Case 1: Weirdo

Taki sudah mengambil gitarnya. Awalnya sih, enteng-enteng saja. Tapi, saat memasuki kediaman Kitaoji, gitarnya tiba-tiba menjadi berat. Taki harus menyiasati hal ini.

"Baru pulang?", tanya Isao yang tengah berdiri di samping tempat sepatu sambil melipatkan kedua tangannya.

"I..iya, Isao-nii. Aku baru habis mengambil gitarku."

Isao mengangguk. "Boleh aku pinjam dan melihat gitarmu?"

Taki mengangguk dan menyerahkan gitarnya yang berat.

"Berat sekali. Apa bahannya bisa sampai seberat ini?"

Taki ingin menjawabnya, tapi takut hal yang dikatakan Taki adalah hal kebohongan.

"Aku tidak tahu. Soalnya itu pemberian dari pamanku. Walaupun dia sudah tak hidup lagi. Tapi, ini pemberian yang sangat berarti." jelas Taki.

Isao tersenyum dan memberikan gitarnya pada Taki.

"Suatu saat, aku ingin melihatmu bermain gitar. Aku ke kamarku dulu", pamit Isao meninggalkan Taki.

Ya ampun...dia kakak idaman. Walaupun yang lain menyuruhnya, dia tidak ikut-ikutan seperti yang lain. Taki tanpa pikir panjang ke kamarnya.

...***...

Malam pun telah tiba. Sekeluarga makan malam dengan nikmat. Kecuali Taki yang hanya makan roti setengah.

Kapan ya, bisa makan makanan yang enak, pikir Taki.

Taki tiba-tiba memiliki perasaan yang tak enak. Tapi tak tahu apa itu.

"Oy..kau jangan melamun. Kau harus tetap melayani kami", ucap Seiji membuyarkan pikiran Taki tentang perasaan buruknya.

Taki mengangguk dan melanjutkan makanannya.

Taki merasakannya lagi dan ini semakin kuat. Mengendap-endap Taki keluar dari ruang makan tetsebut dan segera mencari aura tersebut.

Sepi dan sunyi, walaupun penerangannya lumayan banyak di sekitar mansionnya. Dia melangkah dengan santai. Semakin ke atas, semakin kuat pula perasaan itu. Yang ternyata, berasal dari kamarnya.

Taki berdiri tepat di pintu kamarnya. Perlahan, dia bisa mendengar suara petikan gitar dan samar-samar terdengar suara laki-laki. Pintu kenop perlahan Taki bukakan.

BRAKK!!!

Taki menendang pintunya. Tidak ada apa-apa. Dan juga, perasaan itu juga tiba-tiba hilang. Taki melihat gitarnya juga masih di tempatnya.

Aneh, pikir Taki.

Ya, mau tak mau mesti kembali ke ruang makan. Ke tempat kandang singa.

"Darimana saja kau?", tanya Takahiro setelah Taki tiba di ruang makan.

"A..aku baru saja dari toilet", jawab Taki cuek. Tanpa sengaja, Taki melihat banyak hamsa di sekitar ruang makan.

Kenapa ada hamsa di sini? Bukankah benda itu sudah tak pernah digunakan, pikir Taki.

Hamsa adalah benda untuk pengusir hantu yang berbentuk tangan dan ditengahnya terdapat mata. Biasanya untuk ditaruh di dinding dan berasal dari Mesir Kuno.

Taki kembali mencuci piring bekas saudara-saudaranya.

"Taki-sama, kau sangat tabah ya menghadapi kakak-kakakmu itu", ucap salah satu maid menghampiri Taki.

"Hee? Ahh...aku sudah biasa menghadapi hal-hal seperti ini sebelum pindah ke rumah ini. Tapi, aku ingin melupakan itu."

Maid itu mengangguk mengerti.

"Namaku, Tagawa Ryoko. Anda bisa memanggilku Ryoko."

"Lebih baik panggil Ryoko-nee. Rasanya tak sopan memanggil orang yang lebih tua dariku memanggil langsung namanya", ucap Taki tanpa mengalihkan namanya.

"Tapi, kata Tu-"

Taki sudah menyelesaikan pekerjaannya. "Tidak boleh. Aku tidak mau menjadi orang yang kurang ajar. Kata okaasan, menghormati dan menghargai orang itu lebih baik, daripada orang yang tak tau sopan santun terhadap orang. Apalagi dengan orang tua", ucap Taki, habis itu tersenyum.

Ryoko merasa terharu. Karena selama dia bekerja di rumah ini, tak ada yang memanggilnya dengan sopan, walaupun hanya pake -san saja. Kecuali Isao, tentu saja, jawab Taki.

Seseorang meneriaki Ryoko.

"Aku harus kembali. Nenek tua itu selalu saja."

"Nenek tua?"

"Kepala maid di sini. Arigatou ne, karena kita bisa berbincang-bincang."

"Malah harus aku yang berterima kasih, Ryoko-nee. Karena aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat, walaupun hanya menemaniku mengobrol saja sih.", ucap Taki.

Ryoko kembali ke tempatnya berjaga. Taki melepaskan celemeknya, dan menuju ke kamarnya.

Dalam perjalanan menuju kamar, Taki merasakan hal yang sama lagi. Kali ini bukan kamarnya, tapi berada di sekitar Taki.

Kaki Taki tak bisa bergerak, seolah-olah ada yang menahannya. Merasa ada yang mendekatinya, Taki berusaha melawan pergerakannya yang terbatas itu. Sampai...

"Apa yang kau lakukan di sini?", sahut Daisuke.

Hawa-hawa tersebut tiba-tiba menghilang lagi.

"A..anoo. Etto...itu...ya...karena.."

"Sudahlah. Tapi, malam ini tidur di ruang tamu. Jaga-jaga kalau ada sesuatu." suruh Daisuke dan memasuki kamarnya.

Taki mengerutkan dahinya. Taki tak peduli dan segera ke dalam. Tidur.

Sudah pukul 00.00, tapi Taki masih membuka matanya.

Tidak bisa tidur, Taki berpikir kalau dia bisa tidur lebih baik kalau dia tidur di ruang tamu. Ia melangkah keluar dan tak lupa membawa gitarnya. Berjaga-jaga kalau ada hal-hal yang seperti tadi dan takutnya bosan.

Dengan santainya, Taki melangkah turun. Malah berpikir tidur di ruang keluarga.

Mungkin, ruang tamunya kejauhan.

Ingin rasanya menonton tv, tapi takut mengganggu yang lain.

Taki membuka tasnya dan mengeluarkan gitarnya.

Petikan mulai terdengar. Lagu yang sering pamannya nyanyikan. Mengingat masa-masanya.

Setelah lagu selesai, suara tepuk tangan dari seseorang mengagetkan Taki. Tentu saja Taki terkejut karena jam segini belum ada yang tidur.

"Ka...kau belum tidur?", tanya Taki.

Fumio menghampiri Taki dan duduk di sebelahnya, agak jauh.

"Aku tak menyangka kau jago memainkan gitar. Ta..tapi bukan berarti aku memujimu. Sedang apa kau di sini?"

"A..aku disuruh Daisuke-nii untuk tidak tidur di kamar. Aku tak tahu alasannya", jelas Taki. Fumio mengangguk-angguk mengerti.

Mereka terlarut dengan suasananya sampai-sampai perasaan yang kuat itu ada lagi.

Taki tentu saja khawatir. Takutnya Fumio juga merasakan hal yang sama.

"Anoo...kupikir sebaiknya kalau kau kembali ke kamarmu."

"Mengapa kau menyuruhku? Aku bukan pesuruhmu." balas Fumio galak.

Perasaan itu makin kuat. Dan rasanya, dada Taki merasakan sakit yang luar biasa. Tak tahu lagi, semuanya gelap.

...***...

         Sinar mentari menembus kediaman Kitaoji. Taki masih tertidur di kamarnya. Isao menemani Taki di sampingnya. Khawatir dengan keadaan Taki.

Semua saudara-saudaranya juga ikutan masuk. Dan tidak ada yang masuk kerja maupun sekolah karena keadaan ini.

"Apakah ini perbuatan Phantom?" tanya Seiji.

Isao masih menggeleng, dia tak bisa menanggapinya.

"Harusnya, aku harus memberitahunya lebih awal. Tentangku, tentang kita semua. Tapi ya...karena kita sepakat dengan mengerjainya dulu", sedih Isao.

Semua yang ada disitu menjadi merasa bersalah.

Taki perlahan membuka matanya.

"Taki-chan? Apa kau tidak apa-apa?", tanya Isao sambil mengecek keadaan Taki yang kebetulan pekerjaannya adalah dokter.

Taki mengangguk dan heran dengan saudara-saudaranya yang khawatir dengannya.

"Dan kalian, tumben sekali kalian mengkhawatirkanku."

Yutaka mendekati dan duduk di sebelah sisi ranjang Taki.

"Karena...ya..kami kaget karena mendengar cerita dari Fumio tadi, kau memegang dadamu sambil kesakitan. Dan tak lama kau kesakitan."

Ohhh...begitu toh, batin Taki. Kemudian Taki merasakan hal yang aneh lagi.

Apakah aku harus jujur kali ini? Mungkin aku harus jujur dan membenarkan suatu hal.

"Bolehkah aku bertanya?"

"Boleh, selama itu normal. Bagi kami", jawab Yoichi.

Semua seksama mendengarkan Taki.

"Mengapa di ruang makan, terdapat banyak hamsa? Dan juga, aku mendengar dari 'temanku' kalau kalian juga exorcist?"

Pertanyaan terakhir Taki tentu saja membuat yang lain tak percaya. Isao tersenyum lembut dan berusaha tenang menjelaskannya.

"Kuharap kau menerima yang menurut kami, ini adalah pemberian anugrah dari Tuhan. Otousan juga memiliki kelebihan yang sama dengan kami. Tentu kemampuan kami juga berbeda-beda. Walaupun begitu, kami tak akan membuka rahasia terbesar kami juga."

Taki mengangguk paham. Lalu, sosok pria keluar dari gitarnya. Dan itu...

"Paman?"

Paman itu tersenyum lembut.

"Taki, sudah lama tidak bertemu."

Taki turun dari tempat tidurnya dan menghampiri pamannya yang masih berdiri di depannya.

"Aku rindu sekali", lirih Taki. Berjanji untuk tidak menangis, karena hidup itu dihitung dari senyuman, bukan dari kita menangis.

Paman masih tersenyum, dan juga menghilang.

Taki tentu saja masih berdiri.

"Apakah ini penyebabnya, ya. Tanda-tanda paman akan datang."

Kazuhiro menghampiri kakaknya itu sambil menggandeng lengannya.

"Oneesan, perlihatkan aku senyuman manismu. Kalau tidak, kau tidak cantik, lhoo...", goda Kazuhiro.

"Ehh? Ta..tapi, bukannya mau disuruh-suruh seperti kemarin ya?"

"Kami sengaja mengerjaimu, baka. Agar kau tak menjadi orang yang manja jika kau tinggal bersama kami. Kau tau", jelas Satoshi.

"Aku tidak seperti yang kalian pikirkan kok. Enak saja mengataiku. Aku sudah....ya lupakan yang lalu. Ayo ke ruang makan, yang pastinya aku akan makan roti setengah itu lagi", ajak Taki semangat.

Benar-benar keanehan yang berdampak baik bagi Taki.

Keceriaan di kediaman Kitaoji menjadi membuat semangat yang lainnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!