Case 4: Love is...

Taki menuruni tangganya dengan lesu. Mumpung hari ini libur nasional dan memasuki musim gugur.

Taki melangkahkan kakinya ke ruang makan.

"Ohayou...", sapa Taki dan berjalan mengambil roti setengah di kulkas. Tapi...

"Ini ada cream soup di mejamu. Makanlah.", suruh Tadashi.

"Aku lebih baik makan rot–"

"Makanlah. Ini perintahku", tambah Tadashi. Mau tak mau Taki menurutinya dan menarik kursinya agar ia bisa duduk. Mereka makan dengan khidmat.

Setelah selesai, Taki segera membereskan piring-piring mereka.

"Boleh kubantu?", tawar Takahiro.

Taki yang heran dengan sikap Takahiro, hanya mengangguk kaku.

Taki yang hanya mencuci piringnya, sementara Takahiro membantu mengelap piring yang habis dicuci.

"Tu..tumben sekali kau mau membantuku. Biasanya kan...cuek saja."

"Tak apa. Aku sedang tak ada kerjaan. Memangnya tak boleh?"

Taki mengangguk-angguk mengerti dan melanjutkan aktivitasnya.

"Ngomong-ngomong, tanganmu kenapa sampai memar begitu?"

Segera Taki melihat tangannya. Itu bekas dia menghajar Namida waktu itu.

"Ohh...ini memar saat aku menghajar pria itu. Tak kusangka dia itu.", ucap Taki terus terang. Takahiro meninggalkan pekerjaanya dan melesat pergi meninggalkan Taki yang kebingungan. Taki mengangkat bahu dan menyelesaikan pekerjaanya.

"Kemari. Kuobati.", perintah Takahiro. Taki hanya menurutinya dan duduk di sebelahnya. Takahiro perlahan-lahan membalut luka memar Taki. Taki tersenyum melihat Takahiro yang ternyata peka dengan sekitar walaupun tidak kelihatan.

"Sudah selesai."

"Ah, arigatou Takahiro-nii. Ternyata kau baik juga ya", balas Taki.

"Kau menganggapku bagaimana sih? Memangnya aku tak baik padamu begitu?"

BETUL SEKALI, batin Taki membenarkan.

"Tapi", ucap Taki sambil memegang balutan lukanya, "sebenarnya kau peka dengan sekitar, bukan? Karena wajahmu yang agak sangar, orang-orang jadi menganggapmu tidak baik bahkan terlihat sangar begitu. Seharusnya, kau lebih tersenyum. Agar tak salah paham denganmu."

Takahiro kemudian tersenyum, senyuman tulus yang Taki lihat.

Karena itu, Taki jadi tersenyum olehnya. Entah mengapa, Takahiro memerah melihat Taki yang tersenyum, lebih manis dari permen yang ada.

"Ka..kau jangan seperti itu dong."

Taki kemudian tertawa. "Wajahmu kenapa? Kena sakit panas ya?? Lucu sekali kau tahu? Sudahlah, aku harus mengambil koran pagi dulu. Hahahahaha....."

         Sambil ke depan Taki terus saja tertawa karena mengingat salah satu scene komedi di salah satu anime.

"Kenapa kau? Seperti orang gila saja?", tanya Seiji yang tengah menyirami tanaman.

Seketika wajah Taki menjadi datar dan...cool?

"Nandemonai. Hanya ada kejadian lucu tadi. Jadi diamlah."

Taki mengambil korannya dan segera meninggalkan Seiji yang masih heran dengan tangan Taki yang diperban. Tapi...

GUBRAAK!!

Taki jatuh dengan tidak elitnya. Dengan posisi telungkup.

"BUAHAHAHAHA....kau lucu sekali. Perlu kudorong lagi?", tawar Seiji yang masih tertawa.

Taki menggembungkan pipinya kesal dan segera bangun.

"Oy.."

Taki mendapat sebuah plester dari lemparan Seiji. "Buatmu, untuk lukamu. Dan juga...luka yang di tanganmu itu...semoga lekas sembuh" ucap Seiji menoleh ke arah lain dengan wajah memerahnya sambil menggaruk kepalanya tak gatal.

Walaupun orang ini pada awal bertemu sangat mengesalkan, tapi sebenarnya dia peduli kan? Sebagai balasan terima kasih, Taki hanya membalasnya dengan senyumannya dan segera meninggalkan Seiji yang masih dengan wajahnya yang sedikit memerah karena melihat senyuman Taki tadi.

         Hari menjelang siang, Tadao tengah membuat makan siang. Taki yang tengah haus itu, mencari minuman yang bisa menyegarkannya di kulkas.

"Apa yang kau lakukan?"

"Ehh..Taki-chan", berbeda dengan kembarannya Takahiro, Tadao sangat periang, "aku sedang membuat makan siang. Bagaimana kalau kau mencobanya?"

Taki melihat sajian makanannya sudah tak yakin, karena makanannya gosong. Taki mencicipi suapan pertama dan rasanya kacau balau. Dan segera mencari minum di dekatnya.

"Ta..Tadao-nii, bolehkah aku jujur kalau masakanmu rasanya kacau balau, dan gosong juga?"

Tadao hanya merasa pundung di pojokan.

"Ehh..bukan berarti aku mengejeknya, aku yakin kau bisa memasaknya lebih baik lagi."

Taki menjadi merasa bersalah. Maka, ia memasak untuk Tadao sebagai permintaan maaf.

"Tadao-nii, aku memasakannya untukmu sebagai permintaan maafku tadi.", ucap Taki sambil menaruh sajian spagettinya ke meja. Tadao melihat makanan Taki seperti kilauan emas yang bersinar. Maka ia mencobanya dan...oishi.

"Oishiii...tak kusangka makanannya seenak restoran itali bintang lima. Taki memang hebat..", puji Tadao ceria sambil mengacak-acak rambut Taki.

"Mo..mou. Sudah kan? Kalau begitu, aku ke kamar dulu."

Belum Taki sempat bangun, Tadao menahan pergelangan tangan Taki. Mereka saling bertatap-tatapan sampai wajah Taki memerah.

"A...ada apa?"

"Temani aku sambil makan..ya?"

"Tapi, aku ad–"

"Kumohon", nada bicara Tadao menjadi serius dan tatapan matanya juga sedang tak bermain-main. Taki menurut dan kembali duduk.

"Nee, Taki-chan. Sehabis ini, ajari aku memasak ya..."

         Waktunya makan siang. Para maid dan butler tengah menyajikan makanan dengan makanan pembuka steak, makanan utama adalah sup udang jagung, dan dessertnya adalah puding. Apalah daya Taki kembali memakan roti setengahnya. Karena bosan, Taki menghampiri Ryoko.

"Ryoko-nee, bisa pinjam dapur kalian?", pinta Taki.

"Untuk apa? Di sini memang dapur kan?", tanya Ryoko bingung.

Taki membisikkan sesuatu, karena ia ingin memasak makanannya sendiri dan juga bosan makanannya adalah roti setengah terus. Dan siapa tahu, masakan Taki bisa menjadi ide dalam menu makanan Kitaoji.

Taki langsung menuju dapur para maid dan terlihat beberapa maid dan butler tengah beristirahat. Dan mereka terkejut dengan kedatangan Taki karena ke dapur maid.

"Taki-sama, apa yang kau lakukan di sini?", tanya kepala maid sambil membungkuk hormat, diikuti oleh staff yang lainnya.

"Kalian tidak usah seformal itu. Kalian sedang hanya bersamaku, tidak ada mereka. Aku hanya meminjam dapur kalian untuk membuat makananku. Ya?", pinta Taki.

Para maid dengan senang hati memberi ijin Taki untuk menggunakan dapurnya. Tak disangka, Taki sangat jago dalam memasak, bahkan mengalahkan kepala chef yang ada di sana.

"Ya..aku membuatnya terlalu banyak. Bagaimana kalau kita makan bersama-sama?"

"Tak bisa, rasanya tak sopan, Taki-sama.", jawab salah satu butler.

"Ah, tak apa. Ini sebagai balasan terima kasihku karena meminjam dapur ini. Makanlah. Aku ingin tambah akrab dengan kalian. Ittadakimasu..."

Orang-orang di sana hanya bisa berpasrah dan mereka makan bersama. Makin lama mereka berbincang, ada yang membocorkannya bahwa salah satu maid dan butlernya akan menikah dalam waktu dekat ini.

"Wahhh...omedetou", girang Taki, "kudoakan kebahagiaan kalian."

Tentu sang calon mempelai hanya tersipu malu. Jadi teringat pernikahan okaasan dengan Lorenzo-san. Omong-omong soal mereka, mereka belum balik-balik dari liburan bulan madunya. Kemarin Kaori telepon, Lorenzo memenangkan liburan dengan mencari harta karun di Mesir sana. Aduuhhh...tak ada niat untuk pulang.

         Setelah Taki berhura-hura, ia melihat Fumio yang tengah repot membawa sesuatu.

"Biar aku membantumu. Mau dibawa kemana?"

"Tak usah. Kau mengganggu. Pergi sana", ujar galak Fumio. Taki malah menghampiri dan mengangkat banyak barang dari tangan Fumio.

"Jangan begitu. Anggap saja ini pelayanan dari semua suruhan-suruhanmu. Walaupun aku...akan melakukannya tanpa disuruh. Dan aku butuh sabar lhoo...menghadapi orang tsundere sepertimu", ucap Taki lalu tersenyum, meninggalkan Fumio yang masih mematung.

Ada apa denganku sih hari ini? Rasanya jantungku lebih berisik dari biasanya, bu..bukan berarti apa ya, batin Fumio yang berdebat dengan dirinya sendiri.

         Setelah membawa banyak barang dari Fumio yang ternyata itu bawaan Isao, Taki tengah beristirahat di ruang keluarga.

"Oy...oneesan. Kau mendengarku tidak?"

Taki hanya mendongak ke arah Kenji. Mengganggu tidurku saja, pikir Taki.

"Nande?? Bisakah kau sopan sedikit pada kakakmu ini? Kenapa memangnya?"

Kenji perlahan mendekati kakaknya yang tengah duduk santai di sofa dan...Kenji berada di atas Taki.

(WAAA!!!! OMGGG!!! AUTHOR GAK KUAT SUMPAH)

Tentu sang korban (?) kaget dengan sikap adiknya yang terlalu obsesif baginya.

Hembusan napas Kenji beradu dengan dahinya.

"Kau tahu", bisik Kenji di telinga kiri Taki, "aku tak pernah menganggapmu kakak sebelumnya."

"Apa? Jadi kau memben–"

"Aku menyukaimu, Taki-chan.."

Beku seketika. Lidah Taki menjadi kelu mendengarnya karena ucapan Kenji barusan. Sumpah, jantungnya berdetak lebih cepat dan wajahnya perlahan memerah semerah ceri.

"Tapi bohong. Weee....", lanjut Kenji sambil menjulurkan lidahnya, meledek Taki.

Taki yang hanya menatap Kenji, kemudian menyikut perut Kenji dengan tangannya.

"Kau ingin aku hajar lagi, huh?"

ujar Taki sambil mengeluarkan aura gelapnya. Kenji hanya tersenyum saja.

"Gomen, gomen. Aku hanya latihan akting buat filmku yang akan datang."

Kenji adalah seorang superstar. Selain menggeluti dunia akting, tarik suarapun dia masuk, seorang presenter, pokoknya multitalent. Makanya kaum hawa sangat mengidolakannya.

Taki hanya mengangguk-angguk mengerti. "Sou ka. Kalau begitu", Taki bangun dari sofanya dan menepuk pundak Kenji,

"Kutunggu aksimu. Aku tak sabar melihat aktingmu. Jangan jelek lho ya...", ucap Taki senyum memberi semangat. Wajah Kenji perlahan menjadi merah. Padahal, perlakuan Kenji tadi ke Taki adalah betulan, bukan rekayasa.

"Wajahmu kenapa memerah gitu? Kenji?"

"Urusai yo. Kau mau ikut campur urusan orang saja.", kesal Kenji lalu meninggalkan Masami di tempat yang kebingungan dengan tingkah laku adiknya tersebut.

         Hari semakin sore, Taki memutuskan untuk menghabiskan waktu sambil menunggu makan malam dengan menonton anime yang belum selesai maupun yang belum ditonton. Kalau dipikir-pikir, hari ini banyak peristiwa yang tak terduga yang dialami Taki. Yang dulunya ia muram, malah hari ini dia banyak tersenyum. Yang dulunya selalu kesal dengan keadaan ini semua, sekarang menerima apa adanya.

Apalagi dengan saudara-saudaranya dulu. Yang dulu selalu ada teriakan suruhan, yang dulu menjajah dirinya. Sekarang? Perlahan-lahan mereka menerima Taki dengan tulus.

"Sudah banyak terjadi selama aku di sini ya.."

"Apanya?"

Taki terbangun dari lamunannya, "Ara...Kenta-san. Sedang apa kau di sini?"

Kenta hanya tersenyum.

"Nandemonai, hanya ingin melihat keadaanmu saja. Oh iya, wajahmu mengapa memerah, Taki-chan?"

Bahkan Taki tak menyadari wajahnya memerah sekarang. Tangannya memegang wajahnya, memang sepertinya wajah Taki memerah.

"L..lho? Kok bisa ya? Padahal aku tak demam lho. Aree??"

"Kau jatuh cintakah?"

"Mana mungkin. Kepada siapa? Aku tak punya orang terdekat. Hahahaha...", tawa canggung Taki menemani suasana.

"Kepada saudara-saudaramu?"

Taki terdiam karena terkejut dengan ucapan Kenta.

"Hmm? Kau tak salah ucap kan?"

"Wajahmu memerah karena sehabis bertemu mereka dan jantungmu berdegup dua kali saat bertemu pada mereka ataupun hanya berpapasan. Aku mengerti, kau baru mengalaminya pertama kali."

Taki menghebuskan napasnya kasar. "Sebenarnya aku bingung. Cinta itu apa sih? Yang aku tahu adalah simbol yang melambangkan kesetiaan, kebahagiaan dan bla bla bla. Tapi kenyatannya, tidak seperti itu. Seperti aku dan kedua orang tuaku. Seperti kedua orang tuaku yang cerai, seperti aku yang dijauhi orang-orang di sekolah. Kecuali Sakura-chan tentunya. Dan kata orang-orang, kadang cinta itu membutakan."

Kenta dengan tenang mendengar curhatan Taki. Tak lama, mengelus rambut Taki perlahan nan lembut.

"Aku tak tahu pasti, tapi aku bisa memberitahumu. Cinta adalah, ketika yang lain menjauhimu, ada seseorang yang akan selalu bersamamu. Selalu bersama dalam suka maupun duka. Dan pasti, akan selalu ada buatmu dan akan membuatmu selalu tersenyum bahagia."

Ucapan Kenta membuat Taki mengingat-ingatnya lagi. Para saudaranya yang sebenarnya peduli walaupun tak suka dengan kehadirannya. Dan melewati tantangan saat di pegunungan Yasha. Dan disaat Taki yang harus bersedih karena sikap ayahnya yang sebenarnya, para saudaranya ikut pula dalam kesedihannya.

Perlahan senyum Taki mengembang. "Benar juga ya. Selama ini, aku selalu sendirian. Mungkin, ini sudah digaris oleh Tuhan. Agar aku bisa merasakan kebahagiaan walaupun itu kecil, tapi ya...aku senang sekarang."

Mereka berdua tersenyum. Sampai...

Tok tok tok

Taki bangun dan segera membuka pintu, perlahan tapi.

"Iya...ada apa, Yutaka-nii?"

"Mengapa kau sembunyi-sembunyi seperti itu?", ujar Yutaka heran karena Taki membuka pintunya sedikit. Takipun keluar dan segera menutup pintunya.

"Omong-omong, ada apa Yutaka-nii memanggil?"

"It's dinner time. Ayo turun.", suruh Yutaka dan pergi meninggalkan Taki. Taki segera menyusul Yutaka yang sudah sedikit jauh darinya.

Untung tidak curiga, batin Taki tenang.

"Kau otaku ya?"

"Yap, itu ben–HEH? KAU TAHU DARIMANA?"

Yutaka tersenyum dan mengusap kepalanya pelan. Sumpah, kenapa hari ini banyak orang yang membuat wajah Taki memerah.

"Kau kan orang yang paling kusayang. Bagaimana aku tidak tahu tentangmu?"

Ini nih, jantung Taki kembali lagi berdebar.

"Bahaya nih, bisa-bisa aku kena penyakit jantung nih", gumam Taki yang terdengar sendiri oleh Yutaka.

"A..ayo kita ke ruang makan. Pasti yang lain..sudah menunggu."

         Taki lebih memilih makan roti setengahnya dan memilih tempat yang agak jauh dari ruang makan. Karena Taki tak kuat, kalau bertemu dengan mereka, bisa mengingat kejadian tadi siang. Walaupun Isao yang menyuruh, tapi Taki tetap tidak mau.

"Taki-neechan, mengapa kau makannya jauh-jauh begitu. Makan bersama kami", rengek Kazuhiko.

"Ti...tidak perlu Kazu-kun. La...lagi tidak mau makan banyak. Hehehe..", bohong Taki sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Suasana kembali normal. Mereka makan dengan tenang.

"Taki, saat selesai makan malam, aku ingin berbicara denganmu. Empat mata", ucap Daisuke dingin. Taki hanya bergumam menjawab iya.

Huh, rasanya seperti awal saat aku datang kemari. Tak ada yang berubah.

Selesai makan, Daisuke segera menarik tangan Taki ke tempat yang agak jauh dari ruang makan supaya tak diketahui orang lain.

"Jadi, ada apa?", gugup Taki.

Daisuke mengeluarkan sebuah CD dari balik kantung jasnya. Taki terharu. Itu CD game RPG yang limited edition yang Taki sudah idam-idamkan dan itu adalah keluaran terbaru. Wow.

"Itu kan...game RPG yang baru dirilis kan? Daisuke-nii dapat darimana?" kagum Taki.

"Kau lupa ya, kalau aku wakil direktur S.H.I.O.N? Jadi, aku bisa membawakannya untukmu", ucap Daisuke sambil tersenyum, lalu memberikannya pada Taki.

Takipun terkejut dengan ucapan Daisuke tadi. S.H.I.O.N? Itu kan perusahaan game yang terkenal sekali itu kan? Dan lagi, posisi Daisuke-nii sebagai wakil direktur? Bukan main main, batin Taki terkagum-kagum.

"Ini untukku? Maji de?", ucap Taki meyakinkan. Daisuke mengangguk.

"Waa, arigatou. Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk membalasnya?"

Daisuke menaruh tangan di dagunya, berpikir. Padahal sih, ada ide di pikirannya tersebut.

"Mudah saja. Kau hanya menutup matamu. Itu saja."

Taki memiringkan kepalanya bingung, tapi tetap melakukannga juga. Saat Taki sudah menutup mata, Daisuke mendekat sedikit ke Taki. Dan apa yang dilakukannya?

Daisuke mencium kening Taki dengan lembut. Taki hanya membelalakkan matanya, kaget. Daisuke yang pendiam itu, bisa melakukan hal romatis ini.

"Da..Daisuke-nii?"

"Kau tetaplah di sisiku ya. Aku sudah memberikan tandaku untukmu. Tahu kan kalau kau melanggar, apa akibatnya?", ucap Daisuke tersenyum dan meninggalkan Taki yang masih diam di tempat.

Taki masih merasakan kehangatan di keningnya. Ciuman sayang dari sang kakak, membuat wajah Taki semakin memerah.

Ya ampun lagi-lagi, batin Taki.

Rasanya, banyak yang sudah terjadi pada hari ini. Dan mungkin, banyak gadis yang di luar sana tentu iri dengan Taki yang setiap harinya bertemu dengan saudara-saudaranya yang amat menyayanginya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!