Tugas pun akhirnya selesai. Pak Bos mengijinkan Elif dan Teddy untuk pulang, namun tetap memberikan titah agar handphone keduanya harus tetap dalam keadaan aktif.
"Karena aku tidak tahu kapan tiba-tiba aku bisa memberikan tugas." katanya lebih ditujukan pada Elif. Wajah Elif menunjukkan ekspresi kesal yang tertahan. Sementara Ardan menyeringai lebar. Entah kenapa ada yang membuat Ardan begitu senang mengerjai gadis itu. Melihatnya berwajah masam, cemberut, marah-marah terkadang memberikan sensasi aneh padanya.
Elif dan Teddy pun pamit. Ia merasa iri pada Teddy yang bisa lebih lama bersama dengan Elif, itu artinya Teddy bisa lebih lama menikmati aroma Elif. Meski pun sudah berkali-kali Teddy mengatakan kalau dirinya tidak bisa mencium aroma yang dikatakan Ardan.
Di dalam perjalanan, seperti biasa keduanya tidak ada yang bicara apa lagi repot-repot membuka percakapan hanya untuk mengusir kesunyian. Tapi sepertinya baik Elif atau pun Teddy lebih memilih untuk menikmati kesunyian dari pada mencoba untuk saling ramah.
"Kenapa kau sangat berani pada Pak Ardan?" Suara Teddy yang sangat tiba-tiba dan sangat diluar kebiasaan membuat Elif sangat terkejut sampai hampir ia ingin loncat ke luar mobil saking kagetnya.
"Anda bertanya pada saya, Pak?" Elif tidak percaya.
"Ya, kalau kau manusia."
"Karena aku tidak menyukainya."
"Pak Ardan adalah bosmu, seharusnya kau menghormatinya."
"Saya menghormatinya, tapi bukan berarti saya tidak bisa tidak menyukainya."
"Semua wanita bahkan sangat menyukai dan tergila-gila padanya."
"Mungkin karena saya tidak gila, makanya saya tidak menyukai Pak Ardan." Ketus Elif.
"Kenapa memangnya kau sangat tidak menyukai Pak Ardan?"
"Karena Pak Ardan sudah membuang sepeda saya."
"Sepeda?" Kening Teddy berkerut. Tapi dirinya tetap fokus pada stir dan jalanan yang mereka tempuh. "Ah! Jadi sepeda buturt yang sudah rusak itu milikmu?"
"Iya!" Jawab Elif sambil memberengut.
"Jadi kau gadis yang ditolong Pak Ardan dan malah menuduhnya sebagai penculik?"
"Iya!"
"Wah, kau tahu, kau sangat beruntung! Pak Ardan biasanya tidak terima penghinaan semacam itu, Pak Ardan pasti akan menuntut atas pencemaran nama baik dan memastikan kau akan dipenjarakan dalam waktu yang lama." Teddy berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
Mendengar apa yang barusan diucapkan Teddy sedikit membuat keberanian Elif hilang.
"Saya sudah minta maaf padanya tentang itu."
"Beliau bukan orang yang gampang menerima maaf."
Elif hanya mendengus malas membahas.
"Lalu, apa hanya karena sepeda butut itu dibuang kau jadi sangat tidak menyukai Pak Ardan?"
"Mungkin itu sepeda butut untuk Anda dan Pak Ardan yang saya yakin bisa membeli pabrik sepedanya..."
"Pak Ardan memang sudah membeli lima belas perusahaan sepeda." Sela Teddy. Membuat Elif diam sebentar kemudian tetap melanjutkan.
"Tapi, sepeda butut itu saya dapatkan dengan pengorbanan, usaha yang tidak mudah."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak minta saja pada Pak Ardan untuk mengganti sepedamu dengan yang baru?"
"Saya bukan pengemis!"
"Meski kau dalam keadaan mendesak dan butuh uang yang banyak, apa kau tidak akan meminta?"
"Tidak! Saya memang bukan siapa-siapa, yang saya punya hanya harga diri. Jika saya mengemis atau melakukan pekerjaan haram hanya untuk mendapatkan uang dengan menjual harga diri saya, nantinya saya tidak akan bisa mempertahankan diri saya sendiri."
Boleh juga nih pikirannya. Jarang sekali masih ada orang yang berpikir seperti dia di jaman yang serba instan sekarang ini. Kurasa kau orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Kau bisa minta upahmu seharga biaya operasi dan pengobatan orang tuamu nanti jika kau mau. Aku yakin Pak Ardan akan membayarnya tanpa ragu.
Percakapan 'akrab' antara Elif dan Teddy pun berakhir disana, tanpa ada kalimat penutup.
***
Seperti biasa semenjak bekerja, Elif selalu pulang disaat semua orang sudah tidur. Cahaya temaram yang selalu ditemuinya setiap masuk ke dalam rumah. Sambil memijat leher belakangnya Elif menyeret kakinya menuju kamar tepat saat Yanuar keluar dari kamarnya dan menyalakan lampu.
"Ayah belum tidur?" Elif menghampiri Yanuar hendak mencium tangannya, tapi Yanuar menepisnya.
"Memalukan!" Hardik Yanuar. "Kau kerja apa sampai setiap hari pulang malam-malam seperti ini, diantar pria, keluar dari mobil, pria itu bahkan tidak keluar dari dalam mobilnya."
"Ayah, bukan seperti itu." Ucap Elif yang sudah merasa lelah. "Aku sudah bilang, aku bekerja sebagai sekertaris CEO yang banyak sekali peraturannya."
"Kau pikir bisa membodohiku? Aku juga tahu apa saja tugas sekertaris, mana ada sekertaris bekerja dari pagi buta sampai hampir tengah malam seperti ini, hah!"
"Tapi Yah..." Ingin sekali Elif menjelaskan betapa menyebalkan dan aneh bosnya itu. Tapi percuma, ayah tidak akan perduli. Apapun penjelasannya Elif selalu jelek dan salah dimata ayah.
"Kau sudah meracuni adikmu, kau membuatnya membantahku, berpura-pura menjadi kakak yang baik. Tidak tahu malu!"
"Yah, maaf, tapi apapun yang Ayah pikirkan sama sekali tidak benar." Elif benar-benar sudah lelah.
"Lalu jelaskan kenapa semenjak bekerja kau selalu berangkat sangat pagi dan pulang selalu sangat malam. Dan siapa pria yang selalu mengantarmu itu?"
"Apa Ayah akan percaya dengan penjelasanku? Apa Ayah akan mendengarkanku? Kalau pun aku menjelaskan semuanya, Ayah akan tetap menilaiku salah. Karena Ayah tidak pernah menyukaiku, tidak menyayangiku, mungkin juga tidak menganggapku anak Ayah!" Kesal Elif meninggikan suaranya.
"Ada apa ini?" Zehra keluar dari kamar, juga dengan Adit. Sambil mengucek-ucek mata ia melihat bagaimana Elif mengepalkan tangan, menahan diri sekuat tenaga. Bocah itu langsung menghampiri kakaknya. "Mas ada apa? Kenapa ribut-ribut malam begini? Elif juga masih pakai pakaian kerja."
"Kau ajarkan saja anak perempuan mu itu untuk cari pekerjaan yang benar. Jangan sampai dia jadi simpanan pria beristri hanya untuk uang."
"Cukup!" Teriak Zehra.
Adit mengusap-usap punggung Elif. Mencoba memberikan kesabaran.
"Ada apa denganmu sih? Apa salah Elif padamu? Aku juga bingung sampai detik ini kau selalu membedakan anak-anakmu. Elif juga anakmu, Mas! Darah dagingmu! Sama seperti Adit. Mereka tidak ada bedanya."
"Ayah padahal sudah tahu semuanya, Ayah sudah tahu kenapa Kak Elif berhenti kuliah, kenapa Kak Elif bekerja. Tapi Ayah tetap seperti ini. Ayah tetap membenci Kak Elif tanpa alasan." Suara Adit bergetar. Ia menahan tangis juga marah pada sang Ayah.
Sementara Yanuar tetap berdiri disana, tanpa mengubah ekspresinya sedikitpun. Tidak ada penyesalan pada wajahnya. Ia tetap tidak menyukai anak sulungnya.
"Kak, Bu, mulai detik ini Adit tidak akan pernah mau untuk masuk sekolah bola." Tegas Adit.
"Adit..." Desah Elif.
"Apa kau bilang?!" Yanuar melotot pada Adit. "Ini pasti karena kau terpengaruh oleh Elif kan?"
"Buka mata, telinga dan hatimu, Mas! Elif yang tetap meminta Adit untuk masuk sekolah bola demi kau."
"Lihat kan, Bu? Ayah yang selalu egois memikirkan dirinya sendiri padahal tahu Ayah yang paling salah. Tapi selalu melemparkan kesalahan apa pun pada Kak Elif."
"Adit sudahlah, jangan memperunyam masalah." Pinta Elif.
"Kak Elif juga lebih baik kembali kuliah saja Kak, kejar mimpi dan cita-cita Kakak. Jangan mengorbankan impian Kakak hanya untuk Ayah yang tidak pernah menghargai ketulusan Kakak."
"Adit! Kau harus tetap masuk sekolah bola!"
"Tidak! Kalau Ayah mau, Ayah saja yang masuk sekolah bola dari pada kerjaan Ayah hanya memaksa orang lain untuk mengikuti maunya Ayah. Atau Ayah adopsi saja anak laki-laki, aku sama sekali tidak perduli." Adit pun menghentakkan kaki kembali masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu hingga tertutup.
"Puas kau membuat Adit menolak masuk sekolah bola?!" Tuding Yanuar pada Elif. Tapi Zehra langsung berdiri di depan anak gadisnya.
"Jangan sekali-sekali lagi kau menyalahkan Elif atas apa yang kau sebabkan! Aku bangga pada Adit karena akhirnya dia menentang keegoisanmu. Dan aku bangga pada Elif karena ketulusannya. Jika kau masih saja menutup hatimu, aku akan membawa anak-anaku pergi dari sini!"
"Kau mengancamku?!"
"Tidak, aku memperingatkan mu!"
"Ibu, jangan seperti ini, Ayah sedang sakit." Desah Elif, air mata sejak tadi sudah lolos membasahi wajahnya. Tapi Zehra masih dengan emosinya menatap wajah Yanuar.
"Kalau sampai aku mati karena penyakit ini, itu semua salahmu!" Bentak Yanuar pada Elif sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar dan membanting pintu.
Zehra segera memeluk Elif yang menangis. Tak kuasa lagi menahan sakitnya tidak dicintai ayahnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
entah lah yanuar, macam mana kasih sayang yg dia punya u anak2 nya jg istrinya???
2023-02-19
0
Sri Widjiastuti
👍👍👍setujukah
2023-02-19
0
dheey
sumpah gregeten banget sama karakternya yanuar ini. egoisnya udah level 10 ke atas, keknya melebuhi egoisnya si ardan.
2023-02-01
0