Seharian ini, aku mengamati gerak-gerik Josh Rainer dengan saksama.
Seperti biasa, sejak pagi aku melakukan cek dasar rutin dan tidak menemukan hal yang aneh. Semua normal dan tidak ada masalah yang berarti.
Masalahnya adalah Josh masih tidak mau berinteraksi dua arah denganku secara verbal.
Kemarin, salah satu perkembangan pesat yang terlihat dari Josh adalah dia mau merespons pesanku melalui indera perabanya. Kemarin, dia memegang tanganku bahkan memelukku.
Namun dia masih mengunci mulutnya rapat-rapat sampai hari ini.
Dari catatanku, dia hanya mau bicara jika melihat Celine mendatanginya. Itupun bukan bicara baik-baik, melainkan tantrum yang untungnya semakin kesini semakin terkendali.
Pagi ini, Josh sangat kooperatif dan mencatatkan berbagai kemajuan lainnya.
Mulai dari bangkit dari tidur, membuka gorden, berjalan kearah balkon hingga melakukan olahraga kecil seperti sit up dan push up.
Namun, dia masih bergeming setiap kali aku berbicara padanya.
Padahal, aku sangat ingin mengorek informasi mengenai misteri yang terjadi saat ini. Benarkah dia yang meninggalkan pesan agar aku berhati-hati?
Apakah dia sebetulnya hanya berpura-pura?
Apa tujuannya dan mengapa dia mempermainkanku?
Besok aku akan bertemu Anna untuk meminta pendapatnya mengenai kejadian ini.
Oleh karena itu, aku harus mengumpulkan lebih banyak informasi untuk menentukan sikapku kedepannya atas apa yang terjadi sekarang.
Namun dengan adanya Diana dan kamera pengawas di kamar ini yang mengawasiku, aku bisa apa?
“Josh hari ini menyenangkan sekali bukan? Apa lagi yang ingin kamu lakukan?”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Josh melakukan isyarat yang menunjuk perutnya, tanda perutnya lapar.
Aku mengecek jam dan memang sudah menunjukkan pukul 11.30 siang.
“Pak Rikian belum datang. Suster Diana bisakah kamu menginformasikan pak Rikian untuk membawa makan siang Josh sekarang juga?” instruksiku padanya.
Dia mendelik padaku. Aku sudah tahu sebetulnya dia akan menolak perintahku. Dengan peringai mirip nyonya rumah, tentu saja dia tidak mau menurutiku.
“Saya diperintahkan nyonya untuk mencatat semua hasil terapi sampai jam makan siang tiba pukul 12.00. Ini belum masuk jam makan siang,” katanya gampang saja.
Haruskah aku menjambak rambut gelungnya itu dan menyuruhnya pergi?
Aku baru saja mau berjalan menuju pintu untuk ke dapur saat satu tangan menghentikan langkahku.
Tangan Josh Rainer.
Dia menahanku pergi dan kemudian berbalik menatap tajam Diana.
Kini Josh berdiri didepanku, memunggungiku.
Dari belakang punggung Josh yang bidang, aku melihat Diana tampak ketakutan.
Kemudian Josh berteriak kencang sambil melempar gulingnya kearah Diana.
Aku melongo melihat pemandangan itu. Kini Diana sudah melemparkan buku observasinya dan lari tunggang langgang menuju dapur.
Aku tertawa terbahak-bahak.
Rasanya sudah bertahun-tahun aku tidak tertawa sepuas itu.
Josh Rainer kemudian berbalik dan kini dia menatapku sambil tersenyum.
Kini kami berdiri bertatapan.
Josh tinggi sekali dan juga tampan.
Jika dia bukan pasienku dan aku bukan milik Dio, aku pasti akan merasa keki.
“Terima kasih ya. Kamu pahlawanku!” pujiku atas tindakannya. Aku mengelus bahunya.
“Tapi, besok-besok jangan pakai kekerasan lagi ya. Josh yang kami kenal orangnya lembut dan tidak main kekerasan. Kamu orangnya sangat-sangat baik,” kataku.
Kata-kata itu tampak seperti diserap oleh Josh. Entah ini hanya siluet atau imajinasiku saja, wajahnya kelihatan sedih.
Mungkin saja, dia hanya merasa lelah setelah melakukan berbagai terapi dan latihan kognitif sejak pagi.
“Josh,” aku mencoba mencari kata yang tepat untuk menanyakan prasangkaku padanya.
Saat ini Diana sudah tidak ada, inilah saatnya.
Kamera pengawas yang ada di kamar ini seharusnya tidak bisa menangkap suara bukan?
Tapi bagaimana jika Celine menempatkan perekam suara di kamar ini?
Aku jadi galau.
Mungkin lebih baik aku menahan untuk bertanya padanya dan membiarkanku menginvestigasi sendiri apa yang sedang terjadi di rumah ini?
Josh lalu bersikap tidak biasa.
Dia menempatkan ujung telunjuk didepan mulutnya.
Isyarat untuk menyuruhku diam.
Aku terperangah.
Aku semakin yakin dialah yang memberiku pesan peringatan kemarin.
Aku harus tahu kebenarannya.
Jika dia menyuruhku diam, berarti dia juga menyadari adanya perekam video dan audio tersembunyu di kamar ini.
Kemudian aku melihat buku catatan Diana yang tergeletak di lantai. Dengan cepat aku menyambar buku itu, merobek satu kertas dan memungut pulpen yang juga jatuh di lantai tersebut.
Aku kemudian menggambar sesuatu diatasnya dan sengaja berteriak berpura-pura.
"Josh kamu tahu ini bentuk apa? Ini bentuk persegi, jika kamu beri volume didalamnya ini akan menjadi kubus. Lalu ini adalah gambar segitiga dan ini trapesium.”
Di sela-sela kepura-puraanku, aku menulis sesuatu diatas kertas itu untuk Josh.
"Kamu yang menulis di ponselku?"
Aku menunjukkan padanya tulisan itu.
Bulu kudukku berdiri saat mengetahui responsnya.
Dia mengangguk.
Aku kembali menulis dengan tergesa-gesa, takut bila Diana tiba kembali ke ruangan.
“Nah ini adalah lingkaran. Lingkaran tidak memiliki awal dan akhir. Kamu ingin mencoba menggambar?”
Aku memberikan kertas dan pulpen itu padanya untuk menjawab pertanyaan lanjutanku.
"Apa yang terjadi?"
Dia tampak gamang saat aku memintanya untuk menulis balik. Terlebih saat dia melihat pertanyaanku diatas kertas.
Namun, akhirnya dia menyerah dan menulis sesuatu di atas kertas.
"Tolong aku."
Aku menelan ludah.
Sesuatu memang terjadi di keluarga kaya ini yang membuat penerus tahtanya harus berpura-pura mengalami trauma dan amnesia.
Dia merancangnya untuk tujuan tertentu.
“Bukan seperti itu Josh, cara membuat lingkaran itu seperti ini,” aku meninggikan suaraku lagi, masih berakting sembari kembali menulis pesan untuk dia yang duduk sangat dekat disampingku.
"Kamu orang jahat atau orang baik?"
Sejak awal aku dipekerjakan sebagai dokter pribadi, Josh selalu memasang tampang datar. Namun hari ini, lagi-lagi rona wajahnya berubah drastis saat melihat tulisanku.
Dia kembali kelihatan sedih.
Aku memberikan kembali pulpen untuknya dan dia sudah menjawab siapa dirinya.
Dia melingkari orang jahat dan orang baik.
Dia adalah keduanya.
Meninggalkan pikiranku yang megap-megap tidak berhenti berputar sejak tadi.
Aku harus bagaimana?
Haruskah aku menolongnya?
Namun dia sendiri mengakui bahwa dia tidak sepenuhnya baik.
Apa langkahku selanjutnya?
Aku memejamkan mata masih berpikir sembari berkejaran dengan waktu jika tiba-tiba saja Suster Diana masuk lagi.
Aku sudah memutuskan.
"Bagaimana aku bisa menolongmu?"
“Josh ini lebih baik lingkarannya, kamu hebat. Ayo sekarang bikin persegi!” teriakku palsu.
Dengan cepat dia menyambar balik pulpen dan menuliskan kembali.
"Ikuti permainanku."
Aku mengerti.
Dia kemudian menulis tambahan lagi saat bersamaan pintu kamar terdengar terbuka.
"Bakar kertas ini."
Aku langsung sigap mengambilnya dan menyembunyikannya dikantong jas dokterku.
Di depanku, Diana dan Rikian tiba-tiba masuk untuk menghidangkan makanan.
“Josh ayo mulai makan. Setelah ini kita akan melakukan fototerapi ya untuk menyembuhkan trauma mu. Pak Rikian dan Suster Diana boleh bantu aku menyiapkan peralatannya?”
Diana tampak ingin melawanku namun Josh kembali melancarkan mata tajamnya untuk mengintimidasinya.
Dia lalu kembali membututi Rikian untuk mengikuti instruksiku.
Aku tersenyum pada Josh dan kembali mengatakan, ”Kamu pahlawanku, Josh.”
Dan lagi-lagi dia menyiratkan kesedihan saat aku mengatakan ini.
Entah mengapa.
Dan aku sungguh sangat ingin kembali ke kamarku saat ini untuk berpikir jernih.
Aku bahkan berharap semua yang terjadi hari ini adalah mimpi.
Orang yang didiagosa mengalami amnesia dan trauma oleh salah satu dokter terbaik di negeri ini ternyata sama sekali tidak sakit.
Orang ini pura-pura sakit untuk tujuan tertentu.
Orang ini mengakui dirinya tidak baik.
Dan yang paling gila, aku memutuskan untuk membantunya.
Tanpa aku tahu serangkaian bahaya akan menghantamku dengan pilihan sembronoku ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Novianti Ratnasari
seru bgd cerita nya. dari awal smapai episode ini penasaran terus di balik keluarga jos.
2021-03-02
1