Aku sungguh tidak punya pilihan lain.
Aku justru merasa terselamatkan saat Becca menawariku pekerjaan ini.
Menjadi dokter pribadi Josh Rainer selama enam bulan kedepan dengan opsi diperpanjang jika sakitnya semakin parah.
Untungnya, bayaran untuk menjadi dokter pribadi ini cukup fantastis dengan skema seluruh upah akan dibayarkan di muka.
Dengan skema seperti ini, biaya yang kubutuhkan untuk membayar tagihan Ibu Dio bahkan sudah terlampaui tanpa ditambah dengan uang tabunganku.
Aku tidak perlu meminjam uang Gery dan Anna. Aku bahkan tidak perlu menyusahkan orang tuaku lagi.
Konsekuensinya, aku harus mengundurkan diri dari rumah sakit ini.
Pilihan hidup yang tidak mungkin aku ambil jika aku tidak berada dalam situasi ini.
Ya, aku harus mengabdi menjadi dokter pribadi selama 24 jam dan 7 hari penuh untuk kesembuhan Josh Rainer. Tidak ada waktu lagi untuk bekerja seperti biasa di rumah sakit
Hal ini sangat mengangguku. Namun pilihan apa lagi yang bisa aku ambil?
Ini adalah cara yang paling masuk akal untuk menyelesaikan kegilaan yang ditimbulkan orang tua Dio.
Setelah ini, aku akan bebas.
Aku akan lepas dari bayang- bayang teror keluarga itu.
Dan yang paling utama, aku merasa lebih bertanggung jawab kepada Dio.
Dio, tolong dukung aku dengan doamu dari Surga sana.
Enam bulan bukanlah waktu yang lama. Setelah aku menyelesaikan tugas ini, aku bertekad untuk kembali mengabdi ke rumah sakit.
Atau seperti rencanaku dengan Dio dulu jika kami jadi menikah. Aku berencana melanjutkan pendidikan kedokteran. Aku akan memilih salah satu cabang kedokteran yang menjadi kesukaanku selama ini, studi spesialis saraf otak (neurologis) atau kesehatan jiwa (psikiater).
Yang sangat cocok untuk kupraktekkan dalam kasus Josh Rainer kali ini.
Josh Rainer.
CEO baru perusahaan telekomunikasi yang sedang berkembang di sini. Yang juga adalah bos-nya Gery.
Seperti apa dia?
Aku tidak tahu ada hubungan apa antara Josh Rainer dan Becca. Sepertinya mereka berteman dekat.
Becca bisa merekomendasikan aku sebagai dokter pribadi Josh kepada keluarganya menjadi bukti kedekatan mereka.
Namun, dalam hubungan pertemananku dengan Becca selama 8 tahun terakhir, Becca tidak pernah menyebut nama Josh Rainer sekalipun kecuali hari ini.
Becca juga terlihat sangat kalut tadi. Kupikir, awalnya Becca masih terlarut sedih karena kepergian Dio.
Namun, setelah kupikir, Becca jauh lebih emosional ketika menyebut nama Josh.
Apa ada sesuatu yang tidak Becca ceritakan padaku selama ini?
Tok..tok..tok.
Pikiranku seketika buyar saat mendengar suara pintu ruanganku diketuk. Sesosok pria setengah baya masuk ke ruanganku.
Pria yang sama-sama mengenakan jas dokter sepertiku.
Pak Bernard.
Mentor sekaligus Kepala Rumah Sakit yang sangat dihormati oleh kami para dokter muda.
"Selena, kamu baru saja mengirimkan surat pengunduran diri?" tanyanya tak percaya.
"Betul Dok."
"Maaf aku menanyakan ini, apa ada kaitannya dengan kecelakaan calon suamimu?"
Dokter Bernard adalah mentor yang sangat perhatian dan peduli dengan para anak didiknya. Dia adalah teman, kakak dan guru yang sangat membantuku melewati masa-masa pertama menjadi dokter disini tiga tahun lalu.
"Bisa dibilang seperti itu Dok," aku menjawab singkat.
"Sayang sekali, Selena. Kamu memiliki potensi yang besar untuk menjadi dokter ternama," sesalnya.
Memang sayang sekali. Mimpiku adalah menjadi ahli neurologis di negara ini. Dengan berhenti dari rumah sakit ini, artinya aku membuang kesempatan untuk mencapai mimpiku.
Namun, aku yakin enam bulan bukan waktu yang lama. Aku masih bisa mengejar ketertinggalanku dengan giat nanti.
Jika kamu disini, kamu juga akan mengatakan hal yang sama kan Dio?
"Terima kasih atas apresiasinya, Dokter Bernard. Saya berharap kembali lagi ke sini setelah situasi lebih baik," kataku bersungguh-sungguh.
"Rumah sakit ini selalu terbuka bagi mereka yang punya visi yang sama untuk menyembuhkan sesama, apalagi yang berbakat seperti kamu," ucapnya.
"Terima kasih Dokter."
"Karena ini hari terakhirmu disini, aku ingin minta bantuanmu mengobservasi pasien yang baru saja keluar dari meja operasi. Dugaan awal amnesia retrogade," ucapnya. "Ini kasus favoritmu, bukan?"
Aku tersenyum kepada Dokter Bernard yang sangat memahami anak buahnya.
"Betul, Dokter. Aku selalu tertarik dengan kasus yang berkaitan dengan saraf otak dan kesehatan jiwa."
Aku mengikuti langkah Dokter Bernard keluar dari ruanganku menuju ruang perawatan pasien.
Kali ini, pasien kami cukup spesial. Aku dan Dokter Bernard berada di lantai eksekutif, yang menandakan pasien dengan dugaan amnesia retrogade ini merupakan pasien VVIP. Very Very Important Person. Orang yang sangat penting.
"Tolong observasi lagi bagaimana keadaannya hari ini lalu laporkan ya. Pasien baru saja kelar operasi tadi malam dan baru sadar setelah tiga hari koma," ujar Dokter Bernard padaku. "Aku harus mengecek dua pasien lain di kamar lain dulu," ujarnya.
"Baik, Dokter Bernard."
Aku mengamati dari luar pintu pasien VVIP ini. Kamar tersebut sangat luas, namun tidak ada satupun orang yang menjenguknya.
"Suster," panggilku lewat interkom yang terpasang di depan pintu. "Tolong bawakan aku catatan riwayat pasien kamar VVIP 1," pintaku.
Sembari menunggu suster, aku memutar kenop pintu dan mulai masuk ke ruangan pasien ini.
Betul-betul kosong.
Bahkan tidak ada karangan bunga, buah atau kue-kue yang sering dibawakan keluarga untuk kesembuhan pasien di kamar ini.
Aku berjalan menuju tengah kamar dan melihat pasien itu terduduk sambil memandangku kaku.
Pasien itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan sebaya denganku. Namun dari perawakan dan ekspresi wajahnya, dia terlihat jauh lebih dewasa dan matang dariku.
Meskipun perban membalut tebal keningnya, rahang tegas si pemilik wajah ini tetap menebarkan aura dirinya yang angkuh.
Namun sangat tampan.
Aku bisa menebak. Dia pastilah anak dari salah satu orang terkaya di Indonesia yang sedang tidak mujur mengalami kecelakaan dan harus kehilangan ingatannya.
Tampak congkaknya yang melihat rendah diriku ini hampir sama dengan tatapan mata Ibu Dio setiap kali melihatku.
Tentu saja, tidak ada yang namanya orang kaya dan orang miskin di mata penyembuh seperti kami. Seperti apapun latar belakang pasien, kami tidak peduli karena satu-satunya yang kami pedulikan adalah memberikan perawatan yang terbaik untuk kesembuhan pasien.
Aku memulai memecahkan suasana dingin.
"Halo! Bagaimana tidurmu?"
Laki-laki ini masih mematung, diam saja dengan pandangan mata lurus tak mengedip sambil melihatku.
Aku tersenyum padanya. "Aku akan melakukan pemeriksaan pagi ini," kataku sambil menghidupkan senter.
Aku mengecek matanya. Kemudian mengecek temperatur dan denyut jantungnya. Semuanya terpantau baik.
Yang tidak baik adalah ekspresi dari si pasien ini. Menatapku lurus. Dalam. dan tidak menjawab sama sekali apa yang aku katakan.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
Hening.
Tatapannya masih bergeming. Seperti sedang berusaha membaca pikiranku.
"Aku Selena. Aku dokter di sini. Dan kamu?"
Masih hening.
Bahkan matanya jauh lebih tajam menatapku. Pandangannya kini bahkan seperti mengawasiku, memelototiku dari atas sampai bawah.
"Kamu mengalami amnesia. Kamu tahu artinya itu?"
Masih bergeming.
Aku kemudian mengambil pluit dan mendengungkannya di dekat telinga si pasien.
Dia terjengkang saat mendengarnya. Artinya, dia bisa mendengar aku bicara namun enggan menjawab satu katapun.
Sepertinya, keadaan pasien ini jauh lebih gawat dari yang kupikirkan. Dia tidak hanya mengalami amnesia retrogade, yang membuat ingatan lamanya saat sebelum kecelakaan hilang. Pasien juga mengalami trauma yang membuatnya tidak mau merespons orang sekitarnya.
Di saat itu, suster datang membawakan rekam medis dan data riwayat pasien. Saat aku sedang mencoba mengamati observasi yang dibuat oleh Dokter Bernard tadi malam, mataku terpancang pada nama pasien yang tertera jelas dalam laporan.
Oh, tidak.
Josh Rainer.
Dan inilah awal pertemuanku dengan Josh Rainer.
Sekaligus awal dari tragisnya kisah yang akan aku tuturkan di dalam buku ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments