ayah'. ". Ucap Ryandra dengan nada jengkel.
Aku mendengar itu seketika memacu adrenalin, dan tersenyum Canggung.
"Ma—maaf tu-an, mmm maksud ku Ayah" ucap ku sedikit terbata. Entah apa yang terjadi pada mulutku ini.
Ryandra mengangguk sebagai jawaban dan memberi isyarat pada salah satu bawahannya.
Jas yang dipakainya tampak mahal — berbicara soal kekuasaan. Saat itulah aku teringat akan hasil pencarianku di internet waktu itu.
Ryandra D'Amato — Miliarder. Pemilik konglomerat terbesar di negeri ini. Diduga sebagai pemimpin dari kelompok mafia D'Amato yang sangat ditakuti. Setau ku nama mafia mengikuti pemimpin yang membangun kelompok mafia itu sendiri, itulah penyebab Ryandra D'Amato sangat berkuasa di kelompok yang ia buat.
Keluarga D'Amato dikenal sebagai keturunan mafia. Legendaris. Terlalu kuat untuk disentuh oleh hukum, bahkan disebut-sebut memiliki keterlibatan dalam pemerintahan. Tak heran mereka bisa bertahan selama ini.
Pikiranku terpotong ketika terdengar suara keributan dari luar.
“Rayga!” seru Ryandra dengan antusias, bertepuk tangan seperti anak kecil yang mendapat hadiah.
Aku cepat-cepat menoleh dan nyaris tak bisa menutup mulutku karena terkejut. Di depan altar, berdiri — atau lebih tepatnya ditopang oleh dua pria — seorang pria yang begitu... memesona. Ya Tuhan... manusia setampan ini benar-benar nyata? Rambut hitam legamnya menjuntai sedikit berantakan, matanya cokelat gelap menyala, tubuhnya tinggi semampai dengan otot yang terdefinisi jelas. Dia tampak sempurna — kecuali bau menyengat alkohol yang menyeruak dari tubuhnya. Entah itu brandy atau whisky, aku tak yakin. Tapi satu hal jelas: Rayga menyukai minuman keras. Hebat. Kini aku tahu, aku akan menikah dengan pria dari keluarga pecinta senjata dan peminum berat.
Rayga menolak untuk berdiri tegak. Meskipun para pria di sampingnya berusaha menopangnya, tubuhnya tetap ambruk ke lantai. Suara terkejut bergema di seluruh bangku tamu.
“Pak Ryan, kami tidak bisa melanjutkan upacara kalau mempelai pria tidak sadar,” kata sang penghulu, suaranya dipenuhi ketakutan.
“Tunggu,” ujar Ryandra sambil turun dari altar. “Rayga, berdiri.” Ucapannya penuh tekanan, tapi Rayga tetap tak bergerak. “RAYGA!” teriaknya kali ini lebih keras, lalu berjongkok di hadapan putranya.
“Aku hanya ingin menikah dengan Rita, Ayah!” geram Rayga, dengan suara parau penuh kebencian.
Ryandra mendengar itu segera berdiri tegak, kemudian memberi isyarat pada dua pria yang tadi menopang Rayga. Mereka kembali mengangkatnya, dan seketika itu pula...
BUGH!
Satu tinju mendarat di wajah Rayga. Semua orang menahan napas. Termasuk aku. Ryandra memukul anaknya sendiri — di depan altar. Rayga jatuh, darah mengotori kemejanya yang putih. Tapi yang lebih menyeramkan lagi, dia malah menyeringai. Senyum penuh darah terpampang di wajahnya, seperti menantang ayahnya sendiri.
Aku gemetar. Kedua tanganku saling mencengkeram satu sama lain, mencoba menyembunyikan ketakutan yang makin nyata. Seberapa parah lagi semua ini akan menjadi?
Dan saat mataku bertemu dengan pandangan Rayga, seluruh tubuhku menegang. Tatapannya menusuk, liar, lapar. Seperti binatang buas yang baru saja melihat mangsanya.
“Siapa kau, jal*ng?” geramnya.