Mona benar-benar sangat jengkel pada Dimas, bisa-bisanya lelaki itu pergi disaat Elif sedang bercerita tentang ayahnya yang baru saja terkena PHK. Ia bahkan tidak menunjukkan simpatik apa lagi memberikan support untuk Elif. Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, Elif membiarkannya pergi untuk menemui temannya.
"Kenapa kau selalu saja mengalah padanya?" Mona menuding punggung Dimas yang semakin menjauh dari tempat Elif, Mona dan Yura duduk pada salah satu gazebo taman kampus. "Jelas-jelas kau sedang menceritakan situasimu, bukannya memberikan dukungan malah pergi."
"Mon, aku bercerita bukan untuk dikasihani, oke? Aku hanya ingin bercerita saja." Elif mengikat rambut ikalnya. Kali ini ia mencepolnya. "Lagi pula motor temannya mogok dijalan, perlu bantuan."
"Oh jadi si Dimas itu jadi montir juga sekarang." Mona tetap jengkel.
"Memang menyebalkan sih." Yura menimpali. "Tapi biarlah, yang penting dia tidak macam-macam lagi."
"Aku rasa dia masih macam-macam! Hanya saja belum ketahuan lagi."
"Mona... sudah lah, Dimas sudah mengakui kesalahannya waktu itu, dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan ke dua." Elif selalu saja memandang positif orang lain.
"Ya, tapi sikapnya tidak menunjukkan orang menyesal!" Cebik Mona. "Ya sudah lah, kita lihat saja, kalau dia sampai mengkhianatimu lagi, jangan halangi aku untuk menghajarnya."
Elif menggelengkan kepala, tidak mengerti kenapa sahabatnya itu selalu saja ingin menghajar Dimas.
Setelah hampir dua jam mereka berbagi cerita di gazebo sambil mengisi perut dengan berbagai camilan yang dibeli dari kantin kampus, Elif, Yura dan Mona beranjak dari sana.
Mereka berjalan menuju lokasi yang berbeda kini. Mona menuju lokasi parkir motor, Yura menuju supirnya menunggu, sementara Elif menuju gerbang samping kampus tempat dimana halte bus berada. Setelah berpelukan seperti Teletubies, tiga wanita yang berbeda karakter itu pun berpisah.
Elif tidak sampai menunggu lama, bus yang akan ia tumpangi pun datang. Elif melangkah pada tempat duduk di belakang pojok. Merogoh earphone dari dalam saku tas ranselnya, menyambungkan kabel pada ponselnya kemudian memilih lagu kesukaannya.
Duduk dalam kendaraan yang melaju, mendengarkan musik yang ia sukai dan menikmati perjalanan memberikannya ketenangan tersendiri. Elif hanya akan memejamkan mata, menikmati tiupan angin yang masuk dari celah kaca jendela. Berharap dapat menghapus luka yang selalu ia sembunyikan di balik senyumannya.
***
"Kenapa tidak cari kerja yang full time saja?" tanya Yanuar begitu melihat Elif yang sudah kembali bersiap-siap setelah makan siang bersama di rumah makan mereka. Usaha rumah makan orang tua Elif bukan lah rumah makan besar, bangunan itu pun hanya satu lantai dan bertempat dua gang dari rumah tinggal mereka. Disana mereka baru bisa memperkejakan satu orang karyawan untuk membantu Zehra.
"Belum bisa Yah, waktunya belum bisa, kan aku masih kuliah." jawab Elif sambil mengikat tali sepatu.
"Hah, makanya Ayah bilang, kau tidak perlu kuliah. Cari jodoh saja yang mapan."
"Elif juga punya cit-"
"Coba saja waktu itu kau menurut Ayah jodohkan dengan anaknya Pak Idris, hidupmu pasti sudah mapan, kau pasti sudah bisa bantu orang tua, tidak menjadi beban orang tua lagi. Dan-"
"Mas!" Potong Zehra cepat. "Cukup!" Zehra menggeretakkan gigi, menahan kesal, tapi juga harus menahan emosi saat di rumah makan apa lagi dengan adanya beberapa pelanggan yang sedang makan di sana.
"Memang apa yang salah dari yang aku katakan. Perempuan itu tidak perlu pendidikan terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kodrat sebagai perempuan itu ya di rumah, mengurus anak, suami, rumah tangga. Urusan menafkahi ya menjadi tugas suami." Ucap Yanuar tanpa mengecilkan volume suaranya sampai membuat pelanggan yang ada melirik dan penasaran.
Zehra menghela napas kasar, mengabaikan apa yang dikatakan suaminya kemudian beralih pada Elif yang sudah selesai memakai kedua sepatu kanvasnya. "Sudahlah Nak, kau berangkat sekarang saja."
Elif mengangguk tanpa berkata. Ia membungkuk menyalimi punggung tangan ibunya, kemudian mendekat pada ayahnya dan tetap mencium punggung tangan ayahnya meskipun hatinya begitu sakit.
"Hati-hati, Nak." ucap Ibu sebelum Elif meninggalkan rumah makan dengan sepedanya.
***
Entah sudah berapa kali Elif hampir saja menangis setiap melihat pengunjung restoran tempatnya bekerja datang bersama orang-orang terkasih mereka. Anak-anak, orang tua, sepasang suami istri, dan juga sepasang kekasih. Saling berbagi cinta dan kasih sayang tanpa batas.
Seorang gadis kecil berlari menuju meja tempat berbagai macam es krim tersedia dan macam-macam toping yang menggiurkan setiap anak-anak, gadis itu berlari kecil kembali ke meja tempat keluarganya berada setelah mengisi mangkok dengan es krim beraneka rasa dan taburan topping di atasnya. Senyum lebar dan manis menghiasi wajahnya yang tak sabar ingin segera mencicipi es krim pilihannya. Sesaat kemudian gadis itu terjatuh, tak sengaja tersandung kaki kursi. Mangkok yang dibawanya pun terjatuh ke lantai, pecah.
Semua pengunjung pun terkejut dan berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Gadis itu menangis, takut dan malu menjadi satu dalam suara lirih tangisannya. Lalu seorang pria berlari mendekat, mendekap gadis kecil itu, mengusap punggungnya, mencium keningnya dengan sayang.
"Ayah... hiks, hiks..." ucap gadis itu.
"Ayah disini, Sayang. Tidak apa-apa." sahut lembut suara pria yang dipanggilnya ayah.
"Ek krimnya tumpah. Hiks... mangkoknya pecah... semua orang melihatku...hiks..."
"Ssshhh.... tidak apa-apa, Sayang. Nanti Ayah ambilkan lagi es krimnya ya."
Melihat bagaimana seorang ayah begitu menyayangi dan melindungi anak-anaknya membuat hati Elif terasa miris.
Salah satu pelayan mendekati mereka, mempersilahkan kembali ayah dan anak itu kembali duduk, dan tidak perlu khawatir mengenai mangkok yang pecah dan es krim yang kini mengotori lantai. Sang ayah pun langsung berdiri dan membawa gadis kecilnya dalam dekapan gendongannya.
Air mata pun seketika merembes melalui sudut-sudut mata Elif. Ia tak lagi dapat kuasa menahan air mata yang terus saja mendorong untuk tumpah membasahi pipinya. Ia segera berlari, menundukkan kepalanya menuju kamar mandi khusus karyawan. Kemudian masuk ke dalam salah satu kubikel dan menguncinya.
Tangisnya pun pecah, namun tanpa suara. Hatinya begitu sakit. Hatinya begitu rindu. Hatinya begitu perih. Kenapa ayah tidak pernah menyayanginya? Kenapa ayah tidak pernah memeluknya? Kenapa ayah selalu saja menepikannya?
Apakah memiliki dirinya sebagai anak adalah sebuah beban yang begitu menyulitkan ayahnya? Apakah benar dirinya adalah beban untuk ayahnya?
Setelah sepuluh menit berlalu dalam sunyi di dalam kamar mandi. Elif mengatur napasnya. Menenangkan dirinya. Menarik kembali dirinya untuk tetap waras, dan kembali menginjakkan kakinya di atas bumi dengan tegar.
Ia pergi ke wastafel, membasuh wajahnya agar lebih segar. Riasan pada wajahnya luntur sedikit saat Elif mengeringkan wajahnya dengan tisu wajah yang tersedia.
Setelah membasuh wajahnya, Elif keluar kamar mandi lalu masuk ke dalam ruang loker untuk memperbaiki riasan matanya dan sedikit menambahkan bedak pada wajahnya.
Tepat saat Elif membuka pintu lokernya untuk mengambil alat rias, ponselnya bergetar dalam mode silent. Dilihatnya nama Adit pada layar ponsel itu.
"Ada apa, Dit?"
"Kakaaak! Ayah Kak!" Suara Adit panik bercampur takut.
"Ayah kenapa Dit?" Perasaan takut pun ikut menyelimuti Elif.
"Ayah kena serangan jantung! Sekarang lagi dibawa ke rumah sakit. Aku takut Kak!"
"Kamu tenang ya, Kakak ke rumah sakit sekarang."
Setelah Adit memberitahukan rumah sakit mana yang menjadi tempat Ayahnya dibawa, Elif langsung meminta izin pada supervisor untuk diperbolehkan pulang.
***
Ardan menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya di balik meja, pria itu memejamkan matanya sejenak. Kemudian melirik sebuah pigura pada sudut meja kerjanya, potret dirinya bersama Marsha beberapa tahun lalu, saat Ardan sedang berada di Macau untuk urusan bisnis dan Marsha menyusulnya.
Ardan tersenyum sinis melihat potret Marsha yang tersenyum lebar, sementara dirinya hanya menampilkan ekspresi datar. Dia tidak pernah memiliki perasaan pada Marsha. Bahkan pigura itu pun Marsha yang meletakkannya disana dan Ardan terlalu sibuk untuk mengurusi tatanan meja kerjanya.
Ia menjulurkan tangannya untuk meraih pigura tersebut kemudian dengan tepat sasaran Ardan melemparkan pigura itu masuk ke dalam tempat sampah.
"Wow!" Ardan bertepuk tangan sendiri.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Sahut Ardan.
Teddy masuk membawa serta dokumen yang diminta Ardan sebelumnya. Ia menyerahkan lembaran-lembaran dokumen tersebut pada Ardan untuk dicek dan ditandatangani.
"Apa jadwalku setelah ini?" tanya Ardan seraya mengembalikan dokumen yang telah selesai ditandatanganinya.
"Makan malam bersama Tuan dan Nyonya besar jam 7."
Ardan menarik napas. Hendak mengusap wajahnya namun kemudian mengurungkan niatnya, jika dilakukan akan merusak tatanan rambutnya yang disisir rapih dan elegan.
"Apa Mama tahu aku putus dengan Marsha?"
"Kemungkinan Nyonya tahu."
"Huuf, Mama pasti akan bersemangat lagi menjodohkan ku dengan anak-anak dari teman-teman sosialitanya."
Teddy hanya mengangguk.
"Kau tahu kan, Mama tidak pernah menyukai Marsha."
Teddy mengangguk lagi.
Ardan bangkit berdiri, mengancingkan jasnya.
"Baiklah, aku akan pulang sendiri. Kau tidak perlu mengantar."
"Baik Pak."
"Oh ya, aroma terapi yang kubeli tadi, buang saja. Aromanya tidak sama seperti yang kucium tadi pagi."
"Baik Pak."
"Apa kau sudah ke dokter THT?"
"Maaf, Pak, belum sempat."
"Periksakan sekarang."
"Baik Pak."
Ardan pun akhirnya keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan Teddy yang mengendus-endus aroma minyak wanginya sendiri pada jas yang dikenakan.
Ardan melirik waktu pada jam tangannya saat berhenti di lampu merah, sepertinya waktunya masih cukup jika ia mampir lebih dulu ke kedai kopi, ia butuh kafein untuk menghadapi Mamanya nanti. Ia menginjak gas pelan untuk keluar dari jalurnya dan mengambil lajur kiri untuk berbelok pada persimpangan. Kedai kopi ada beberapa meter di depan.
Ponselnya berdering, nama Ibu Suri tertera pada layar ponselnya. Ia mengambil ear pod yang biasa dia simpan pada saku jasnya, tapi tidak ada, kemudian merogoh saku lainnya juga tidak ada. Mau tak mau ia mengambil ponselnya yang sedang di charge untuk menjawab panggilan dari Ibu Suri. Tepat saat itu konsentrasinya lengah, seseorang keluar dari dalam gang.
Ciiit!
Pedal rem pun diinjak dengan secara mendadak hingga menimbulkan bunyi decitan, namun tidak bisa menghindari kecelakaan yang terjadi. Ardan menabrak seseorang yang keluar dari sebuah gang mengendarai sepeda. Si pengendara sepeda pun ikut terjatuh.
Orang-orang sekitar yang melihat kejadian dengan sangat cepat menciptakan kerumunan.
Ardan keluar dari dalam mobil, mengabaikan ucapan-ucapan orang yang sok menggurui, sok menghakimi seolah Ardan melakukannya dengan sengaja, seolah Ardan akan meninggalkan lokasi. Ardan berjongkok, menyingkap rambut ikal yang menutupi sebagian wajah si pengendara sepeda.
Ia seorang gadis muda. Ardan mengecek denyut nadi pada pergelangan tangannya.
Sedikit lemah.
"Bawa ke rumah sakit Mas."
"Tanggung jawab Mas!"
"Tidak hati-hati sih Mas nya."
"Kasihan Mbak nya."
Ardan segera mengangkat tubuh gadis mungil berambut ikal itu di depan dadanya. Cekatan ia membuka pintu mobil jok belakang dan membaringkan hati-hati gadis itu disana. Seorang ibu paruh baya memberikan tas ransel kecil milik wanita itu.
"Tidak usah didengarkan omongan orang-orang Mas. Masnya sudah bertanggung jawab saja sudah sangat mulia." ucap ibu paruh baya itu seolah tahu pikiran kesal Ardan pada mereka yang mencemooh tidak jelas.
Ardan mengangguk, "Titip sepedanya ya Bu."
Si mengangguk. "Rumah saya di dalam gang itu, nomer 7."
"Baik terima kasih." Ardan segera pergi dari lokasi. Ia segera mengecek GPS untuk mencari rumah sakit terdekat dengan lokasinya saat ini. Dari mesin pencarian, lokasi rumah sakit tidak lagi terlalu jauh. Ia langsung menginjak pedal gas untuk segera sampai rumah sakit. Tiba-tiba hidungnya kembali mencium aroma manis yang segar yang dia rasakan pagi tadi. Namun dirinya tidak boleh kehilangan fokus menyetir. Ada waktu yang harus dikejarnya, ada seseorang yang harus dipertanggung jawabkannya.
Mobilnya berhenti di pelataran parkir. Ia segera membuka pintu jok belakang untuk mengangkat tubuh gadis itu untuk dibawa ke UGD, lagi-lagi aroma itu tercium sangat lekat. Dan tiba-tiba sepasang mata dari wajah tembam yang hendak ingin diangkatnya keluar dari dalam mobil, terbuka.
Matanya dan mata gadis itu bersitatap dalam jarak sangat dekat, dengan posisi Ardan tentu saja berada di atas wajah gadis itu.
"PENCULIK! TOLONG PENCULIK!" Gadis itu berteriak mungkin sekuat tenaganya dan meronta-ronta disana.
"Hei! Hei! Tenang dulu! Saya tidak mencu-"
"BOHONG! YA TUHAN TOLOOONG!"
Teriakan gadis itu akhirnya berhasil membawa dua orang keamanan dan petugas parkir mendekat. Tiga orang pria itu pun menarik paksa keluar tubuh Ardan, petugas keamanan memegangi tangan Ardan dengan kuat, tak perduli dengan penjelasan Ardan bahwa dirinya bukan penculik, petugas keamanan tetap memeganginya.
"Mohon tenang! Biarkan Nona ini keluar dan menjelaskan." kata si salah satu petugas.
Petugas parkir membantu gadis itu keluar dari sana, wajahnya panik, rambutnya megar berantakan seperti singa liar yang tidak terurus.
"Ini dimana?" tanya gadis itu dengan suara gemetar.
Petugas parkir menjawab pertanyaan gadis berambut megar itu. Seketika mata bulatnya melebar. "Dimana UGD?"
"Di-disana Mbak, eh tapi Mba tidak-" Belum sempat bertanya tentang kejadian yang membuat gadis itu berteriak minta tolong, ke empat pria itu pun dibuat melongo saat gadis itu langsung bergegas lari menuju UGD.
Ardan mendengus kasar. Gadis itu bahkan tidak melihatnya saat keluar dari dalam mobil, boro-boro berterima kasih, ia malah dituduh sebagai penculik!
"Lepaskan!" Ardan menepiskan tangannya dari cengkraman petugas keamanan dengan mudah. "Saya tidak menculiknya." Omel Ardan. "Mana ada penculik yang membawa korbannya yang pingsan ke rumah sakit!"
"Lalu kenapa Mbak tadi berteriak minta tolong?" tanya si petugas parkir.
"Kau tanya sendiri saja pada gadis aneh itu!" maki Ardan.
"Maaf Pak, tapi sebagai petugas keamanan, kami berhak bertanya karena ini sudah masuk dalam lingkungan rumah sakit." kata salah satu petugas.
Ardan mendengus kesal. Ia pun akhirnya dibawa ke pos keamanan untuk menceritakan kronologis kejadiannya dengan lengkap dan cepat. Bagi Ardan Mahesa Demir itu adalah sangat memalukan. Sangat menjatuhkan harga dirinya.
"Tolong berikan saja tasnya ini. Dan tolong minta dia untuk memeriksakan otaknya, sepertinya bergeser saat terjatuh." kata Ardan kesal seraya memberikan tas ransel kecil milik gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
dheey
astagahhh
2023-01-31
0