Elif duduk termangu di depan ruangan seorang dokter yang telah hampir dua jam berusaha dengan usaha terbaik menyelamatkan Yanuar. Dokter itu meminta perwakilan keluarga untuk bicara tentang kondisi Yanuar.
Elif yang mewakilkan Zehra untuk bicara pada dokter, karena melihat kondisi Zehra yang begitu terpuruk dengan apa yang menimpa Yanuar.
Tiga puluh menit berlalu, dokter menjelaskan kondisi kesehatan Yanuar yang intinya terdapat beberapa gangguan kesehatan pada jantung beliau. Dan gangguan kesehatan itu sudah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Hanya saja Yanuar sepertinya tidak memperdulikannya dan tidak memeriksakannya. Dokter menyarankan untuk segera melalukan tindakan operasi untuk menghindari kejadian fatal yang memungkinkan Yanuar akan kehilangan nyawa dalam beberapa bulan jika tidak segera melakukan tindakan operasi.
Dan selama itu, Yanuar pun harus menjalani beberapa perawatan intensif yang harus rutin dilakukan setiap minggunya.
"Apa ada opsi lain Dok, selain tindakan operasi? Mungkin dengan perawatan rutin saja misalnya?" tanya Elif sambil menyeka air matanya sebelum ia keluar dari ruangan dokter itu.
"Perawatan rutin itu adalah penunjang untuk mengontrol gangguan pada jantung Pak Yanuar. Satu-satunya hanyalah dengan melakukan tindakan operasi. "
Elif merosot pada dinding di depan ruangan dokter. Dari mana ia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi dan perawatan rutin ayahnya? Hasil dari usaha rumah makan mereka pun hanya cukup untuk kehidupan keseharian dan upah untuk satu-satunya karyawan mereka. Gaji dari kerja paruh waktu pun hanya cukup untuk membayar biaya kuliah. Sementara ayah mereka sudah tidak lagi bekerja. Dari mana Elif atau Zehra bisa mendapatkan biaya untuk operasi dan perawatan rutin yang membutuhkan biaya yang sangat besar?
Elif mengusap wajahnya, menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Model rambutnya sudah tidak lagi terbentuk. Penampilannya sungguh berantakan. Ia bangkit dengan sepasang kakinya yang lemah ia melangkah. Tidak ada yang bisa dilakukannya hanya dengan menangis.
Elif akan mendiskusikannya semua ini dengan Ibu juga adiknya. Tentu hal ini bukanlah kabar yang menenangkan hati setelah apa yang terjadi. Namun, Elif tidak ingin ada yang disembunyikan dari keluarganya. Jika ingin menemukan jalan keluar, bicara adalah caranya.
Yanuar masih di dalam ruang pemulihan, saat Elif menemui Zehra dan Adit di ruang tunggu. Adit yang lebih dulu melihatnya bangkit berdiri dan mendekat pada kakaknya.
"Apa kata dokter, Kak?"
"Apa kau tahu apa yang terjadi sampai Ayah seperti ini?" tanya Elif.
"Saat aku pulang sekolah, Lani memberitahuku kalau Ayah dan Ibu sedang bertengkar sejak Kakak pergi kerja. Lalu aku dengar Ayah membentak ibu dan mengatakan kalau Ibu terlalu memanjakan mu, kemudian ibu membalas perkataan ayah dengan marah dan bilang kalau ayah sudah bersikap tidak adil pada mu, hanya karena..." Adit menggantungkan kalimatnya.
"Karena apa?"
"Karena ayah sangat menginginkan anak laki-laki." Adit menjawabnya dengan suara bersedih dan menyesal. "Maafkan aku, Kak."
"Kenapa kau minta maaf? Kau tidak salah."
"Karena aku lahir, Ayah jadi seperti ini padamu, Kak." Mata Adit berkaca, adik lelakinya itu meski terlihat cuek, masa bodoh, tapi ia selalu sayang pada Elif, Adit selalu kesal pada Yanuar yang selalu saja memanjakannya tapi tidak memanjakan Elif.
"Ssshhh." Elif menarik Adit, mengusap punggung adik laki-lakinya. "Itu bukan salahmu, oke." Elif mengacak rambut Adit, lalu mereka berjalan mendekati Zehra.
"Apa kata dokter tadi Kak?"
"Kita bicarakan sama Ibu juga ya." jawab Elif.
Mereka duduk disisi-sisi Zehra, mencoba memberikan kekuatan untuk ibunya yang terlihat begitu merasa bersalah.
"Elif, bagaimana kondisi Ayah kata dokter?" Zehra bertanya. Mata lelah dan sembabnya menatap Elif berharap mendapatkan kabar bahwa tidak ada yang serius pada suaminya.
Elif menguatkan hatinya, meski tidak tega, tapi ia harus memberitahukan yang sebenarnya pada Ibu juga adiknya, mereka berhak tahu apa yang terjadi pada Yanuar.
Dan setelah menjelaskan apa yang dikatakan dokter sebelumnya pada Elif, reaksi dari Zehra juga Adit sudah diprediksi olehnya.
Zehra terlihat sangat terpukul dan bersalah, juga bingung seolah berdiri di dalam kegelapan. Adit termangu mencoba memahami situasi yang baru saja dihadapinya.
"Kita bisa pakai uang pesangon Ayah untuk biaya operasi, kan?" Ucap Adit memberikan saran.
"Tidak. Jangan." Elif segera menolak ide itu.
"Kenapa? Kita tidak punya uang kan untuk biaya operasi ayah, hanya uang pesangon itu-"
"Uang itu untuk biaya mu masuk sekolah bola." Potong Elif.
"Tapi aku tidak mau Kak! Masuk sekolah bola bukan impianku, bukan keinginanku, itu keinginan ayah!"
"Justru itu, kau harus masuk sekolah bola, buat ayah bangga padamu."
"Tapi itu bukan cita-citaku! Kenapa tidak ada yang mengerti aku sih!"
"Kau pikir ada yang mengertiku?!" Bentak Elif, membuat Adit bungkam menahan rasa gusar
Elif menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. "Dengar Dit, dokter bilang Ayah tidak boleh stres, tidak boleh emosi berlebihan. Jantung ayah tidak sehat!" kata Elif lebih kalem. "Sekarang yang harus kita pikirkan adalah kesehatan ayah lebih dulu. Untuk itu kita harus menjadi anak-anak yang bisa membuat ayah bangga dengan menjadi apa yang ayah inginkan."
"Maksud Kakak?"
"Kau akan masuk sekolah bola dan menjadi pemain bola terbaik nantinya. Dan aku akan berhenti kuliah, aku akan mencari pekerjaan yang layak untuk bisa diandalkan ayah dan tidak lagi menjadi beban untuknya."
"Elif, kau tidak pernah menjadi beban untuk kami, Nak." ucap Zehra lirih.
"Ya, tapi bukan itu yang aku dengar dari mulut ayah tadi siang, Bu." Sahut Elif.
"Apa kau akan menyerah pada cita-citamu, Kak? Kau bilang kau ingin menjadi seorang jurnalis yang handal." kata Adit.
"Demi Ayah, aku akan lakukan."
"Ayah yang bahkan tidak menyayangimu?"
"Adit!" Zehra menegur.
Elif mengulas senyum sedih, "Aku yakin tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anak-anaknya, termasuk ayah. Hanya saja ayah menyayangiku dengan cara yang sulit untuk dipahami."
***
Dadanya terasa begitu sesak. Sesak karena ia sendiri yang akhirnya mengambil keputusan untuk mengubur cita-citanya demi sang ayah yang bahkan tidak pernah mengusap rambutnya. Sesak karena dirinya membuat adiknya tidak bisa menentukan pilihannya, padahal ia tahu Adit sudah berencana akan pergi merantau setelah lulus SMA dan akan bekerja sambil kuliah seperti dirinya karena Adit sangat ingin menjadi seorang akuntan.
Sesak sekali sampai rasanya begitu sakit. Apa setelah ini Ayah akan melihatnya? Ayah akan bangga padanya? Ayah juga akan menyayanginya seperti ayah menyayangi Adit? Atau ayah akan terus memandangnya sebelah mata dan tidak perduli?
Ia butuh seseorang untuk bicara, menumpahkan segala kesedihannya dan rasa sesak di hatinya. Tanpa terasa air mata pun mengalir, membasahi mata hingga pipinya, pandangannya menjadi sedikit buram. Ia mengambil ponselnya, mencari sebuah nama dalam daftar panggilan keluar.
Disaat seperti ini ia biasa bicara lebih dulu pada Yura, karena Mona terlalu cepat emosi. Nama Yura tertera di atas nama Dimas. Sambil menyeka air mata pada matanya, ia menekan nama Yura pada layar ponselnya.
Tut... tut... tut...
"Halo?" suara perempuan menjawab.
"Halo, Yura..."
"Eh, maaf, Yura siapa ya?"
"Lho, ini handphone nya Yura, kan?"
"Oh, maaf, sepertinya salah sambung. Ini handphone nya Dimas."
"Dim...mas? Dimas?" Elif menjauhkan ponselnya dari telinga untuk melihat nama yang tertera pada layar. Ternyata nama Dimas disana. Ia salah menekan nama.
"Oh iya, maaf, saya salah tekan... tunggu sebentar." Elif menyadari ada yang salah juga dengan seseorang yang menjawab panggilan ini. Jika ini ponsel Dimas, lalu kenapa suara perempuan yang menjawab? Bukannya Dimas sedang bersama teman lelakinya, membantunya karena motor temannya itu mogok? "Maaf, kalau saya boleh tahu, saya bicara dengan siapa ya?"
"Dengan Selin, pacarnya."
Seolah tersambar petir di hari yang cerah. Elif begitu terkejut sampai tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia memejamkan mata, mengatupkan rahangnya. Mencengkram perangkat keras ponselnya.
"Halo? Halo?" suara perempuan itu terdengar.
"Iya, maaf, boleh saya bicara pada Dimas?"
"Oh, Dimasnya sekarang lagi dikamar mandi."
"Kamar mandi? Oh, dibengkel sana ada kamar mandinya juga ya?"
"Bengkel? Kita bukan dibengkel, tapi di hotel-"
"Sayang, siapa yang telepon?" Suara Dimas terdengar memotong kalimat perempuan bernama Selin.
"Oh, ini Dimasnya sudah selesai. Mau bicara?" perempuan itu menawarkan pada Elif.
"Ya."
"Siapa?" Suara Dimas bertanya penuh mesra.
"Asisten mu."
"Asisten?"
"Iya, nih, tulisan namanya Asisten dilayarmu."
Detik berikutnya terdengar Dimas mengumpat sebelum akhirnya menjawab dengan suara terbata.
"Elif... aku bisa jelaskan..."
"Kau mati sekarang!"
Tut! Tut! Tut!
Wajahnya menengadah ke arah langit malam. Sebuah kursi yang berada di taman rumah sakit itu untuk tidak terjatuh tersungkur penuh kesedihan di atas rumput taman.
Kau bisa melaluinya Elif, kau pasti bisa. Ini semua proses hidup. Dikhianati adalah salah satu proses untukmu tumbuh dan belajar untuk lebih berhati-hati memberikan kepercayaan mu. Dan rasa sakit mu ini untuk belajar menjadi manusia yang tegar.
***
Di tempat lain, di sebuah rumah yang megah, pilar-pilar kokoh menjadi gambaran kemewahan rumah bercat putih yang pagar besi yang tinggi. Beraneka ragam masakan tersaji di atas meja makan yang panjang. Makanan-makanan kesukaan dari satu-satunya penerus dan pewaris dari keluarga Demir tersaji siap disantap.
Ardan menatap kasihan pada semua masakan yang tidak bisa semuanya dimakan hanya oleh mereka bertiga. Ardan, mamanya dan papanya.
Tidak cukup dengan lauk pauk yang bertebaran di atas meja makan, pelayan pun juga menyiapkan makanan penutup atas perintah Nyonya besar.
"Untuk apa semua ini, sih Ma?" tanya Ardan. Dia masih belum sanggup untuk menyentuh hidangan penutup makan malam itu. Perutnya sudah terlalu penuh.
"Untuk perayaan kecil-kecilan, Ardan anak Mama yang paling tampan!" jawab Hanna, mama Ardan, dengan seringaian kecil.
"Lihat, Mamamu sampai membeli dress baru dan memakai semua berlian pada jari tangan dan lehernya." Danuar Demir terkekeh, "Masa kau tidak menyadarinya."
"Mama selalu berpenampilan seperti itu, mana aku tahu."
"Eh jangan salah, kali ini Mama memakai cincin di semua jari Mama." Hanna Demir menampilkan kesepuluh jari tangannya di depan wajah.
"Mama mau menyaingi pengacara yang kondang itu?" Sindir Ardan.
Danuar terkekeh sambil menyuap makanan penutupnya.
"Jadi ini perayaan apa? Banyak sekali makanan, sungguh mubazir." kata Ardan.
"Oh Danuar, kau dengan itu sayang, anak kita yang paling tampan ini memikirkan betapa akan mubazirnya makanan-makanan ini. Sangat lembut kan hatinya?" ucap Hanna sambil menggenggam tangannya sendiri di depan dada, menatap anak semata wayangnya dengan mata berbinar.
"Ya ampun, Ma, ini tidak ada hubungannya dengan hati. Orang buta pun bisa tahu makanan sebanyak ini akan sangat mubazir."
"Tenang, Nak, Papa jamin semua ini tidak akan ada yang mubazir. Kau tenang saja." sahut Danuar.
Ardan memutar bola matanya. Menggeleng pelan. Tidak lagi mau ambil pusing.
"Jadi, ada perayaan apa? Teddy tidak mengatakan apa pun soal perayaan malam ini."
"Karena memang dia tidak tahu." jawab Mama. Kemudian wanita paruh baya yang sangat cantik, elegan dan modis itu bangkit berdiri, memutari meja makan untuk mendekati anak lelakinya.
Danuar memberikan kode pada Ardan untuk berdiri karena melihat sepatu hak super tinggi yang dikenakan Hanna membuatnya akan sulit untuk membungkukkan tubuhnya.
Ardan berdiri dan menerima pelukan dari wanita yang telah melahirkannya 34 tahun yang lalu. Hanna memeluknya dengan perasaan haru dan juga lega.
"Ini adalah perayaan yang sudah Mama tunggu selama tiga tahun, Ardan sayang." kata Hanna seraya melepaskan pelukannya.
"Perayaan apa? Kenapa sampai menunggu tiga tahun?"
"Perayaan akhirnya kau membuka hati dan matamu untuk mengakhiri hubungan mu dengan Marsha."
Kedua alis mata Ardan bergerak naik, menatap mamanya dengan tatapan tak percaya juga terkejut.
"Mama mengharapkan aku dan Marsha putus?" tanya Ardan.
"Iya Sayang."
"Tapi kenapa selama ini Mama sepertinya menyukai Marsha?"
"Itu karena kau memilihnya dari pada memilih calon yang Mama tunjukkan untukmu. Kau tau, Mama sangat menyayangimu dan mencintaimu segenap jiwa dan raga. Apa pun yang menjadi pilihanmu itu artinya membuatmu bahagia, dan apa pun yang membuatmu bahagia, Mama juga pasti bahagia. Tapi Mama tidak bisa membohongi perasaan Mama sendiri kalau sebenarnya Mama sangat tidak setuju jika akhirnya kau menikah dengannya." Mama menjelaskan dengan takut-takut. Takut Ardan akan tersinggung dan marah padanya.
Tapi di luar dugaan Hanna, anak lelaki satu-satunya itu malah menyunggingkan senyuman dan memeluknya kembali.
"Oh ya, dari mana Mama tahu aku putus?" Ardan melepaskan pelukannya.
"Oh gadis itu menemui Mama saat Mama sedang bersama teman-teman Mama di restoran. Ia memohon-mohon pada Mama untuk membujukmu kembali padanya." ucap Mama, rasa jengkel terlihat jelas pada sorot mata yang dinaungi bulu mata lentik palsu yang menempel sempurna.
"Keputusanmu untuk mengakhiri hubungan kalian adalah tepat, Ar." kata Danuar. Ia menyeka sudut-sudut bibirnya dengan lap makan yang tersedia setelah menghabiskan makanan penutupnya. "Dan kau juga pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Danuar menyeringai. "Your Mom's mission."
Ardan langsung memasang wajah masam saat Hanna justru menampilkan senyuman paling lebar dengan mata berbinar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
redvelvet
aku suka novel ini... bahasa dan kata2 nya rapi....
2021-10-08
0