Aku membuka pintu perlahan.
Beberapa pasang mata spontan menatapku tajam, seakan aku sedang dituduh melakukan pembunuhan keji dalam suatu sidang.
Meskipun, aku yakin kedatangan keluarga Dio di hari berkabung ini memang ingin menyalahkanku atas kematian Dio.
Ya, jika bukan karena ingin menjemputku, Dio tidak akan mati.
Ini adalah kenyataan yang begitu pahit dan sangat menyiksaku. Penyebab kematiannya adalah aku.
Jika saja, Dio tidak menjemputku saat itu.
Jika saja aku tidak mengiyakan tawarannya.
Jika saja aku tidak pergi hari itu.
Dio tidak perlu menjemputku.
Dio tidak perlu mati.
Maafkan aku, Dio.
Aku sungguh tidak ingin berpisah denganmu.
Tapi, Tuhan sudah berkehendak lain dan kita umatnya hanya bisa menjalankan takdir yang sudah dia tentukan
Aku harus tegar dan bangkit. Aku yakin Dio tidak akan suka melihat aku menyalahkan diri sendiri. Aku juga yakin dia tidak mau melihatku terus menyiksa diri.
Selama ini, Dio selalu menjadi pasangan yang sangat supportif dan sangat mendukung mimpi-mimpiku.
Benar begitu kan, Dio?
Lalu disinilah aku. Mencoba menghadapi dunia setelah ditinggal kekasih hidupku itu.
Harus menghadapi keluarganya yang sudah pasti tidak rela kehilangan satu-satunya anak laki-laki kebanggaan mereka.
Aku tidak memperdulikan penampilanku untuk tampil di depan keluarga Dio saat ini.
Rambutku acak-acakan, wajah sembab dan hanya mengenakan baju daster yang cuma cocok untuk dipakai tidur, bukan untuk menemui tamu.
Biarlah. Sekarang semuanya sudah tidak penting lagi bagiku.
Mereka semua sudah menungguku di ruang tamu.
Di depanku sudah ada Bapak Ferdi, pemimpin komisi V DPR yang juga ayah Dio. Disebelahnya ada istrinya, yang menggunakan pakaian hitam yang sangat elegan. Di sebelahnya, ada Becca, adik kembar Dio yang juga adalah temanku sejak SMA.
Ketiganya melihatku tajam, khususnya ibu Dio yang keliatan sekali ingin memakanku hidup-hidup. Matanya terlihat bengkak, namun riasan di wajahnya tetap sempurna. Sementara Becca masih terlihat terisak-isak disebelahnya.
"Seandainya kamu saja yang mati," ibu Dio memulai pembicaraan.
"Ma!" potong Becca. Meskipun sangat terpukul, Becca tau hal tersebut tidak pantas diucapkan kepadaku. Dia menggengam tangan mamanya.
"Aku sudah bersabar bertahun-tahun. Aku selalu menentang hubungan kalian. Dan sekarang lihat! Kamu menyebabkan kematian anakku!"
Kini ibu Dio sudah kehilangan kontrol. Dia berteriak sambil menangis hebat.
Di sampingku, ibuku mencoba memelukku. Namun aku melepaskan tangannya, dan memberikan isyarat bahwa aku baik-baik saja. Aku harus menghadapi ini dengan kepala tegak.
"Tante, Om dan Becca, aku juga sangat kehilangan Dio. Aku minta maaf, malam itu, aku juga tidak tahu kalau Dio akan menjemputku," aku berusaha menahan tangis.
"Semua ini salahmu! Kamu si pembawa sial! Sejak ada kamu, Dio sudah bukan jadi anak yang penurut lagi. Kamu tidak tahu diri dan sekarang kamu malah bunuh dia!"
"Ibu Ferdi! Tolong kata-kata Ibu dijaga. Kami memang tidak kaya tapi kami punya tata krama yang sangat kami jaga," sahut ayahku yang kini sudah bersisian denganku. Kini ayah dan ibuku menggengam tanganku untuk menghadapi serangan silat lidah ini.
"Kami juga sangat kehilangan Nak Dio, dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Saya memang bukan yang melahirkan Nak Dio, tapi saya yakin dia akan sedih bila melihat kita bersitegang seperti ini," lanjut ibu.
Bapak Ferdi terlihat paling tegar diantara mereka. Dia mencoba menenangkan istrinya dan maju berbicara kepada kami.
"Dio adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Anak yang paling kami banggakan. Suatu hari, kami yakin dia akan jadi pemimpin negeri ini. Jika saja dia masih disini," ucapnya bergetar.
"Kami sangat hancur saat ini. Semua undangan sudah kami sebar, seluruh biaya sudah kami tanggung untuk pernikahan besar-besaran ini," lanjutnya.
"Jadi, kami harap kalian bisa mengembalikan semua uang pernikahan yang telah dikeluarkan kepada kami," tutup Bapak Ferdi.
Apa?
Kami semua tahu keluarga Dio tidak pernah kekurangan uang. Tidak akan pernah. Biaya pernikahan ini pun seluruhnya sudah dibayar oleh keluarga Dio tanpa melibatkan keluargaku.
Lalu mengapa? Apakah ini hanya ajang pembalasan dendam padaku? Agar aku bertanggung jawab terhadap kematian Dio dengan ditukar dengan uang?
Dio, kamu sungguh tidak pantas diperlakukan begini.
Nyawamu tidak bisa dihargai dengan jumlah uang berapapun itu!
Keluarga Dio tahu kami akan sangat kesulitan mendapatkan uang sebanyak itu. Dia ingin menyusahkan kami sekaligus mendapatkan keuntungan dari kematian anaknya.
Dio, di hatiku kamu sangat berharga dan tidak pantas ditukar dengan berapapun jumlah uang.
Keluargamu sudah sangat keterlaluan.
"Pa, itu tidak adil untuk Selena!" Becca mencoba membelaku.
Aku sangat tersentuh disaat seperti ini Becca masih menggunakan hati dan pikirannya untuk menjernihkan masalah ini.
"Om, saya harap diatas sana Dio tidak sedih mendengar kata-kata Om barusan tadi," kataku pedas.
"Apa maksudmu?" balasnya meninggi, kini Bapak Ferdy telah mengeluarkan identitas aslinya yang congkak.
"Om ingin menukar kematian Dio dengan uang. Hati anak mana yang tidak sedih mendengar itu?" aku menantangnya.
"Kamu!"
"Seperti kata Becca, ini tidak adil untuk saya. Keluarga saya yang mengusulkan agar pernikahan dilakukan secara sederhana namun kalian tidak mendengarkan dan malah meminta dibuat besar-besaran," aku mencoba mengingatkan mereka kembali kronologinya.
"Jadi kamu ingin pergi saja dari tanggung jawab ini? Kamu tidak ingin menebus rasa bersalah karena mencelakakan anak kami?" sindir Bapak Ferdi.
"Apakah kalian segitu bencinya dengan kami dan ingin terus menginjak kami sampai jadi tanah?" belaku.
"Memang! kalau bisa kamu gantikan anakku didalam kubur sana!" teriak Ibu Dio sambil membanting vas bunga dan guci koleksi kesayangan ayahku di sampingnya.
"Ibu Ferdi! Anda berada di rumah saya saat ini jika Ibu terus merusak barang saya tidak segan untuk panggil polisi!" ayahku kini sudah berteriak.
"Memangnya polisi akan mendengarkan kalian?" sinis Ibu Ferdi.
"STOP!" aku meringis.
"Selena, jangan lupa saya bisa membolak-balikan kehidupan kamu jika saya mau. Kamu punya karir yang bagus. Kamu tidak takut saya ikut campur dan membuat karirmu selesai?"
"Inikah perkataan wakil rakyat yang terhormat?" aku mengejeknya.
"Saya tidak tahu kenapa anak saya bisa bodoh sekali mengejar-ngejar kamu yang tidak punya sopan santun seperti ini. Saya ingatkan kamu sekali lagi..."
"Bisakah Om berkaca siapa yang kurang santun hari ini? Mengancam saya, menukarkan anaknya demi uang, menghancurkan barang-barang ayah saya."
Ibu Dio tidak bisa menahan kesabarannya. Kini dia sudah didepanku dan menampar keras wajahku. Aku terlambat dan tidak bisa menghindar.
Rasanya sakit sekali.
Ibu sigap menahan berat badanku untuk tidak jatuh ke tanah.
"Wanita sundal! Kamu menguras harta kami dan berani menghina kami! Kamu betul-betul tidak tahu rumah sakit yang memperkerjakan kamu saat ini mayoritas sahamnya dimiliki suami saya?"
Kegilaan apa lagi ini?
"Kamu pikir kamu bisa dapat posisi saat ini di rumah sakit karena kamu hebat? Kalau saja Dio tidak memohon kepada kami dan mengancam untuk kawin lari denganmu, kami tidak setuju kamu bekerja disana!" Ibu Dio meledak-ledak.
Betulkah begitu? Dio juga membantuku mendapatkan karirku saat ini?
"Bukannya kamu sangat membanggakan karirmu itu? Kamu mau besok tiba-tiba jadi pengangguran dan tidak ada satu rumah sakitpun di negara ini mau memungutmu? Kami sangat bisa melakukan itu."
Kuatkan aku ya Tuhan.
Dio, bantu aku. Pinjamkan aku kekuatan hatimu untuk bertahan dari hinaan orang tuamu.
Keluarga ini hanya ingin melihatku sengsara.
Keluarga ini ingin aku mati perlahan-lahan.
Dan aku tidak akan semudah itu jatuh ke permainan mereka.
"Baiklah, saya tidak akan lari," kataku pada akhirnya.
Ayah dan Ibu Dio terlihat sinis memandangku. Sedangkan Becca menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan keputusanku.
"Setuju, bayar ke kami satu bulan dari sekarang. Harap diingat kami tidak menerima cicilan," cela Ibu Dio kepadaku.
"Hanya dengan satu syarat," ucapku.
"Pernikahan ini seharusnya menjadi pernikahan saya dengan anak kalian, jadi saya hanya perlu membayar setengahnya. Sisanya kalian yang tanggung," ucapku.
Ibu Dio terlihat kurang setuju pada awalnya, namun Bapak Ferdi terlihat malas untuk kembali bersilat lidah denganku dan dia menyetujuinya.
Ibu dan ayahku terlihat hampir pingsan.
"Suamiku, ayo kita pergi dari gubuk ini. Aku tidak betah seatap dengan pembunuh," hina Ibu Dio bertubi-tubi kepadaku.
Becca tampak ingin tinggal namun Ibu Dio menggamit lengannya untuk pergi. Dengan bahasa isyarat dia mengatakan akan meneleponku sambil lalu bersama ayah dan ibunya.
"Satu lagi, jangan pernah kamu menginjakkan kaki di nisan Dio. Jika kamu melanggar ini, kamu akan tau akibatnya," ucap Ibu Dio sambil membanting pintu rumahku.
Dari seluruh hinaan yang dia lontarkan padaku, dilarang mengunjungi tempat peristirahatan Dio lah yang paling mencabik hatiku. Bahkan aku tidak pantas untuk meminta maaf dan berterima kasih atas delapan tahun berharga dengan kekasihku itu.
Setelahnya, yang aku tahu pandanganku menjadi gelap dan aku sudah tidak ingat apapun setelahnya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Sun Shine
apa jangan-jangan dio belum mati?
sorry, sorry! ngarang 🤣
2021-03-15
1