Melani sedang menikmati makan siangnya bersama Diah di sudut kafe, ketika tiba-tiba Toni menghampiri mereka.
“Hai, gadis-gadis cantik. Boleh saya ikut makan bersama kalian?” cetus pria yang punya julukan play boy kampungan karena kesenangannya menggoda para perempuan.
“Memangnya ke mana si Ida? Apa dia tidak cemburu melihat kamu makan bersama kami di sini?” sindir Diah.
“Ah, kamu ini suka ngrecokin orang saja. Siapa bilang aku pacaran sama Ida. Yang benar, aku sedang memburu putri cantik yang jadi primadona di sini,” tukas Toni seraya duduk di sebelah Melani.
“O ya? Siapa putri cantik itu?”
Toni menggerakkan ekor matanya ke arah Melani.
“O, jadi kamu mau mendekati Melani, ya?”
“Kasarannya begitu, deh. Tergantung Melani, mau kasar atau lembut? He he he…,” gurau Toni sambil terkekeh.
“Ah, kamu ini bisa saja, Ton. Apa tidak salah? Dibanding Ida, aku ini tidak ada apa-apanya. Ida lebih cantik!” tepis Melani jengah.
“Jangan terlalu merendahkan diri begitu, Mel. Semua orang di sini tahu, kamu lebih cantik dari Ida. Swear, deh! Aku tidak gombal!”
Diah mencibirkan bibirnya mendengar rayuan Toni. “Alaah, dasar buaya! Hei, play boy kampungan, kamu jangan coba-coba dekati Melani, ya! Dia ini sudah punya pacar, tahu!” ujar Diah memperingatkan Toni.
“Pacar yang mana? Aku enggak pernah lihat Melani diantar atau pergi bersama seorang pria. Wajah polos Melani ini sudah memperlihatkan kalau dirinya masih jomblo. Iya, enggak, Mel?” tukas Toni menoleh pada Melani dengan yakin.
Melani hanya diam dan tersenyum simpul.
“Melani ini mau jadi pacarnya Rico, tahu!” ujar Diah menegaskan.
Toni malah tertawa mendengar ucapan Diah. “Eh, dapat isu dari mana tuh? Tidak mungkin Melani mau sama dia. Orang lagaknya kayak banci begitu. Iya, enggak, Mel?” katanya sok yakin.
“Sst, jangan keras-keras! Nanti Rico dengar kamu bisa dibunuhnya!” Diah memperingatkan Toni yang bersuara terlalu keras.
“Biar saja kalau dia berani!” Toni tidak peduli.
“Brengsek!” umpat Diah kesal.
“Sudahlah, Diah. Kenapa kamu mesti sewot begitu. Aku kan tidak berurusan dengan kamu. Aku ke sini ingin makan siang bareng Melani. Lebih baik kamu telepon si Deni suruh ke sini nemenin kamu makan siang. Biar aku bisa berduaan dengan Melani di sini. Adil, kan?”
“Huh, mau kamu!” dengus Diah.
“Sudah, sudah! Kenapa kalian jadi ribut sih? Kalian mau makan atau mau berdebat? Aku tidak keberatan Toni makan bareng kita di sini. Tapi itu bukan berarti aku bisa jadi pacarnya begitu saja. Aku bukan gadis sembarangan yang bisa digaet pria dengan mudah. Memang aku cewek apaan? Jadi sudah jelas, kan?” cetus Melani mengakhiri perdebatan mereka.
Toni yang tadinya agak senang mendengar pernyataan Melani yang tak keberatan dengan kehadirannya berubah muram saat gadis itu menegaskan sikapnya. Diah yang melihat Toni mendapat serangan telak langsung mencibirkan bibirnya ke arah Toni. “Tuh, dengerin apa kata Melani!”
Toni hanya bisa cemberut.
Tiba jam habis kantor. Satu persatu dari mereka mengemasi barang-barangnya. Mereka berhamburan keluar dari ruang kerjanya masing-masing. Pulang. Tapi di mejanya Melani masih tampak sibuk. Diah yang satu ruangan dengan Melani juga sudah memberesi mejanya. Sepertinya dia juga hendak pulang.
“Kamu tidak pulang, Mel?” Tanya Diah.
“Nanti saja, Di. Masih ada beberapa berkas yang harus kuselesaikan,” jawab Melani.
“Sudahlah, Mel. Diteruskan besok kan bisa. Jangan workaholic begitu dong. Nanti kamu jatuh sakit.”
“Tidak, Di. Aku bisa jaga kesehatan, kok!”
“Kamu kok kayaknya tidak mengenal lelah saja sih, Mel? Dari pagi sampai malam kamu kerja seperti mesin saja. Apa kamu tidak capek dan bosan?”
Melani tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya mantap.
“Hati-hati lho, Mel! Orang yang kecanduan kerja itu biasanya mudah kena penyakit,” ujar Diah tak bermaksud menakut-nakuti, melainkan memperingatkan.
“Jangan kayak nenek-nenek, Di,” balas Melani.
“Aku serius lho, Mel. Orang yang kecanduan kerja itu biasanya mudah terkena serangan jantung, insomnia, darah tinggi, dan macam-macam lagi. Kamu bisa baca itu di majalah kesehatan.”
“Ya, ya, aku tahu, Nek. Kalau kamu masih bicara begitu kamu juga tak ada waktu untuk pulang.”
“Jam berapa kamu akan pulang?”
“Satu jam lagi sudah rampung,” kata Melani.
“Kalau begitu aku akan suruh Deni untuk menjemputmu nanti…”
“Tidak usah, Di. Aku bisa naik taksi, kok!”
“Tak baik perempuan pulang malam sendirian, Mel. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu…?”
“Jangan khawatir, Di. Aku bisa jaga diri, kok. Lagian aku sudah biasa pulang malam sendirian. Kamu tak perlu menyuruh Deni menjemputku. Kasihan dia, kan juga capek seharian bekerja.”
“Ya, sudah….!” Diah ngeloyor pergi dari hadapan Melani.
Gadis itu hanya memandangi kepergian sahabatnya dari mejanya hingga bayangannya lenyap dari balik pintu. Melani kemudian meneruskan kegiatannya memencet tuts keyboard komputernya sambil sesekali membuka-buka berkas di mejanya. Suasana di ruangan tempatnya bekerja sunyi senyap. Semua pegawai sudah pada pulang. Hanya ada suara ketukan jari jemarinya di atas keyboard memecah kesunyian. Melani tidak takut bekerja sendirian di tengah suasana sepi itu. Toh, di ruang depan ada petugas security yang berjaga malam. Juga di ruangan lain tentu ada pegawai yang lagi kerja lembur.
Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sejenak Melani meregangkan tubuhnya melemaskan otot-ototnya yang kaku. Dia lalu mengemasi barang-barangnya. Ballpoint, buku agenda, HP, dan beberapa barang penting lainnya dimasukkan dalam tas. Setelah itu ia beranjak dari tempatnya dan keluar dari ruangan. Tapi sebelum pulang, Melani mampir dulu ke toilet. Dia ingin buang air kecil dan membenahi wajahnya yang terlihat masai.
Saat dia berjalan menyusuri koridor menuju ruang toilet, tiba-tiba matanya seperti menangkap sekelebat bayangan di ujung koridor. Melani menengokkan kepalanya, ingin tahu siapa orangnya. Tapi tak ada siapa-siapa. Ah, mungkin hanya perasaanku saja, batinnya tak menggubris. Melani lalu memasuki ruang toilet dan pipis di kamar kecil. Setelah itu dia menuju ke deretan wastafel untuk cuci muka. Dia memandangi bayangannya pada cermin besar yang menempel pada dinding toilet. Sejenak dia membenahi baju dan bedak di wajah. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Melani tercekat.
“Siapa itu….? Pak Bardi…?” seru Melani mengira suara itu datang dari langkah kaki Pak Bardi, petugas cleaning service. Tapi tak ada sahutan. Suara langkah kaki itu pun berhenti.
Tiba-tiba Melani merasakan bulu kuduknya jadi merinding. Dia teringat film horor yang pernah ditontonnya. Dalam film horor itu biasanya digambarkan makhluk halus atau monster yang meneror manusia, tak peduli di tempat gelap atau terang. Seperti film horor yang menggambarkan teror makhluk menyeramkan di dalam ruangan kantor.
Meski ruangan kantor terang oleh cahaya lampu, hantu atau makhluk halus berani menampakkan dirinya. Memang semua itu cuma khayalan atau fiktif belaka, tapi cukup mempengaruhi pikiran alam bawah sadar Melani. Hatinya jadi tercekam dan gemetar ketakutan. Dia lalu buru-buru menyelesaikan bebenahnya dan bergegas keluar ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
💋♥🌹 devita 🌹♥💋
macem 2
2022-06-19
4