Suara burung-burung di pagi hari saling bersahut-sahutan, ayam pun berkokok menyemarakkan suasana setiap pagi. Langit begitu cerah, tidak ada sedikit pun awan kelabu yang terlihat.
Elif menyibak tirai jendela kamarnya seusai mandi, masih dengan handuk yang membelit rambut panjangnya yang basah. Ia membuka jendela kamar, menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih bersih. Matanya terpejam sejenak, membisikan harapan dalam hati dan mengamininya kelak semua akan indah pada waktunya.
Ia melapangkan dada, menerima jalan hidupnya dengan harapan rasa sedih yang mengganjal hatinya tidak akan menjadi penghalang baginya untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu menjadi apa yang hatinya mau tanpa harus menjadi beban untuk orang lain. Bahwa ia mampu walau ayah sama sekali tidak pernah mendukungnya. Tapi ia masih memiliki ibu dan adiknya.
Elif menghela napasnya panjang, membuka matanya, menyunggingkan senyuman untuk menutupi kesedihannya. Ah, lagi-lagi bagian bawah mata kirinya selalu saja berkedut pelan setiap kali ia menahan diri untuk tidak menangis. Setiap kali ia merasa sedih namun memaksa diri untuk tersenyum dan meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya tidak apa, dan kedutan pada bawah matanya akan selalu menjadi pengingat bahwa mungkin saja Elif terlalu memaksakan diri untuk tidak mengeluarkan air matanya-lagi.
Elif menggelengkan kepalanya pelan, menepis perasaan melow yang menaunginya pagi ini. Ia menyalakan kipas angin, duduk di depannya kemudian melepas handuk yang membelit rambutnya. Elif mempunyai rambut hitam yang panjang, tebal dan ikal yang parah. Sebesar apa pun usahanya untuk membuat rambutnya rapih dan teratur tidak pernah berhasil, seolah rambutnya mempunyai keinginannya sendiri dan selalu saja melawan kemauan Elif.
Meskipun Elif mengikatnya, tidak akan menyembunyikan rambutnya yang super tebal dan ikal seperti singa. Tak jarang Elif lebih banyak menghabiskan waktu di depan cermin untuk mengikat rambut hingga mencepolnya dengan karet rambut khusus dari pada berdandan. Ia malah jarang sekali menggunakan make up pada wajahnya. Paling standar ia hanya menggunakan gel aloe vera, sunscreen dan lip balm.
Setelah hampir tiga puluh menit mengeringkan rambut dengan hasil setengah kering, Elif mulai berpakaian. Hari ini ia ada kelas jam 9 pagi. Ia bergegas siap-siap kemudian keluar dari kamarnya, membantu ibunya menyiapkan sarapan seperti biasa, mendengarkan ayah yang selalu memuji Adit, menggantungkan harapan yang tinggi pada Adit, yang selalu diakhiri dengan membandingkan dirinya dengan Adit.
"Yah, kenapa sih Ayah-" Adit hendak ingin protes dengan sikap Yanuar yang selalu saja tidak adil pada kakaknya, namun Elif segera menendang pelan kaki Adit dari bawah meja makan, lalu menggeleng pelan.
"Ayah, Ibu, aku berangkat ya." ujar Elif.
"Loh, bukannya kamu kelasnya jam 9, Nak? Kenapa jam setengah 7 sudah berangkat? Mau kemana?" tanya Zehra lembut.
"Aku sudah janjian dengan Mona dan Yura, Bu. Kami mau final check materi untuk persentasi tugas kelompok."
"Oh begitu, naik bis atau ojek online berangkatnya?"
"Bis saja, Bu." Elif bangkit mendekati Zehra untuk mencium tangannya, kemudian mendekati Yanuar juga untuk mencium tangannya.
"Ya sudah, ayo Adit biar Ayah antar saja." kata Ayah tepat setelah Elif melepaskan tangannya.
"Apa sih Yah, Adit kan ada jemputan dari sekolah, sebentar lagi juga datang, mending Ayah antar Kak Elif saja." Tolak Adit sambil bangkit berdiri.
"Kau mau kemana?" tanya Yanuar seolah tidak mendengar perkataan Adit untuk mengantar Elif saja.
"Pipis!" jawab Adit sekenanya.
Elif tidak berharap apa pun. Ia segera berlalu keluar dari rumah.
***
Sedan mewah hitam mengkilat berhenti dengan rem yang sangat lembut dan pas di perempatan jalan tepat saat lampu lalu lintas berubah merah. Teddy memeriksa rute jalan yang akan mereka lalui untuk menuju lokasi, memastikan tidak ada jalur yang macet, jika memang ada, Teddy akan segera mencari jalan lain atau terpaksa menghubungi seseorang untuk membuat jalan mereka lancar. Apapun akan dilakukan Teddy.
Tepat di samping mobilnya, sebuah bis juga berhenti. Ardan melihat ke arah seorang gadis yang duduk di dekat jendela tepat di depan matanya. Sesuatu menarik perhatiannya, yaitu rambut hitam panjang ikal yang tertiup-tiup angin sampai keluar jendela bis. Sudut bibir Ardan bergerak naik, membentuk sebuah senyuman tipis pada bibirnya melihat gadis itu sepertinya tidak menyadari rambutnya menghalangi pemandangan orang yang duduk di belakangnya.
Entah kenapa, Ardan membuka kaca jendela mobilnya, hendak ingin memberitahukan pada gadis itu untuk mengikat rambutnya namun sesuatu menahannya untuk bicara. Sesuatu yang menyapa indera penciumannya. Sesuatu yang beraroma manis yang lembut dan segar, aroma yang tidak pernah Ardan rasakan sebelumnya, aroma yang seketika membuat seluruh saraf dan otot pada tubuh Ardan menjadi sangat rileks. Apakah ini aroma terapi yang baru saja Teddy pasang di dalam mobilnya?
"Ted, apa kau memasang aroma terapi?" tanya Ardan.
"Tidak Pak."
"Apa kau pakai parfum baru?"
"Tidak juga Pak."
Semakin angin bertiup, semakin tercium aroma manis yang segar itu. Ardan menghirup dalam-dalam aroma itu.
Menenangkan sekali. Batinnya bicara.
"Ted, apa kau tahu ini wangi aroma apa?"
"Maaf Pak?"
"Apa kau tidak mencium aroma ini?"
"Tidak Pak."
"Apa kau sinus? Aroma ini sangat jelas sekali tercium. Coba kau buka jendelamu."
Teddy menurut meskipun tidak mengerti aroma apa yang dimaksud Ardan. Jendela sudah dibukan pun Teddy tidak mencium aroma lain selain aroma polusi dari pembuangan kendaraan yang menunggu lampu berubah hijau.
"Kau menciumnya? Aroma yang manis ini?"
Aroma manis? Sejak kapan Pak Ardan menyukai aroma polusi dari knalpot kendaraan? Teddy membatin.
"Nah, kau menciumnya bukan?"
"Maaf Pak, tapi saya tidak mencium sesuatu aroma yang Bapak maksud."
"Tidak beres penciumanmu! Segera periksa ke dokter, pasti ada yang salah dengan hidungmu."
"Baik Pak." Teddy mengangguk seraya menutup kembali kaca jendelanya. Sementara Ardan masih menikmati sisa detik yang bergulir dari lampu lalu lintas sambil menghirup dalam aroma manis yang lembut dan segar itu.
"Jam berapa kita meeting?"
"Jam delapan, Pak."
"Hmmm." Ardan menengok jam tangan mewahnya. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum pertemuannya dengan klien. "Kita ke toko peralatan rumah tangga lebih dahulu. Aku mau cari aroma yang seperti ini."
Lampu merah pun bergerak ke hijau. Semua kendaraan bergerak, termasuk sedan hitam mewah milik Ardan. Ardan menutup kaca jendelanya. Tak rela kehilangan aroma tadi, rasanya segala beban pikirannya lenyap begitu saja, yang ada hanya ketenangan.
"Aku harus menemukan aroma terapi yang sama persis seperti tadi."
"Baik Pak."
***
Elif merasakan rambutnya sudah kering sempurna, ia mulai mengangkat kedua tangannya, menggapai semua helaian rambutnya bahkan yang keluar-keluar dari jendela untuk diikat dengan karet rambut, meskipun sama sekali tidak dapat menyembunyikan ikal rambutnya yang megar seperti singa.
Busnya mulai bergerak setelah menunggu lamanya lampu merah, tepat disebelahnya sebuah sedan hitam mewah pun juga bergerak.
Elif menghela napas pelan, menatap penuh impian dan doa pada mobil sedan tersebut yang sudah bergerak lebih dulu. Jika suatu hari nanti dirinya berhasil, menjadi seseorang yang sukses dengan hasil usahanya sendiri dan dapat membawa orang tuanya jalan-jalan dengan kendaraan mewah, apakah ayahnya akan bangga padanya? Apakah akhirnya ayah tidak lagi membandingkan dirinya dengan orang lain? Apakah akhirnya ayah akan menyayanginya seperti ayah menyayangi Adit?
Elif menghela napas lagi, pelan, namun berat.
Kau pasti bisa, Elif! Kau pasti bisa membuat ayah dan ibu bangga padamu! Kau pasti bisa! Kau hanya perlu bersabar sedikit lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nona Cherry Jo
athoor biarkan elif meraih citi²nya dong.. 🙏
2021-10-09
0
redvelvet
elif pake shampoo apaan sih?? sampe si Ardan sebegitunya,,,
2021-10-08
1