Pukul 8 pagi aku sudah menyelesaikan sarapan dan bergegas menuju kamar Josh Rainer.
Tiba di depan kamar Josh, tidak ada satupun yang menjaga. Alih-alih diberikan penjaga, Celine sepertinya tidak mau ambil pusing dan lebih memilih mengunci anaknya dari luar.
Perlahan, aku membuka kunci pintu dan masuk ke ruangan pribadi pangeran.
Dan disanalah dia, duduk di atas tempat tidur dengan gayanya yang biasa, menatap lurus ke depan.
Dengan wajah tampan yang tak terkikis kebingungan yang dia rasakan.
“Selamat pagi Josh!” aku menyapanya sambil membantu membukakan gorden agar cahaya matahari dapat masuk lewat jendela.
Ketika aku ingin mematikan lampu utama di ruang tamu, aku tersadar bahwa lampu utama kamar sudah mati.
Lagi-lagi, dia memberikan respons yang tidak biasa. Josh Rainer yang tengah hilang ingatan dan mengalami tekanan mental pascakecelakaan paham cara mematikan lampu.
Tombol mematikan lampu sendiri ada di remote yang tergantung disebelah tempat tidur Josh. Untuk orang amnesia yang tidak awam dengan pengaturan kamar mewah semacam ini, ternyata dia mampu melakukannya.
Josh Rainer, mengapa kamu masih tidak mau jujur atas kondisimu saat ini?
Aku mencoba mencari informasi dengan tidak memprovokasinya. Aku tidak ingin kejadian kemarin terjadi lagi.
“Josh aku adalah dokter yang bertanggung jawab untuk kesembuhanmu. Aku Selena Ariadna. Kemarin aku belum sempat memperkenalkan diri,” aku kini duduk di tepi ranjangnya.
Dia masih tidak melihat kearahku.
“Aku minta maaf soal kemarin.”
Kini dia mulai menunjukkan perubahan dengan mendelik ke arahku.
“Aku terlalu bersemangat melihat perkembangan pada pasien yang kutangani. Aku sangat ingin kamu sembuh,” kataku tulus.
Dia masih bergeming dan tidak mau menjawab semua pertanyaanku. Perlahan, kini dia mulai menatapku lurus.
“Josh, kamu bisa ceritakan apapun padaku. Perasaanmu saat ini, ketakutanmu, kemarahanmu. Aku tidak akan bilang siapa-siapa.”
Dia tetap tidak menjawabku.
Apa yang harus kulakukan agar dia mau berkomunikasi dua arah denganku?
Saat aku sedang setengah berpikir, tiba-tiba suara klik di depan pintu membuyarkanku. Celine, Rikian dan sesosok wanita yang kutaksir berusia 40 tahunan masuk bersama ke dalam kamar Pangeran.
Aku lebih tertarik mengamati perubahan yang Josh rasakan setelah melihat Celine mendekatinya.
Badannya kembali bergetar hebat. Namun kini dia menutup matanya seperti ingin menahan diri.
“Dokter,” sapa Celine dengan nada datarnya. “Ini adalah suster Diana, yang akan bekerja bersama kamu untuk kesembuhan Josh.”
Aku bergerak mendekati mereka. Di depanku sudah ada Suster Diana, perempuan yang cukup menjaga penampilannya dengan perawakannya yang tidak terlalu tinggi. Aku berupaya menjabat tangannya dan diterima dengan malas-malasan.
Suster Diana ini tampaknya sedang kerasukan arwah Celine, sikap arogannya hampir serupa.
Namun akulah dokternya disini. Dia tetap harus mengikuti instruksiku
“Mulai hari ini, semua interaksi antara dokter dan Josh, pemberian obat serta makanan akan diawasi oleh Suster Diana. Suster berhak mengentikan tindakan terapi yang dinilai terlalu berlebihan untuk Josh.”
Apa aku tidak salah dengar?
Rikian di sebelah Celine juga tampak membetulkan kacamatanya, tanda bingung dengan aturan yang dimainkan Celine.
“Seingat saya, di perjanjian kemarin Ibu mengatakan suster bertanggung jawab untuk memberikan obat kepada Josh dan menemani saya saat melakukan terapi saja?”
“Kenapa memangnya? Kamu hanya ingin berduaan dengan Josh? Siapa tau kamu punya motif untuk merayu anak saya saat pikirannya sedang linglung begini.”
Sungguh, aku bisa berjam-jam berdebat dengan Celine tentang bagaimana aku diperlakukan tidak semestinya untuk melakukan pekerjaanku. Namun aku sungguh tidak ingin menambah keruh situasi saat ini, terutama di depan Josh yang masih memiliki emosi yang tidak stabil.
Dan kini Josh memang tengah bergetar hebat di atas tempat tidur.
“Ibu Celine boleh minta tolong keluar dulu? Pasien emosinya masih tidak stabil dan selalu tantrum bila ada Ibu,” pintaku.
Ibu Celine sempat tidak terima namun setelah melihat anaknya kembali mengamuk dan melempar bantar ke arahnya, dia lari terbirit-birit ke luar kamar.
Mengapa Josh selalu mengamuk bila ada Celine?
Mengapa dia juga menyerangku kemarin tapi sekarang tidak?
Aku kini berusaha meredam emosi Josh dibantu oleh Diana dan Rikian. Setelah 10 menit, dia kembali tenang.
Salah satu kemajuan yang signifikan mengingat kemarin Josh harus disuntik dulu baru bisa tenang.
Setelah dia tenang, aku meminta Diana untuk menyuapi Josh sarapan pagi ini. Rikian menyiapkan salad hijau dan alpukat yang segar untuk perbaikan nutrisi otak Josh.
Sementara aku mencatat semua hasil observasi pagi ini mulai dari suhu, tekanan darah, detak jantung sampai perilaku ‘liar’ Josh beberapa hari terakhir ini.
“Prangg..” suara piring jatuh mengagetkanku. Didepanku, Josh tampak tidak kooperatif dengan Diana dan menjatuhkan piringnya.
“Aduh!” teriak Diana yang ketumpahan piring pecah. Darah segar mengalir dari kaki suster.
“Sialan! Kalau tidak mau makan ya bilang!” teriaknya di depan muka Josh, histeris melihat kakinya terluka.
Aku langsung menjauhkan Diana yang berperingai buruk ini dari Josh.
“Suster, tugas kamu adalah untuk merawat pasien bukan mencaci-makinya, “ tegurku. “Silahkan obati dulu kakimu.”
Diana malah memelototiku. “Saya tidak perlu diperintah kamu.” Dia berjalan menuju keluar ruangan, meninggalkanku dan Rikian yang bertatap-tatapan bingung.
Bolehkah aku memecat susterku sendiri?
Untuk kasus ini sudah pasti tidak. Jelas sekali Celine memberikannya pekerjaan lebih untuk memata-mataiku, bukan untuk membantuku menyembuhkan anaknya.
Aku segera meminta Rikian menyiapkan sarapan lagi untuk Josh. “Apa makanan yang paling sering dimakan Josh setiap sarapan?”
“Telur rebus, Dokter.”
“Oke, boleh ditambahkan ke saladnya?”
pintaku.
Rikian menyanggupinya dan lewat walkie talkie meminta staff masak dibawah kembali menyiapkan sarapan baru untuk tuan muda. Dia kemudian pamit untuk membawa piring baru.
Meninggalkan aku dan Josh berdua lagi.
Aku mendekatinya kembali dan mencoba mengajaknya bicara.
“Aku juga pernah ketakutan dan marah seperti kamu. Saat orang yang ku sayangi meninggalkanku untuk selamanya,” aku memulainya.
“Aku betul-betul marah dengan diriku sendiri, karena kalau bukan karena aku, mungkin dia masih disini dan hidup bahagia seperti yang dia inginkan.”
“Aku betul-betul terpuruk dan ingin ikut mati saja. Tapi aku kemudian sadar.”
Disitulah Josh benar-benar menunjukkan reaksi berbeda.
Dia terlihat seksama mendengarkanku.
Bahkan, dia pelan-pelan menggengam tanganku.
“Kamu mau mendengarkan curhatku? Terima kasih,” aku memujinya tulus.
“Aku kemudian sadar bahwa jika aku terus terpuruk, aku menyerah pada kesempatan yang Tuhan berikan padaku untuk menemukan kebahagianku sendiri.”
“Sementara banyak orang yang keburu dipanggil Tuhan dan belum menemukan kebahagiaannya itu.”
Tidak kusangka air mataku menetes.
Itu benar, kematian Dio membuatku remuk sampai tidak mau hidup lagi.
Aku selalu percaya bahwa Dio adalah tujuan hidupku. Cinta sejatiku. Sehidup semati.
Namun ternyata bukan jalan itu yang Tuhan inginkan untukku.
Dengan semua orang yang mendukungku untuk tetap melanjutkan hidup, aku mencoba bangkit dan berharap bisa terus kuat menghadapi cobaan dunia yang semu.
Aku tidak boleh egois dan menyerahkan hidupku yang berharga ini begitu saja di saat semua yang mati masih mengharapkan hidup.
Tapi seperti apa bahagia itu untukku?
Akupun belum tahu. Namun, inilah yang Tuhan inginkan dariku untuk mencarinya bukan?
Kini air mataku sudah tidak menetes lagi, melainkan mengalir deras. Aku saat ini tidak bisa menahan rasa rindu yang mendalam pada kekasihku itu.
Aku tahu keadaan ini tidak professional, menangis di hadapan pasienku Namun tolong pahami bahwa minggu-minggu ini adalah masa terberat bagiku. “Aku seharusnya tidak menangis didepanmu, maaf."
Pangeran yang tampan ini masih menggenggam tanganku dan mendengarkan keluhku.
Matanya jauh masuk kedalam mataku.
Aku tidak tahu tapi rasanya dia seperti bisa mendengar suara hatiku. Telepati, mungkin semacam itu.
Yang aku tidak antisipasi setelahnya, dia menghapus tangis di wajahku dengan tangannya. Dia meletakkan tangannya di pundakku sebelum dia merengkuhku.
Josh Rainer memelukku!
Ini kali kedua dia memelukku, pertama kali dia melakukannya saat kami bertemu di rumah sakit.
Ada merasakan tenang dan damai saat aku bersandar di pundaknya. Seperti semua kesedihanku tentang Dio perlahan-lahan memudar. Aku sungguh ingin terus bersandar lebih lama.
Namun tak berapa lama aku sadar bahwa ini tidak benar.
Aku adalah dokter yang harus menyembuhkan pasiennya, bukan sebaliknya!
Aku bangun dari dudukku sambil mengelap sisa-sisa air mata di wajahku. “Aku saat ini sudah bangkit dari ketakutan itu, nah sekarang giliran kamu Josh! kataku menyemangatinya.
Dia terkejut melihat tindakanku yang tiba-tiba. “Kamu janji padaku untuk sembuh ya? Tos jika kamu setuju!”
Josh tampak bimbang dan melihat dalam mataku sampai akhirnya dia membalas tos ku.
“Terima kasih Josh! Ini perkembangan yang keren untuk kamu bisa segera sembuh! “ aku betul-betul bahagia akhirnya dia bisa berkomunikasi dua arah denganku.
Dia tidak lagi menyimpan emosinya sendiri.
Dia bahkan bisa berempati dan merasakan emosi orang lain.
Meskipun tadi bukan akting, aku cukup puas dengan membawa sisi personalku untuk menguji reaksi pasien. Hal-hal semacam ini memang dibutuhkan untuk menganalisa respons pasien dan memastikan kesehatan jiwanya.
Aku semakin bersemangat untuk mendorongnya sembuh.
Rikian kini sudah tiba lagi dengan piring barunya. Menyadari tidak ada suster Diana yang seharusnya menyuapi Josh, aku mengambilalih tugasnya.
Josh tidak menolak saat aku suapi dan aku tersenyum begitu lebar. Aku terus bercerita tentang siapa Josh Rainer untuk menstimulasi pikirannya akan sosok dirinya sendiri. Tentu saja secara perlahan agar pasien tidak merasa kelelahan.
Diana masuk sekitar setengah jam kemudian dan mengawasi terapi yang aku lakukan seharian bersama Josh.
Saat waktu kerjaku akan selesai, aku meresepkan obat kepada Diana dan berpamitan pada Josh.
Entah ini perasaanku atau bukan, aku merasa mata Josh seperti berbicara “tolong tinggal disini lebih lama.”
Tentu saja aku tidak bisa melakukan itu karena dapat melanggar kontrak. Aku kemudian meninggalkannya. Saat ingin membuka pintu kamar aku melihat benda yang tidak asing diletakkan di kabinet ruang tamu di kamar Josh.
Ponselku.
Aku mengambilnya sambil terbengong. Aku sudah mengecek bagian ini kemarin dan aku yakin tidak ada apapun. Mengapa sekarang ada?
Mungkin saja, Rikian yang baru menaruhnya disitu saat datang tadi dan tidak ingin menggangu sesi terapiku bersama Josh. Pikirku.
Aku lalu keluar kamar menuju kamarku. Saat dikamar, aku membuka ponsel yang tidak aku jumpai seharian itu dan mengecek beberapa pesan yang masuk. Dari Ibuku, Gery dan Anna. Semuanya bertanya tentang kabarku.
Ketika aku beralih ke mode screensaver, disitulah aku terkejut.
Ada tulisan yang menggunakan huruf kapital yang muncul di mode screensaver.
Aku tidak pernah seumur hidup mengganti mode ini. Siapa yang melakukan ini?
Kata-kata itu memberikanku efek merinding sekaligus kebingungan setengah mati.
“HATI-HATI, KAMU DIAWASI.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Yeni Eka
Seru ah,
2021-03-08
1
pecinta time travel
mungkinkah celine bukan ibu kandung Josh
2021-03-03
1
Novianti Ratnasari
ky nya ibu nya jos jahat dech. mungkin ada sangkut paut nya dengan kecelakaan nya jos
2021-03-02
1