Primadona

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tak terasa satu bulan telah berlalu. Melani menerima gajinya yang pertama. Meski nominalnya tak terlalu besar, baru standar UMR, namun Melani menerimanya dengan rasa syukur dan bahagia bukan main. Rasa suka cita memancar di wajahnya. Begitu menerima amplop berisi uang gajinya, Melani langsung bergegas pulang. Dia ingin berbagi kebahagiaan dengan keluarganya. Sebagian uang gaji ini akan diberikan pada ibunya, sementara sebagian disimpan untuk keperluan sendiri. Buat adik-adiknya, Nina dan Doni, Melani mentraktir mereka makan di Mc Donald. Mereka senang bukan main.

Melani memang bukan gadis egois. Dia bercita-cita membahagiakan keluarganya. Dia berjanji kelak jika karirnya sudah lancar dan gajinya meningkat, dia akan membelikan rumah untuk keluarganya. Biar mereka tidak dipusingkan lagi dengan tarif sewa rumah yang setiap tahun terus naik. Dia juga ingin membahagiakan ibunya. Dia akan meminta ibunya berhenti berjualan kain keliling dan banyak beristirahat di rumah. Kasihan usianya sudah semakin tua. Biar urusan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah adik-adiknya, dirinya yang bertanggung jawab.

Semua impian indah itu menjadi pemicu semangat dan gairah Melani untuk lebih giat lagi bekerja. Mudah-mudahan harapannya terkabul. Semoga!

 

“Mel, kamu dapat salam!” ujar Diah membisiki Melani saat baru tiba di mejanya pagi itu.

“Salam dari siapa?” tanya Melani penasaran.

“Rico!”

“Rico?”

“Ya! Staf keuangan yang ganteng itu, lho! Dari pertama dia sudah naksir kamu. Tapi dia belum berani mengungkapkan isi hatinya. Dia khawatir kamu sudah punya pacar,” cetus Diah.

Melani tersenyum geli. Dia menggelengkan kepala.

“Kamu belum punya pacar? Kamu mau menerima salam dari Rico?” ujar Diah menggoda.

“Bukan! Aku memang belum punya pacar, tapi aku belum ingin menjalin hubungan istimewa dengan laki-laki. Aku masih ingin sendiri,” kata Melani kalem.

“Kenapa? Apa kamu trauma pernah diputusin pacar?”

“Enggak, Di. Aku enggak trauma. Aku cuma belum berpikir hal itu!”

“Tapi gadis seusia kamu semestinya sudah punya pacar, bahkan sudah mulai berpikir tentang pernikahan!”

“Ah, tidak. Aku belum berpikir ke arah sana. Aku masih ingin memikirkan karir dulu.”

“Karir dan cinta kan bisa juga seiring sejalan?”

“Ah, sudahlah, Di, jangan ngomongin soal itu. Sampaikan sama Rico, terima kasih atas salamnya. Tapi kita temenan aja…”

“Teman tapi mesra ya…? He he he…!” goda Diah.

“Ah, sudahlah, Di. Jangan goda aku terus!” Melani jadi tersipu-sipu malu.

“Sebenarnya aku heran sama kamu, Mel. Gadis secantik dan seceria kamu belum juga mau pacaran. Padahal tak sedikit cowok yang naksir berat sama kamu. Begitu kamu hadir di sini, semua kumbang pada berdengung membicarakan kamu. Kalau kamu mau, kamu bisa memilih satu diantara puluhan pria ganteng di kantor ini. Kalau mau yang berkedudukan tinggi kamu bisa pilih Pak Frans yang ganteng, bujangan, mapan, tajir lagi. Dia kayaknya juga naksir kamu. Hanya gayanya saja yang sok angkuh dan dingin. Padahal kulihat dia suka melirik kamu saat makan siang di kantin. Sumpah, deh!” tutur Diah mulai keluar nyinyirnya.

“Tuh, kan, ngomongin soal cowok lagi. Sudahlah, Di! Omong soal lain saja!” tukas Melani cemberut, pura-pura keki.

“Sori, Mel. Aku cuma ingin lihat kamu punya pasangan buat diajak have fun. Kalau kamu punya pacar, kita kan bisa happy sama-sama. Perasaanku enggak enak kalau setiap kali ngajak kamu pergi dengan Deni, kamu jadi kayak kambing congek…”

“Aku mengganggu acara pacaran kalian, ya?”

“Bukan begitu, Mel. Aku dan Deni senang kok kalau bisa mengajak kamu pergi bersenang-senang. Kita malah yang tidak enak kalau kamu merasa tidak enjoy saat pergi bersama kami.”

“Jangan berpikiran seperti itu, Di. Aku merasa enjoy kok pergi bersama kalian!” tukas Melani.

“Sebenarnya pria kayak apa sih yang kamu idamkan, Mel. Apa yang kayak Pak Frans, Rico, atau… Toni? Wah, kalau yang kayak Toni jangan deh, Mel. Soalnya Toni itu orangnya urakan, tidak tahu sopan santun. Mendingan yang kayak Pak Frans. Kalau mau, nanti aku comblangin sama dia…?” tawar Diah.

“Kalau aku sih suka pria yang kayak Deni!” cetus Melani sambil tersenyum menggoda.

Diah pura-pura cemberut. “O, awas kalau kamu merebut dia!” ancamnya.

“Sori, Di, cuma bercanda. Tapi jujur saja, aku sangat terkesan dengan pria seperti Deni. Dia begitu sabar, lembut, romantis, dan lebih penting dari itu adalah sangat setia. Aku tidak menyangka ada cowok kayak Deni yang begitu setia menemanimu selama empat tahun lebih. Wah, bener-bener cowok setia! Kamu sangat beruntung memiliki kekasih seperti Deni. Kalian juga jarang berantem. Cuma anehnya, kenapa kamu enggak segera mengajaknya menikah? Memang apa sih yang kalian tunggu?” puji Melani berujung tanya.

Diah mendesah napas panjang. Wajahnya tiba-tiba berubah mendung. “Itulah yang aku bingung, Mel. Aku enggak tahu, mau dibawa ke mana hubungan kami ini. Kalau dilihat dari gelagatnya sih, Deni sangat sayang dan cinta banget sama aku. Tapi gimana ya, kami belum bicara soal pernikahan. Aku enggak berani memulai. Soalnya Deni sendiri sepertinya juga masih enggan…”

“Semestinya kamu bisa tegas, Di. Kamu mesti memastikan keseriusan Deni. Tidak ada salahnya kalau kamu lebih dulu yang memulai bicara. Ini bukan jamannya lagi cewek menunggu. Cewek juga bisa ambil inisiatif!”

“Tapi, Mel, aku takut nanti dia tersinggung. Biar saja aku menunggu keputusan darinya. Pria kalau dikejar-kejar nanti malah lari. Aku bisa bersabar, kok!” ujar Diah penuh ketegaran.

“Ya, mudah-mudahan Deni cepat mengambil keputusan, Di. Aku sangat mendukung pernikahan kalian,” ucap Melani memberi keyakinan.

Diah tersenyum. Hatinya cukup terhibur oleh ucapan Melani. Dia lalu mengibaskan tangannya. “Ah, sudahlah… Pagi-pagi kok sudah ngomongin cowok!” ujarnya geli sendiri.

Melani ikut tersenyum geli.

Selama ini Melani memang tidak pernah berpikir soal lelaki. Bukannya dia tidak punya keinginan untuk menikmati indahnya bunga asmara dengan kekasih tercinta, juga bukan karena tak ada lelaki yang suka padanya. Sejak masih SMA Melani sudah menjadi idola para cowok. Dulu, waktu masih berusia ABG, dia punya teman dekat cowok, tapi hubungan mereka tak berlangsung lama. Sang cowok mengkhianatinya. Melani pun enggan untuk berhubungan dengan cowok lagi. Keengganan itu berlanjut ketika ayahnya meninggal dunia.

Kepergian sang ayah tercinta terasa sangat memukul jiwanya, membuatnya dirundung kesedihan mendalam. Maklumlah, semasa hidupnya sang Ayah merupakan orang yang paling dekat dengannya sekaligus menjadi pelindung satu-satunya. Figur sang Ayah begitu lekat dalam hatinya. Entah, karena kecintaannya yang dalam pada almarhum ayahnya membuat Melani sulit menjalin hubungan dekat dengan pria. Dia mengangankan pria yang bisa mewakili figur ayahnya, dan sayangnya dia tidak pernah menemukan pria seperti itu. Hingga sekarang!

Terpopuler

Comments

Kawi Syar

Kawi Syar

Cerita nya keren saya tertarik

2023-07-26

0

Novianti Ratnasari

Novianti Ratnasari

mungkin Deni punya gebetan baru, jadi belum mau serius

2022-10-11

1

Rasda Lumban Gaol

Rasda Lumban Gaol

good

2022-09-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!