Exam

Musim panas sudah datang. Libur sekolah memang hal yang menyenangkan dengan pergi ke pantai saja.

Tapi tidak dengan Taki. Setelah liburan sekolah ini selesai, ujian sekolah sudah di depan mata.

Maka dari itu, Taki mengerjakan tugas-tugasnya yang diberikan para sensei yang kejam. Dan tak lupa...

"Bisa kau ambilkan koran pagi ini. Aku sedang menikmati kopiku!!", teriak Tadashi.

Perempatan merah menandakan Taki juga kesal, karena suruh-menyuruh ini masih berlanjut.

Dengan langkah berat, Taki menuju ke depan pintu.

Dan hanya menuju ke gerbangnya itu jauh sekali. Karena kotak posnya di depan pagar utamanya. Mesti butuh waktu 5 menit kalau jalan kaki.

Aku tak suka ini, kesal Taki.

Taki berpikir untuk berlari saja, sekaligus berolahraga juga.

Taki mengambil ancang-ancangnya, saat-saat dia menjadi atlet estafet saat masih duduk di sekolah dasar.

Dan merasa peluru pistol terdengar, Taki segera berlari.

Perlahan gerbang utama mulai terlihat. Dan.....

"Kau sedang apa?"

Taki seketika tersandung oleh suara seseorang dan karena ada batu kecil yang menghalangi.

"Hahahaha....kau lucu sekali..."

Ternyata Seiji yang sedang ada di sana, sambil menyirami tanaman.

Wajah Taki memerah karena menahan malu sekaligus menahan marahnya. Lutut Taki juga terluka.

"Tapi apakah kau baik-baik saja?" tanya Seiji sambil melihat luka Taki.

Taki kaget dengan perubahan Seiji yang tiba-tiba.

"He..heki desu. Lagipula, ini tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil saja kok. Jangan khawatir", cengir Taki.

Seiji mengeluarkan plester dari kantung celananya dan merekatkannya pada lutut Taki.

Dan yang membuat Taki memerah lagi, Seiji mencium lutut adiknya itu.

(Saya iri jadinya...︽⊙_⊙︽)

"Dengan begini, kau akan baik-baik saja", ucap Seiji sambil tersenyum.

"Tadi, mengapa kau berlari?"

"A...itu, karena aku disuruh Tadashi-nii mengambil korannya. Karena dilihat dari rumah tadi kejauhan, makannya aku putuskan berlari, agar cepat sampai. Tapi, kau bisa cepat ke sini. Kau gunakan apa?"

"Sepeda."

"Hee?"

"Aku naik sepeda."

Taki melirik di belakang Seiji.

Curang kau, pikir Taki.

"Kalau begitu, kau ambil korannya. Setelah itu, aku akan memboncengimu. Gampang kan?"

...***...

Seminggu kemudian, sekolah sudah masuk seperti biasa. Dengan santai dan cuek, Taki melangkahkan kakinya ke kelas.

Besok, perang pertamanya dimulai.

Saat memasuki kelas, Taki masih bingung dengan suasana kelasnya masih sepi. Karena, beberapa menit lagi bel. Tapi belum semuanya hadir di kelas.

"Ohayou..Taki-chan. Bagaimana liburanmu?"

"Hai, Sakura-chan. Tak ada yang istimewa. Hanya mengerjakan tugas dan...seperti biasa atas suruhannya. Walaupun sudah berkurang sih", jawab Taki.

"Bukankah itu suatu kemajuan? Sedikit demi sedikit, mereka mau menerimamu."

Taki mengangguk. Bel pelajaran berbunyi. Pelajaran dimulai.

"Jadi, x bisa diketahui dengan cara yang tadi kita cari bersama-sama. Dan kuharap saat kalian ujian besok, kaliam bisa mengerjakannya. Da-"

Ucapan guru matematika terhenti karena melihat Taki yang tengah tertidur.

"Oy, Taki-chan bangun. Sensei tengah berjalan menuju kemari."

Bisik Sakura sambil membangunkan Taki.

"Shinomiya-san."

Taki belum bangun.

"SHINOMIYA-SAN, KERJAKAN SOAL YANG ADA DI DEPANNN...!!!!!", teriak sensei tepat di telinga.

Gelak tawa seisi kelas terdengar saat Taki terbangun dari tidurnya dengan wajahnya yang baru bangun tidur.

"Kerjakan soal yang ada di depan"

"Ha..ha'i, sensei", jawab Taki.

Taki segera bangkit dari tempat duduknya dan melihat soal yang ada di papan tulis.

Rumus apa yang sekarang lagi dipakai, pikir Taki.

"Deret bilangan barisan geometri", balas seorang gadis dengan tusukan pisau di mata kanannya.

Taki mengangguk dan segera mengerjakannya dengan cepat.

Yang lain menatapnya tercengang.

"Apakah ini benar, sensei?", tanya Taki dengan cuek.

Tak heran dia masih bisa masuk dan paham apa yang diajarkan. Dengan cara, tidur...

(Dan bantuan mereka juga sih ↖( ̄▽ ̄")

         Bel istirahat berdering, yang ditunggu-tunggu akhirnya juga.

Taki langsung membuka bukunya, menyicil untuk ujian besok sambil memakan roti setengahnya.

"Taki-chan, kau memakan roti yang sudah setengah?" heran Sakura.

Taki mengangguk. "Sudah biasa juga sih. Lumayan untuk menurunkan berat badan. Tehee..."

"Tapi, ka—"

"ADA TAKI DI SINI!!!???"

Teriak Masami.

Sontak para gadis yang ada di kelas itupun ramai dengan kedatangan Masami.

Tanpa basa basi lagi, Masami menarik lengan Taki lembut dan meninggalkan yang lain, yang masih menatapnya tidak percaya.

"Tidak adil..."

"Bawa aku juga, Masami-kun~"

Tidak peduli dengan celotehan di sekeliling mereka, Taki masih bingung dengan perlakuan kakaknya yang beda sebulan itu.

Dan akhirnya, sampai di ruang band

"Oy, mengapa kau membawaku ke sini?", tanya Taki dengan ketus.

"Aku ingin kau menjadi pencipta lagu di band kami".

Setelah berkata demikian, Masami masuk ke ruang band, meninggalkan Taki yang masih ada disitu.

Kau serius, pikir Taki.

Taki memasuki ke ruang band dengan langkah perlahan.

Dan di sana ada anggota band yang tengah menunggu mereka berdua.

"Yo, Masa. Kau sudah membawanya?" ucap seorang berambut pirang beranting.

Taki masih tak paham dengan apa yang terjadi.

"Kuharap kau menjadi pencipta lagu-lagu kami. Karena selama ini, kami selalu menyanyikan lagu-lagu yang direquest penggemar kami", jelas Masami.

Ingin rasanya mengambil seribu langkah, tapi Taki tengah ditahan oleh Masami. Kabedon.

Wajah Taki mulai perlahan memerah.

Beginikah rasanya kalau punya saudara laki-laki, pikir Taki yang tak bisa berpikir jernih.

"Ma...mana mungkin kan? Besok sudah ujian. Dan kalian masih memikirkan band. Aku sungguh tak paham dengan pemikiran kalian semua. Permisi", ucap Taki dan segera meninggalkan ruang tersebut.

Dan Masami mengeluarkan senyuman licik. Merencanakan sesuatu, sepertinya.

...***...

         Taki berjalan dengan lesu, setelah bel pulang berbunyi, ingin cepat-cepat pulang dan ingin membaca semua komik-komiknya. Beruntung seisi rumah tidak tahu bahwa dia seorang otaku, termasuk ibunya sendiri.

"Percuma juga kan kalau belajar semuanya, yang keluar hanya sedikit. Aku benci itu." gumam Taki kesal sambil menendang batu-batu kecil yang ada di jalan.

"Taki-chaaann..."

Suara ini?

Taki segera melihat ke belakangnya, dan melihat Masami tengah dikejar oleh para penggemarnya.

Taki segera ikut-ikutan lari karena tak mau terlibat dengan urusan Masami.

Ahh...bersembunyi di toko buku saja, pikir Taki. Karena Taki mantan pelari saat lomba estafet, dia bisa berlari lebih cepat daripada yang sebelumnya dan melesat masuk ke toko buku terdekat.

"Selamat..."

"Apa kau Taki-chan?", tanya seorang kakek yang tengah membereskan buku-buku.

Taki segera menoleh ke sumber suara, "Ahh...ojiisan. Hisashiburiii..apa kabar? Masih mengelola toko buku ini?"

"Iya, sudah lama aku tidak melihatmu. Tapi, kata anak-anak kau masih setia membeli komik-komik di sini. Walaupun banyak toko buku baru." ucap sang kakek sambil tersenyum.

         Mereka hanyut dalam obrolannya.

"Komik-komik itu...apa akan dijual lagi?"

Kakek membuang napasnya perlahan.

"Iya, karena pengunjungnya hanya sedikit dan tidak ada yang mau membelinya. Aku tak tahu akan diapakan. Ya...aku harus menjualnya."

Taki mendapat ide, "Kalau begitu, bagaimana komik-komiknya bisa diberikan padaku?"

Kakek setuju dan memberikan dua kotak kardus padanya.

"Kalau ada yang tidak dibutuhkan lagi, dengan senang sekali aku menerimanya, ojiisan"

Hari mulai gelap, Taki segera pamit sambil membawa dua kotak kardus yang berat. Tak ada yang mustahil bagi Taki.

Rasanya, hari ini telah banyak yang terjadi. Saat dalam perjalanan pulang, Taki melihat mobil milik Isao yang parkir di pinggir jalan.

"Apa yang dilakukan Isao-nii di sini?"

Taki segera mendekat dan melihat Isao yang keluar dari suatu restoran.

"Isao-nii..."

"Taki-chan? Sedang apa kau di sini? Mengapa kau belum pulang ke rumah? Dan apa yang kau bawa itu", tanya Isao bertubi-tubi.

Taki hanya tertawa pahit.

Isao menaruh dua kotak kardusnya di bagasi mobilnya dan mereka melaju menuju rumah.

"Dengar-dengar, besok kau ujian ya?"

Taki mengangguk.

"Kalau bisa, kau ajari Masami ya? Dia itu susah dalam belajar. Kuharap kau mau ya."

Lebih baik aku menghabiskan komik-komik itu hari ini, pikir Taki.

...***...

       

         Sampai di mansion, Taki segera melesat menuju kamarnya dan segera mengunci kamarnya.

"Untung saat aku sakit, aku belum membereskan semuanya."

Taki memang belum membereskan barang-barangnya sampai sekarang. Maka, dia mulai membereskan barang-barangnya.

Lemari yang dipenuhi komik-komiknya ditambah komik yang baru diberi, action figure dan nendoroid yang dipajang di atas meja belajarnya dan di lemari khusus, poster-posternya yang ditempel di hampir setiap dinding, serta bantal-bantal dan dua dakimakura. Sempurna.

Ada seseorang yang mengetuk pintu.

"Taki-chan, it's time to dinner", panggil Yutaka.

"Ha'i..."

Taki segera keluar dan mengunci pintu kamarnya, menuju ke ruang makan.

Di ruang makan, tentu Taki memakan roti setengahnya lagi.

"Oy, setelah ini, kau harus menemaniku dan mengajariku untuk besok ujian", teriak Masami.

Perempatan kesal Taki terlihat di pelipisnya. Ingin mematahkan lehernya yang maskulin itu.

Taki mengangguk kaku.

"Besok kalian ujian ya. Ganbatte ne. Doaku beserta kalian", ucap Tadao menyemangati.

"Arigatou, Tadao-nii", balas Taki.

Setelah makan malam, Taki melanjutkan rutinitasnya, tapi lengannya ditahan oleh Masami. Taki yang bingung dengan perlakuannya tersebut hanya bisa pasrah dan meminta tolong Ryoko untuk menggantikan tugasnya.

Tentu baru pertama kali Taki ke kamar saudaranya.

"Kuharap kau bisa mengajariku dengan benar ya", tegas Masami.

Taki hanya mengangguk.

"Seharusnya, aku mengambil buku ku dulu. Karena—"

"Pinjam buku ku saja. A..aku sedang berbaik hati", ucap Masami menoleh ke arah lain dengan wajah memerah sambil memberikan buku miliknya. Taki segera mengajar Masami.

"Jadi begini, akan lebih mudah menghitung ini jika menghilangkan x-nya. Dan lagi, kau punya rumus itu lebih rumit. Kau paham?"

"Membosankan. Aku tak ada semangat", ucap Masami yang tengah menguap. Taki hanya tak tahu harus berbuat apa.

"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan agar kau semangat? Apa perlu aku harus memanggil teman-temanmu ke sini? Tak mungkin", cuek Taki.

Masami hanya diam. Tak tahu harus membalas apa. Ujian kali ini benar-benar menyusahkan.

"Bagaimana kalau kita bersaing?"

"Bersaing?", bingung Masami.

"Iya, kalau kau bisa mengalahkanku atau menyamakanku, aku akan menuruti keinginanmu. Sesuai dengan selisih perbedaan ranking kita. Tapi, kalau aku yang menang, rasakan akibatnya ya", ucap Taki yang sekarang mengeluarkan tawa jahatnya.

Mereka berdua belajar dengan giat, apalagi Masami. Taki tentu saja santai karena bantuan dari 'teman-teman' nya itu.

"Oh iya. Sejak kapan kalian menyadari bahwa kalian mempunyai kemampuan khusus itu?", tanya Taki sambil membuat soal pada Masami.

Masami menatap Taki yang sedang membuat soal untuknya itu.

"Saat itu, kami masih kecil. Yang mengetahui ini pertama kali tentu saja otousan. Karena faktor darinya dan ibu kami yang tidak mengetahui hal ini. Itu yang membuatnya meninggalkan kami yang masih kecil ini. Awalnya, aku menyesal dengan kemampuan ini. Tapi setelah saat kau mengatakannya, aku jadi bersyukur mempunyai bakat ini. Arigatou, sudah datang kemari walaupun kami masih mengerjaimu", ucap Masami lalu tersenyum.

Taki tentu saja kaget dengan Masami yang ini. Yang biasanya meremehkan, sekarang tersenyum tulus dihadapan Taki sekarang.

Di sisi lain, Taki menganggap kedatangannya mendatangkan kesenangan dalam diri Masami.

"Kalau kau, sejak kapan?", giliran Masami yang bertanya.

"Belajar dulu. Setelah waktu yang tepat, baru aku ceritakan", balas Taki sambil menyerahkan soal-soal buatannya.

"Itu curang. Aku sudah memberitahumu. Kau ini", ketus Masami sambil mengerjakan soalnya.

Mungkin saat ini belum waktunya. Karena Takipun menjalani masa-masa yang sulit.

...***...

"Waktunya dimulai...sekarang."

         Setelah membalikkan kertas ujiannya, semuanya mengerjakan ujiannya dengan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan Taki. Walaupun santai, dia mengerjakannya dengan serius. Ada yang tidak mengerti, dia bertanya pada Ben. Anak yang ia temui di atap sekolah.

...***...

         Lima hari setelah ujian, nilai sudah ditetapkan di mading sekolah. Tentu saja, Taki masih tetap di posisinya, posisi empat.

"Aree? Masami-kun di posisi tiga? Apa tidak salah?"

Ucapan dari seorang siswi membuat Taki tak bisa bergerak. Kalah hanya beda satu posisi.

"Oyy...aku menang kan?"

Suara itu yang Taki ingin menghindar. Masami membawa Taki dengan cara menggendongnya seperti mengangkut karung beras yang berat ke belakang sekolah. Gemparlah seisi sekolah dengan kejadian ini.

Di belakang sekolah, Taki dan Masami berbicara empat mata.

"Apa yang kau lakukan? Nanti para penggemarmu marah", marah Taki sambil memukul lengan Masami.

"Gomen, gomen. Habisnya aku senang bisa mengalahkanmu. Aku minta satu permintaan saja kok."

Firasat Taki mulai memburuk.

"Permintaanya adalah...kau menjadi pencipta lagu di bandku dan selalu dekat denganku. Dan jangan seolah-olah kau tidak mengenalku, karena aku ingin mengenalkanmu sebagai saudaraku di hadapan semua murid-murid yang lain."

Seketika Taki langsung pingsan. Kok, malah minta sebanyak itu sih, batin Taki.

Bukan hanya ujian sekolah yang harus dihadapi, tapi juga ujian dalam kehidupan juga yang harus kita lewati. Karena itu yang membuat kita semakin maju dan membuat kita menjadi kuat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!