Kepalaku pusing sekali.
Yang aku ingat sepertinya aku baru saja terlelap.
Sepertinya ada yang salah dengan penglihatanku pada awalnya. Pertama-tama sangat buram, kemudian kini menjadi sangat silau.
Lalu aku mendengar suara nyaring berteriak di sampingku.
"Selena sudah bangun!"
Teriakan laki-laki itu menggema di tempat yang kutebak adalah kamar rumah sakit. Seluruh tempat ini bercat putih, dengan bau rumah sakit yang khas. Aku masih menyesuaikan silaunya cahaya setelah membuka mata.
Ternyata suara Gery.
"Hai Gery," aku menyapa sahabatku sambil meringkuk di atas kasur.
"Sel kalau belum sehat gausah bergerak dulu," balasnya.
Tak butuh waktu lama, beberapa wajah sudah mengerubungiku. Aku melihat wajah Ibuku, Ayahku, Gery dan Anna.
Gery adalah teman sejak kecilku. Kami tinggal di lingkungan perumahan yang sama. Sejak SD hingga kuliah, kami selalu bersekolah di tempat yang sama.
Gery lah yang mengenalkanku dengan Dio, teman satu band dia dulu waktu di SMA. Dia bahkan menjodohkan kami menjadi pasangan sejoli yang tidak terpisahkan sejak saat itu.
Sementara Anna adalah dokter muda, sama sepertiku, yang juga satu-satunya teman dekatku saat bekerja di rumah sakit.
Kami bekerja di rumah sakit swasta terbaik di Ibukota, yang aku sedang aku inapi saat ini. Kami bahkan pernah tinggal bersama saat melakukan koas (co-assistant) di rumah sakit ini tahun lalu. Sejak itulah kami dekat.
"Aku pingsan berapa lama?" tanyaku kepada mereka.
"Tiga hari," sahut Gery. "Dan kamu belum mandi," candanya ingin menghiburku.
Namun yang kurasakan hanyalah hati yang masih sangat sakit.
Berarti sudah empat hari Dio meninggalkan dunia ini. Dan seharusnya kemarin adalah acara pernikahan kami.
Dio melewatkan pernikahan kami dengan pergi selama-lamanya, sedangkan aku kehilangan kesadaranku karena tak sanggup menghadapi ini semua.
Aku merindukanmu, Dio.
Anna memecah kebuntuan, "Sel, aku sudah minta izin sama Dokter Bernard, dia bilang kamu tidak perlu masuk sampai seminggu kedepan."
"Thanks, Na,"
"Gimana kalau kita pergi ke villa ku di Bandung, Sel? Aku bisa ambil cutiku dan kamu bisa istirahat disana. Om dan Tante juga ikut aja gapapa yuk?" ajak Anna.
Terima kasih Tuhan, meskipun orang yang paling kukasihi sudah kau panggil, aku masih tidak kekurangan kasih sayang dari keluarga dan teman-temanku saat ini.
"Na, makasih ya. Tapi aku harus cari uang tambahan," getirku.
Aku lalu menjelaskan kepada mereka berdua di depan ayah dan ibuku mengenai apa yang kami sedang alami sambil bicara sesenggukan.
Ibu memapahku dan ayah memegang tanganku membisiki aku bahwa mereka akan selalu disampingku.
"Nak, tadi Ibu dapat info katanya total biaya pernikahan kalian sekitar satu miliar," kata Ibuku berhati-hati.
Aku tidak pernah tau detail biaya pernikahan kami karena dulu Dio tidak mau merepotkan keluargaku. Semuanya Dio lah yang membayarnya.
Kemarin, keluarga Dio sudah setuju bahwa kita akan sama-sama menanggung biaya pernikahan ini. Artinya, aku hanya perlu melunasi setengah biaya ini atau lima ratus juta dalam waktu sebulan kedepan.
Masalahnya, lima ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit.
Aku tidak punya uang sebanyak itu.
"Aku punya tabungan, namun tetap tidak cukup. Aku harus cari kerja tambahan dalam waktu sebulan ini," jawabku.
Kerja apa yang bisa membuatku mendapatkan lima ratus juta dalam sebulan?
Aku juga masih belum tahu, namun aku akan berusaha mencarinya setelah aku pulih hari ini.
"Anakku, Ayah dan Ibu sudah berdiskusi mengenai ini. Ayah akan mencari pembeli untuk rumah kita. Memang rumah kita tidak besar, namun ini cukup strategis di Ibu Kota. Hasilnya bisa untuk bayar dan kita pakai untuk mengontrak."
"Ayah! itu rumah peninggalan nenek buyut yah dan seharusnya kalian hidup sampai tua nanti disana! aku tidak setuju," aku memotongnya.
"Tapi Nak..."
"Sel, kamu bisa pakai uang tabunganku kalau kamu butuh cepat," tawar Anna.
Gery disebelahku juga mengangguk sama.
"Aku tidak keberatan meminjamkan dulu tabunganku, yang penting keluarga Dio tidak menginjakmu lagi seperti ini," tawar Gery.
Air mataku sudah tak sanggup kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya mengetahui masih banyak yang peduli padaku di saat suram seperti ini.
Ibu mengusap kepalaku, ayah bahkan ikutan menangis. Anna dan Gery menggengam tanganku dan memintaku untuk kuat. Dan aku yakin, Dio di atas sana juga mengharapkanku untuk tidak kalah dengan situasi ini.
"Terima kasih semuanya," aku masih sesenggukan. "Namun ini adalah masalahku, aku tidak mau kalian ikut repot. Aku yang harus menyelesaikan ini sendiri."
"Nak, coba kamu pertimbangkan dulu ya," pinta ibuku. Wajahnya terlihat sangat kalut dan sangat sembab.
Hanya untuk membuat ibuku tenang, aku mengangguk. Tapi aku tidak boleh merepotkan siapapun. Ini masalahku, tidak seharusnya orang-orang ikut menderita karena diriku.
"Boleh aku bicara sendiri dengan Anna?" pintaku kepada Ayah, Ibu dan Gery.
Semuanya mengangguk dan pergi satu persatu dari kamarku. Gery memaksa untuk tetap tinggal. Katanya, kalau ada sesuatu yang aku rahasiakan darinya dia akan ngambek satu bulan padaku.
"Oke Ger, kamu boleh tinggal," kataku sambil menahan tawa. Gery tidak memaksudkannya, dia memang suka bertindak lucu untuk membuat semua orang senang.
Kedua pasang mata itu menatapku kini. Gery di sebelah kiriku dan Anna di sebelah kananku.
"Terima kasih, kalian benar-benar sahabat terbaik," aku mengucapkannnya dengan sungguh-sungguh. Namun, aku benar-benar kehilangan kepercayaan diriku sekarang dan butuh diyakinkan oleh mereka.
Aku lalu menceritakan apa yang dikatakan Ibu Ferdi kepadaku. Bahwa aku bisa diterima kerja di institusi kedokteran terbaik di negeri ini karena bantuan Dio. Bahwa jika bukan karena Dio, aku bukanlah siapa-siapa saat ini.
Aku semakin merasa tidak bisa apa-apa bila tidak ada mantan kekasihku itu.
"Sel, aku rasa tidak seperti itu. Dua tahun kita ngekos bareng dan menjadi pasangan magangmu, aku bisa katakan kamu betul-betul layak ada disini," kata Anna.
Gery menimbrung, "Aku rasa Ibu Ferdi hanya ingin semakin membuatmu sengsara dengan mengatakan ini. Dio mungkin memang meminta ayahnya untuk mempekerjakan kamu disini, tapi bukan karena kamu tidak mampu. Karena dia tahu kamu sangat memiliki kualitas dan dia tidak mau kamu berada di institusi yang salah."
Bertahun-tahun, aku mencoba membuktikan kepada keluarga Dio bahwa aku bisa berhasil dengan kemampuanku sendiri walaupun aku bukan berasal dari keluarga kaya.
Siapa yang menyangka bahwa karirku saat ini juga ditopang oleh mereka dari belakang? Siapa yang menyangka bahwa aku tidak bisa masuk ke institusi ini karena kemampuanku sendiri?
Untuk pertama kalinya, aku tidak sependapat dengan apa yang Dio lakukan untukku.
"Dio hanya mau membantu mewujudkan mimpimu," Anna menyemangatiku. "Ingat kata Dokter Bernard? Kamu adalah murid yang paling bisa diandalkan. Menurutmu Dokter Bernard berbohong saat mengatakan itu?"
Itu betul, Dokter Bernard bahkan menganugerahiku penghargaan sebagai dokter residen terbaik di awal-awal masa kerja dulu.
"Aku harap Dio tidak membisikan sesuatu kepada Dokter Bernard," kataku yang langsung dipotong Anna.
"Sel, kamu meragukan kejujuran dan dedikasi Dokter Bernard? Dia adalah orang paling objektif dan adil sedunia yang pernah aku kenal," Anna masih berusaha menguatkan hatiku.
"Selena, apa aku harus menyebutkan apa saja prestasimu sejak SD dulu? juara cerdas cermat, juara debat, juara olimpiade kimia, juara catur juga tingkat kelurahan pas di tingkat kecamatan tapi kalah sama Gery Mahabrata," cerocos Gery.
Aku dan Anna tak bisa menahan tawa.
Aku sungguh beruntung masih memiliki Gery dan Anna di saat-saat terbawahku saat ini.
Dan inilah cobaan berat pertamaku tanpa Dio.
Mungkin, Tuhan memang menginginkanku untuk mandiri dengan tidak selalu menggantungkan nasibku pada mantan kekasihku yang kini telah tidur lebih dahulu itu.
Dio, doakan aku kuat disini sebelum kita bertemu lagi disana ya.
Aku akan selalu mencintaimu. Betapapun bodohnya kamu untuk selalu mencoba membahagiakanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments