“Saya ada rencana baik untuk meminangmu.”
*****
Beberapa waktu yang lalu.
Brakk
Terdengar suara berdebam cukup keras, Danar melihat Syarah terjatuh yang dapat Danar perkirakan terasa cukup sakit. Danar ingin beranjak membantunya. Namun hatinya seolah menahannya karena harga diri Danar yang terlalu tinggi hanya untuk sekedar membantu Syarah berdiri.
Samar Danar lihat setetes air mata terjatuh dari ujung mata Syarah. Kemudian Syarah berjalan sedikit terseok menuju lift. Selanjutnya Danar tak ingin melihatnya lagi, Danar tak ingin seseorang dihadapannya ini menangkap gelagat Danar yang ingin peduli pada Syarah.
“Apa begitu caraku mengajarkanmu bersikap, Danar?” ucap pak Pandhu dengan nada rendah namun mampu menggores hati Danar.
“Itu bukan urusanku," jawab Danar singkat.
“Ego dan keras kepalamu adalah perpaduan yang mampu menghancurkanmu!” ucap pak Pandhu memperingati.
“Sudahlah, apa maksud Kakek memintaku kemari dan untuk apa ada wanita itu?” tanya Danar mengeluarkan isi dalam kepalanya sedari tadi.
“Kau pasti ingat apa yang kukatakan padamu kemarin,” kata pak Pandhu.
Pak Pandhu menjeda kalimatnya lalu menarik nafas seakan yakin atas apa yang akan diucapkannya.
“Menikahlah dengan Syarah,” kata pak Pandhu.
“Apa? Apa Kakek benar-benar akan memonopoli kehidupanku? Apa yang semua kulakukan selama ini masih kurang untuk membalas budi padamu? Hingga kau ingin hidupku hancur hah?” teriak Danar meluapkan emosi.
Danar meluapkan emosi dan amarahnya pada kakeknya.
"Bicara apa kau ini Danar? Kau tega menuduh kakek berniat buruk padamu? Sadarlah Danar!" bentak pak Pandhu.
Seumur hidup Danar tinggal bersama kakeknya, tidak pernah sekali pun kakeknya itu membentak bahkan berkata nada tinggi saja tidak pernah. Kemarahannya hanya sebatas berkata dengan nada rendah dan dengan aura kejam yang pekat pada kakeknyalah yang menaklukkannya. Sekarang dia tahu bahwa dia bukanlah apa-apa untuk kakeknya.
Dia hanya dijadikan alat untuk kakeknya, seluruh kehidupannya diatur oleh kakeknya untuk kepuasannya saja. Danar segera pergi meninggalkan pak Pandhu sendiri. Dia tak peduli lagi dengan semuanya. Hal yang dia butuhkan adalah peluapan emosinya.
*****
“Saya ada rencana baik untuk meminangmu.”
“Maaf, maksudnya, Bapak mau menikahi saya?” tanya Syarah terkejut dengan mata seakan hampir keluar.
“Kau ada-ada saja. Aku sudah tua, sudah tidak ingin memikirkan seperti itu,” jawab pak Pandhu.
Pak Pandhu tertawa hingga mengelus perutnya. Rasanya Syarah malu setengah mati membuatnya menundukkan kepalanya dalam.
“Begini, jadi yang akan menikahimu adalah cucuku, Danar. Ketika aku melihatmu, aku yakin bahwa kaulah yang paling pantas menjadi istrinya,” jelas pak Pandhu.
Syarah tak mampu menahan keterkejutannya hanya mampu melongo tak bersuara. 'Pak Danar mau menikahiku? Yang benar saja.' batin Syarah.
“Bapak hanya bergurau saja bukan?” tanya Syarah menepis perkataan pak Pandhu.
“Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku yakin Danar akan menjadi manusia yang baik bersamamu. Ia memang sudah 35 tahun, tapi egonya yang tinggi dan keras kepalanya membuatnya mudah hancur. Walaupun kau masih muda tapi aku yakin, kau mampu mendampingi Danar menuju jalan yang benar sebagai manusia. Dia sudah terlalu sengsara dalam hidupnya. Aku ingin saat aku tiada nanti, aku bisa melihatnya bahagia. Hanya itu saja, dan di tanganmu aku bisa menyerahkan masa depan Danar,” jelas pak Pandhu pelan penuh keyakinan dan permohonan.
Syarah diam meresapi penjelasannya, dia bisa merasakan kasih sayang yang begitu dalam saat berkata dan ketika menyebut Danar. Mungkin yang dikatakan oleh pak Pandhu benar adanya. Danar adalah seseorang yang memiliki ego tinggi dan keras kepala.
“Tapi mengapa saya? Saya hanya orang baru, mungkin anda juga belum tahu tentang saya lebih dalam,” ucap Syarah.
“Aku bukan orang yang sembarangan dalam mengambil keputusan. Banyak hal yang aku pertimbangkan hingga saat ini aku mengatakannya padamu,” jelas pak Pandhu pada Syarah.
Syarah hanya diam sembari menerka-nerka seakan mencari jawaban atas semua pertanyaan yang melayang di kepalanya.
“Aku melihat kau begitu sabar dan telaten pada cucuku, dia dengan sifatnya yang hanya kau yang mampu meredamnya. Semua yang kau lakukan dengannya aku mengetahui. Perhatian, kasih sayang dan kelembutan yang kau berikan sebenarnya sudah meruntuhkan tembok kerasnya hati Danar. Tapi ia kalah dengan egonya yang setinggi bukit. Aku tak bisa mengawasi selamanya, dan kau adalah pilihanku untuk cucuku, Danar,” jelas pak Pandhu.
“Tapi saya rasa, saya kurang mampu untuk menjalankan apa yang anda minta pada saya,” ucap Syarah menolak.
“Tetapi saya tidak menerima penolakan, Syarah. Saya yakin kamu yang terbaik,” ucap pak Pandhu.
Syarah hanya diam tidak ingin menjawab, karena memang sangat percuma untuk membantah perkataan pak Pandhu hingga akhirnya dia pun pamit untuk pulang. Saat akan pulang pak Pandhu kembali memaksa Syarah untuk diantarkannya pulang, karena pak Pandhu tahu bahwa Syarah tidak memiliki kendaraan. Selain itu, tujuan pak Pandhu adalah untuk lebih dekat dan mengenal lebih dalam karakter Syarah.
Dalam perjalanan, pak Pandhu menannyakan berbagai hal pada Syarah, baik tentang pribadinya juga keluarga Syarah.
*****
“Terima kasih, Pak Pandhu, atas makan malamnya dan juga sudah repot-repot mengantarkan saya ke indekos,” ucap Syarah.
“Sama-sama. Saya hanya ingin kamu memikirkannya kembali apa yang saya sampaikan tadi,” kata pak Pandhu.
“Baik, Pak. Selamat malam,” ucap Syarah.
Syarah masih melihat mobil itu mulai melaju meninggalkan jalanan depan indekosnya sampai menghilang dari pandangan. Sampai suara motor mendekat dan berhenti di depannya.
“Sya, kamu baru pulang? Kenapa malah berdiam diri disini macam patung selamat datang?” tanya Rizal.
Motor yang berhenti di depan Syarah adalah motor Rizal, dia datang dengan Risa di belakangnya.
“Mas Rizal ada-ada saja. Ngomong-ngomong kalian jadi pergi ke mall?” tanya Syarah.
“Jadi dong, nih lihat aku beli banyak. Terus kita makan malam sekalian deh,” jelas Risa memamerkan kebahagiannya.
Sepertinya kebahagiaan ini hanya milik Risa, karena ekspresi Rizal terlihat biasa saja.
“Sya, kamu sudah makan malam belum?” tanya Rizal.
“Sudah kok, Mas. Oh iya kenapa kalian pulang cepat sekali ini baru jam 9 malam?” tanya Syarah.
“Tadi mau nonton, tapi Mas Rizal tidak mau, katanya tidak baik pulang larut untuk perempuan. Padahal, kan aku bersamanya,” jawab Risa mengungkapkan kekesalannya.
“Tetapi benar yang dibilang sama mas Rizal, tidak baik untuk pulang malam. Emangnya Mbak Risa mau masuk angin? Waktu itu setelah keluar malam sekali pas pulang langsung masuk angin,” ucap Syarah sambil terkikik mengingat ia pernah diminta untuk mengkerik Risa yang masuk angin.
“Ssst itu rahasia jangan diumbar!” ucap Risa memperingati.
Syarah hanya tertawa saja.
“Baiklah karena sudah malam aku pamit pulang dulu,” pamit Rizal.
“Hati-hati ya, Mas, terima kasih sudah mau menemaniku belanja,” ucap Risa.
Kemudian Rizal berlalu setelah mengusap kepala Syarah seperti biasa.
“Sya, aku mau bicara sama kamu,” ajak Risa.
“Yaampun kalau mau bicara, ya langsung saja seperti mau bicara dengan orang baru kenal saja,” ucap Syarah.
“Kita bicara di kamarku saja,” ajak Risa.
Mereka menuju ke kamar Risa yang letaknya persis di sebelah kamar Syarah.
“Sya, aku mau jujur sama kamu,” ucap Risa.
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak di komen dan berikan like sebagai bentuk dukungan pada karya pertama saya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments