Elif merenggangkan tubuhnya begitu sampai di rumahnya setelah bekerja dan berkayuh sepeda dari restoran tempat kerja paruh waktunya. Carpot rumahnya yang tidak terlalu besar pun ditempati oleh dua motor milik ayahnya dan adik lelakinya, dan beberapa barang-barang lainnya yang berhubungan dengan peralatan mekanik. Elif sama sekali tidak masalah mengayuh sepeda untuk kuliah atau pun bekerja paruh waktu. Lagi pula ia bisa menggunakan bis jika kuliah, dan restoran tempatnya bekerja tidak terlalu jauh dari rumah.
Hari sudah malam, meskipun belum terlalu larut. Sudah menjadi biasa bagi Elif untuk pulang saat langit sudah gelap. Tapi yang menjadi tidak biasa adalah ayahnya. Biasanya sang ayah datang setelah Elif.
Elif buru-buru masuk ke dalam rumah, takut terjadi sesuatu pada ayahnya atau anggota keluarganya yang lain. Perasaannya mengatakan tidak baik saat melihat wajah ibunya yang bersedih. Wajah ayahnya yang terlihat kecewa. Dan adiknya, Adit, yang terlihat menenangkan ayah dan ibunya.
"Ibu? Ayah? Adit? Ada apa?" tanya Elif mendekati ibunya yang duduk di hadapan ayah dengan kepala tertunduk.
"Ayah di PHK, Kak." Adit menjawab dengan gamblang dan meluncur begitu saja.
"Apa?" Elif terkejut. Tidak mengerti bagaimana bisa ayahnya di phk setelah begitu lama mengabdi di perusahaan itu.
Yanuar sebagai kepala rumah tangga itu pun menjelaskan pada putrinya bagaimana kronologis dirinya dan beberapa rekannya yang lain menjadi orang-orang yang terpilih dalam urutan yang ter-phk. Perusahaan kontraktor tempat Yanuar bekerja lama itu memang sudah beberapa tahun belakangan tidak stabil dan terancam gulung tikar, jadi sang pemimpin pun mengajukan kerja sama dengan sebuah perusahaan besar. Pimpinan perusahaan besar itu pun akhirnya mengakuisisi perusahaan kontraktor tempat Yanuar bekerja.
Baru beberapa jam setelah akuisisi, pimpinan perusahaan besar itu melalui perwakilannya memberikan beberapa kebijakan, salah satunya mengganti karyawan-karyawan yang dianggap sudah tidak terlalu produktif atau karyawan berusia diatas empat puluh lima tahun untuk digantikan dengan karyawan muda, fresh graduate, dan mempunyai gagasan-gagasan lebih segar.
"Jahat sekali! Ini tidak adil!" kata Elif gusar. "Ayah sudah lama bekerja disana. Banyak kontribusi Ayah disana."
"Ya tapi mau bagaimana lagi, usia Ayah juga sudah lima puluh tahun lebih, jika kebijakannya seperti itu Ayah tidak bisa membela diri."
"Apa Ayah dan teman-teman Ayah tidak bisa menuntut?" tanya Elif, masih gusar.
Yanuar menggeleng. "Jika kami menunut, maka kami akan kehilangan pesangon kami, malah jadi tidak mendapatkan apa-apa."
Elif mendesah kasar.
"Tapi kau tenang saja, Nak, cita-citamu akan tetap bisa kau capai." kata Yanuar, bukan pada Elif, melainkan pada Adit.
"Yah..." Adit melirik Elif, merasa tidak nyaman ayahnya bicara seperti itu di depan Elif.
"Pokoknya kau harus tetap bersekolah, raih cita-citamu!" ujar Yanuar dengan tegas.
"Tapi Yah, biaya sekolah bola itu kan tidak murah. Aku sama sekali tidak masalah kalau tidak harus masuk sekolah bola, aku-"
"Tapi masalah untuk Ayah." Yanuar bangkit berdiri. "Uang pesangon Ayah sudah untuk biaya sekolahmu."
"Tapi Yah, aku juga bisa kok bantu Ayah dan Ibu untuk-"
"Cukup Adit!" Bentak Yanuar. "Kita sudah bahas ini tadi. Kau akan tetap melanjutkan pendidikan mu masuk ke sekolah bola. Walau pun Ayah di PHK, uang pesangon Ayah cukup untuk biaya sekolahmu, lagi pula kita masih punya usaha rumah makan kita dan masih ada Elif yang akan bantu bekerja. Bukan begitu, Elif?"
Glek! Entah kenapa Elif merasa tersisihkan. Ia tidak terkejut sebenarnya dengan keputusan yang dibuat Yanuar. Dirinya selalu dinomor duakan bahkan tidak dianggap penting oleh ayahnya sendiri bukan lah hal yang pertama kali terjadi dalam hidupnya. Tapi kali ini ia merasa menjadi anak tiri yang tidak diperdulikan oleh ayah sendiri.
Ayah begitu tidak ingin Adit meninggalkan cita-citanya. Tidak ingin Adit gagal menggapai cita-citanya. Tapi tidak sekali pun ayah pernah menanyakan apa cita-cita Elif. Ia bahkan lebih menginginkan Elif langsung menikah setelah lulus sekolah SMA dari pada melanjutkan kuliah dengan alasan biaya kuliah tidak murah. Tapi Elif tidak ingin menikah, Elif juga mempunyai cita-cita, ia sangat ingin menjadi seorang jurnalis sukses seperti jurnalis idolanya yang dikenal sebagai anak dari salah satu pemuka agama. Namun, ayah tidak perduli.
Karenanya, Elif bekerja paruh waktu untuk membiayai pendidikannya sendiri. Upah yang dia terima dari bekerja paruh waktunya selalu ditabungnya untuk urusan kuliah, karenanya sampai saat ini ia sanggup mencukupi kebutuhan biaya pendidikannya. Terkadang Ibu harus sembunyi-sembunyi dari Ayah untuk memberikan Elif uang saku.
"Elif selalu membiayai uang sekolahnya dengan kerja paruh waktu, Mas." Zehra, Ibu dari dua anak itu pun akhirnya bersuara. "Jangan membebani Elif lagi, kita akan berusaha untuk Adit dan Elif."
"Itulah mengapa dulu aku bilang kau langsung menikah saja, tidak perlu kuliah. Buang-buang waktu, tenaga dan biaya saja." sahut Yanuar melihat Elif. "Kau itu perempuan, pada akhirnya tugas mu hanya di rumah saja mengurus suami dan anak-anakmu, tidak perlu kuliah segala."
"Tapi Yah, mengurus rumah, suami dan anak juga perlu ilmu kan, aku ingin mendidik anak-anakku dengan-"
"Kenapa kau selalu saja membantah!" Hardik Yanuar memotong ucapan Elif. "Apa kau pikir Ayah mau di PHK seperti ini? Apa kau senang jika adikmu tidak bisa menggapai cita-citanya?!"
"Aku tidak masalah, sih." celetuk Adit yang tidak didengarkan Yanuar.
"Jangan menjadi kakak yang egois untuk adikmu." cetus Yanuar. Kemudian berlalu meninggalkan ruang.
"Ayah!" panggil Adit.
"Mas!" panggil Zehra.
"Bu, Dit, sudah lah." Elif menengahi. Dia tahu Adit dan ibunya sama sekali tidak setuju dengan keputusan Ayahnya yang selalu saja tidak memperdulikan Elif. Tapi Elif juga tidak bisa menolak keputusan ayah.
"Tapi, Kak, aku benar-benar tidak masalah jika tidak masuk sekolah bola. Lagi pula menjadi pemain bola bukan mimpi terbesarku. Itu lebih ke cita-citanya Ayah saja." Adit memprotes.
"Kalau begitu kau akan menghancurkan hati Ayah kalau kau tidak masuk sekolah bola." ujar Elif terdengar bijak.
"Tapi, Elif, kalau kau harus bekerja terus, bagaimana dengan kuliahmu. Kau juga harus fokus dengan cita-citamu, Nak." ucap Zehra.
"Iya Kak, Ibu benar. Huh! Kenapa sih Ayah selalu saja bersikap begitu sama Kakak." Sesal Adit. Ia menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa.
Elif tersenyum, sejujurnya ia pun juga tidak tahu kenapa ayah begitu tidak menyayanginya.
"Ibu dan Adit tenang saja ya, aku akan baik-baik saja. Kuliah ku juga akan tetap berjalan baik. Kalau memang aku harus mencari pekerjaan lain untuk membantu ayah dan ibu, aku...akan lakukan."
Lagi dan lagi Elif harus mengalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments