Mungkin karena hal itu Melani belum ingin memikirkan jodoh. Dia belum siap menjalin sebuah ikatan. Tapi mungkin juga keengganan Melani menjalin hubungan istimewa dengan laki-laki karena dia tidak ingin terganggu oleh urusan itu. Dia sedang membangun mimpinya menjadi wanita yang sukses. Dia ingin mengangkat derajat hidup keluarganya yang terpuruk sejak kepergian sang Ayah. Melani tidak egois memikirkan kesenangan dirinya.
Sebagai anak tertua Melani dituntut kewajiban menjadi tulang punggung keluarga. Dia ingin memikirkan kepentingan keluarganya dulu dari pada memikirkan kepentingannya sendiri. Lagi pula dia juga ingin menikmati kesendiriannya ini semasa masih muda. Dia ingin membangun karir dulu. Membahagiakan keluarganya. Itu yang paling penting. Toh yang namanya jodoh sudah ada yang mengatur. Jika tiba saatnya pasti akan datang juga, demikian keyakinannya.
Meski terkadang beberapa temannya mengolok dirinya yang belum memiliki pacar di usia yang sudah dewasa. Bahkan beberapa temannya sudah bertunangan dan menikah, malah ada yang sudah punya anak. Jika bertemu mereka selalu bertanya, mana pacarmu? Sudah nikah belum? Kapan kawin? Melani hanya bisa menjawab dengan senyuman. Tunggu saja tanggalnya, jawab Melani dalam hati.
Berkat ketekunannya dalam bekerja dan prestasi yang cukup baik Melani akhirnya berhasil menapaki jenjang karir selangkah lebih meningkat. Kini dia diangkat menjadi asisten manajer yang menangani bidang keuangan. Gaji yang diterimanya pun naik beberapa kali lipat. Melani mendapatkan beragam tunjangan kerja yang cukup lumayan. Dengan gajinya itu Melani bisa membelikan barang-barang kesukaan ibu dan adik-adiknya. Dia juga bisa membeli keperluannya sendiri seperti baju baru, kosmetik, tas, sepatu, dan juga ponsel untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari.
Melani bahagia telah mampu hidup mandiri dan membantu kebutuhan hidup keluarganya. Bisa dikatakan Melani sekarang sudah berhasil menggapai apa yang menjadi harapan dan cita-citanya. Namun demikian Melani merasa belum puas. Dia tidak ingin berhenti sampai di sini. Dia ingin terus meningkatkan jenjang karirnya hingga lebih tinggi lagi. Kepercayaan yang diberikan atasan kepadanya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk bekerja lebih giat dan mencetak prestasi. Melani mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan. Tak jarang dia harus lembur dan membawa pekerjaannya ke rumah demi mendapatkan hasil yang maksimal.
Melihat betapa sibuk dan kerasnya Melani bekerja membuat hati Bu Marni was-was juga. Beliau khawatir Melani jatuh sakit dan stres karena tekanan pekerjaan yang demikian berat. Beliau lalu mencoba mengingatkan putrinya agar jangan terlalu ngoyo dalam bekerja.
“Apa kamu tidak merasa capek bekerja keras siang dan malam? Ingat kesehatanmu, Mel. Kalau terlalu ngoyo nanti kamu bisa jatuh sakit!” demikian ujar Bu Marni mengingatkan.
“Saya tidak merasa capek kok, Bu. Saya bisa menjaga kesehatan saya walaupun tugas yang saya kerjakan sangat banyak. Saya memang sengaja bekerja lebih keras untuk menunjang karir saya,” kata Melani meyakinkan.
“Tapi apa yang kamu dapatkan sekarang sudah lebih dari cukup, Mel. Sebagian gaji yang kamu berikan pada Ibu sudah bisa mencukupi kebutuhan kita, membiayai sekolah adik-adikmu, dan keperluan lainnya. Jadi kamu tak perlu bekerja terlalu keras lagi, yang biasa saja!”
“Tidak, Bu. Masih banyak hal yang belum bisa saya cukupi. Saya ingin membelikan rumah untuk Ibu, saya juga ingin menyekolahkan Nina dan Doni hingga ke perguruan tinggi. Sebentar lagi Nina mau ujian dan meneruskan ke universitas. Itu kan butuh banyak biaya, Bu. Karena itu saya mesti mempersiapkannya dari sekarang.”
“Tapi itu bukan berarti kamu harus mengabaikan kepentingan dirimu dan masa depanmu kan, Mel?”
“Maksud Ibu?”
“Soal sekolah Nina dan Doni ibu masih sanggup mengurusnya. Kamu tak perlu khawatir. Gaji pensiunan ayahmu bisa digunakan untuk membiayai sekolah mereka. Kamu jangan terlalu memikirkan hal itu. Ibu justru ingin kamu bisa memikirkan kepentingan hidupmu dan masa depanu. Kamu sudah dewasa, Mel. Sebagai wanita yang sudah dewasa kamu tentu tahu ke mana arah yang akan kamu tuju. Kamu akan menikah dan menjalani hidup berumahtangga. Nah, lebih baik kamu mempersiapkan dirimu untuk keperluan itu. Kamu bisa menabung untuk kebutuhan rumah tanggamu nanti,” tutur Bu Marni menerangkan.
“Ah, Ibu… Kok jadi ngomongin soal nikah segala?” Melani jadi tersenyum kecut. “Saya belum berpikir ke arah sana, Bu. Pacar saja saya belum punya, bagaimana mau mikir soal nikah?”
“Makanya, kamu mesti bisa membagi waktu dengan baik. Jangan hanya memikirkan soal pekerjaan. Bagaimana laki-laki mau mendekati kamu, kalau kamunya terlalu sibuk dan serius mengurusi pekerjaan. Sekali-kali luangkan waktumu untuk bergaul di luar. Biar bisa kenal dengan banyak orang. Ibu tak mau kamu terlalu suntuk dengan pekerjaan hingga mengabaikan kepentingan hidupmu sendiri. Kamu bisa jadi perawan tua dan tak laku kawin karena tak pernah bergaul dengan laki-laki,” ujar Bu Marni penuh kekhawatiran.
“Ah, Ibu! Jangan terlalu khawatir begitu, dong. Di kantor saya kan juga bergaul, Bu. Bahkan di kantor banyak laki-laki bujangannya. Beberapa diantara mereka malah ada yang naksir sama saya. Tapi saya kan mesti berpikir lebih matang dan bijaksana. Untuk saat ini saya belum ingin menjalin hubungan terlalu dekat dengan laki-laki. Saya masih ingin memikirkan keluarga ini dulu. Nanti kalau cita-cita saya sudah tercapai, baru memikirkan soal pernikahan. Percayalah, Bu. Bila tiba saatnya nanti, saya pasti akan dapatkan jodoh. Masak sih, gadis secantik saya tak bakal dapat jodoh. Iya, enggak, Bu?” ujar Melani penuh percaya diri, berusaha meyakinkan ibunya.
Bu Marni tercenung. Sebenarnya dia percaya pada keyakinan anaknya. Sejak kecil Melani sudah menunjukkan rasa tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik. Dia mampu memenuhi segala harapan yang diinginkan orang tua. Dia juga bisa memimpin dan melindungi adik-adiknya. Kepergian sang Ayah yang sebenarnya begitu dekat dengan Melani justru mampu menempa dirinya menjadi wanita yang tegar dan mandiri. Melani mampu menunjukkan kemampuannya mengurus segala sesuatunya dengan baik. Dia merupakan teladan bagi adik-adiknya.
Namun entah kenapa, sebagai ibunya ada sedikit rasa khawatir di hati Bu Marni. Mungkin ini sesuatu yang wajar dari naluri seorang ibu. Di mana pun seorang ibu menginginkan hal terbaik pada anak-anaknya. Mengharapkan kebahagiaan melingkupi hidup anaknya. Hanya saja, haruskah karena hal itu dia lalu menghalangi apa yang menjadi pilihan dan kehendak anaknya? Rasanya ini juga terlalu otoriter dan semena-mena. Dirinya mesti bersikap adil dan bijaksana pada sang anak. Jika memang Melani merasa bahgia dan enjoy dengan apa yang sudah menjadi tekad dan keinginan hatinya, kenapa harus dipaksa memilih jalan yang tidak diinginkannya?
Bu Marni mendesah panjang sekadar membuang gundah dalam hatinya. Dia mencoba menyadari persoalan ini. Mungkin cara berpikirnya masih terlalu kolot dan kuno. Dia mesti memberi kepercayaan penuh pada Melani untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Karena Melani sendiri sudah menunjukkan kematangan dan kedewasaannya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
💋♥🌹 devita 🌹♥💋
sedikit serunya
2022-06-19
6
Hani Hanifah
seruu
2021-12-08
0