Trauma Perkosaan

Melani masih trauma untuk kembali ke kantor. Bayangan pemerkosaan itu masih menghantuinya. Jika dia masuk kantor dan si pemerkosa kembali melakukan aksi kejahatan pada dirinya, oh, sungguh Melani tak sanggup untuk menghadapinya. Jiwanya masih dicekam ketakutan dan kengerian oleh perbuatan si pemerkosa. Dia sadar, si pemerkosa mungkin orang dalam alias karyawan di kantor itu. Dirinya tidak akan bisa berkonsentrasi lagi pada pekerjaan, karena mata dan telinganya akan terus mengawasi orang-orang di sekitarnya. Pikirannya sibuk menduga-duga siapa gerangan orang yang telah merenggut keperawanannya.

Sungguh, ini bukan hal yang mudah untuk dilalui!

Tapi seperti kata Diah tadi, jika dirinya tidak masuk kantor lagi, maka boleh jadi surat peringatan akan melayang kepadanya dan ini bisa menjatuhkan konduitenya. Melani tak mau mendapatkan SP yang bisa berujung pada pemecatan dirinya. Tak terbayangkan, apa jadinya bila dirinya sampai dipecat dari pekerjaan. Sumber penghidupan bagi keluarganya akan mati. Keadaan ekonomi keluarganya akan terpuruk. Semuanya akan kembali ke titik nadir. Bukan hanya dirinya yang akan menanggung akibatnya, tapi juga Ibu dan adik-adiknya. Oh, tidak! Melani tak sanggup menghadapi kenyataan yang lebih pahit lagi.

“Kenapa kamu diam saja, Mel? Apa yang kamu pikirkan?” tegur Diah membuyarkan lamunan Melani.

“Tidak, Di. Tidak ada yang kupikirkan. Ya, besok aku akan usahakan bisa masuk kantor lagi,” kata Melani.

“Tapi kalau masih sakit jangan memaksakan diri, Mel. Mendingan kamu ke dokter dulu…”

“Tidak, Di. Aku sudah cukup baikan, kok!”

“Bener nih, kamu sudah merasa baik?”

“Lihat saja besok. Aku pasti sudah sehat lagi!” ujar Melani meyakinkan.

“Ya, sudah. Aku senang kalau kamu tidak apa-apa. Aku tunggu kamu besok di kantor!” Diah menepuk bahu sahabatnya pelan.

Melani hanya tersenyum. Diah lalu permisi pulang. Melani mengantar sahabatnya itu sampai di depan pintu. Ada perasaan kelu menggulung dalam batinnya. Ah, kenapa aku harus bersandiwara. Haruskah aku menjalani hidup dengan cara seperti ini? Bersembunyi di balik kenyataan pahit yang terjadi.

Pagi itu Melani berangkat ke kantor. Namun baru saja langkah kakinya keluar dari rumah perasaannya diliputi rasa gugup dan takut. Hatinya dicekam kegalauan. Sambil berjalan matanya selalu menengok ke belakang, seakan merasa ada orang mengikutinya. Setiap kali berpapasan dengan orang di jalan, terutama kaum laki-laki, dia menyisih agak jauh. Dia khawatir kalau-kalau si pemerkosa adalah seseorang diantara mereka. Dia juga merasa benci melihat wajah laki-laki. Mereka tak ubahnya binatang buas yang tak mengenal belas kasihan. Kaum laki-laki adalah makhluk pengecut yang hanya bisa bersembunyi di balik kegelapan dan menganiaya kaum wanita yang lemah.

Sungguh, betapa berat siksaan dirasakan Melani. Setiap kali ada orang memandang ke arahnya, perasaannya jadi khawatir dan malu. Dia khawatir kalau orang itu berniat jahat. Dia juga malu jika orang itu tahu dengan keadaannya yang sebenarnya. Pandangan mata mereka seakan mengandung tuduhan dan cemoohan. Melani jadi gugup dan salah tingkah. Dia lantas berjalan terburu-buru, menghindar dari pertemuan dengan orang-orang di jalan. Ketika tiba di pinggir jalan dia segera menyetop taksi. Perasaannya agak tenang dan lega saat berada dalam taksi yang membawanya menuju ke kantor.

Namun ketika tiba di kantor, ketegangan dan kecemasan kembali melandanya. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Timbul trauma dan kengerian atas peristiwa buruk yang kemarin dialaminya. Untuk beberapa saat dia berdiri terpaku di depan pintu masuk kantor. Seakan dia takut memasuki ruangan yang telah membawa bencana bagi hidupnya. Dia dicekam ketakutan amat sangat. Hampir-hampir dia akan berbalik dan melangkah pulang, tapi tepukan seseorang di pundak menyadarkannya. Melani sempat terpekik kaget. Ketika menoleh, ternyata seorang wanita teman kerjanya.

“Mbak Melani kok bengong saja di sini?” tegurnya.

“Eh, enggak… Aku lagi menunggu seseorang,” jawab Melani berbohong.

“Siapa? Mbak Diah? Kayaknya dia belum datang. Ayo, ke dalam, Mbak!”

“Ya, ya…!”

Dengan gugup Melani memasuki ruang kantornya. Dia bergegas menuju ke mejanya. Begitu sampai di mejanya dia langsung duduk di kursi. Untuk beberapa saat dia duduk mematung di tempatnya tanpa berbuat apa-apa. Matanya justru sibuk mengawasi orang-orang di sekelilingnya. Mengamati gerak-gerik rekan-rekannya di meja lain. Ketika ada rekannya yang menyapa, Melani tak membalas. Entah, karena dia terlalu konsentrasi pada pikirannya sendiri, sehingga tak terlalu mempedulikan suara-suara di sekitarnya. Ekspresi wajahnya tampak dingin dan datar. Bayangan sang pemerkosa menghantui benaknya!

“Selamat pagi, Mel!” Sebuah sapaan lembut membuyarkan lamunan Melani. Gadis itu segera menoleh. Ternyata Diah sudah berada di sampingnya.

“Diah!”

“Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?”

“Ya… sudah… aku sudah baikan…”

“Kamu kok gugup begitu sih. Kalau kamu masih sakit, jangan dipaksakan masuk dong.”

“Ah, enggak, Di. Aku sudah sehat, kok.”

“Beneran?”

“Swear!”

Melani menatap Melani seksama, seakan ingin meyakinkan hatinya. Melani jadi tak enak. Dia segera membuang pandangannya.

“Ya, sudah kalau kamu sudah sehat. Tapi kalau nanti masih merasa sakit, kamu bilang sama aku ya?” ujar Diah penuh perhatian.

Melani mengangguk sambil tersenyum. Hatinya tentram mendengar kata-kata Diah yang menyejukkan. Diah memang sahabat yang baik.

“Oh ya, Di. Kemarin apa saja tugas yang diberikan Pak Tejo?” tanya Melani tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

“Tidak banyak kok, Mel. Aku cuma menyalin beberapa file yang pernah kamu kerjakan. Untuk tugas selanjutnya nanti Pak Tejo sendiri yang akan memberikannya padamu,” jawab Diah.

“Terima kasih ya, Di. Kamu telah banyak membantuku…”

“Sama-sama, Mel…”

Melani kemudian mengawali kegiatannya dengan menyalakan computer dan memeriksa file-file yang kemarin dikerjakan Diah. Tiba-tiba telepon di atas meja berdering. Melani mengira telepon itu untuk Diah, tapi rekannya itu malah menyuruh dirinya yang mengangkat.

“Itu telepon di mejamu, Mel. Mungkin dari Pak Tejo,” cetus Diah.

Melani tertegun sebentar. Sepagi ini Pak Tejo sudah menelepon? Batinnya heran. Melani agak ragu-ragu ketika mengangkat gagang telepon.

“Halo, selamat pagi?” sapanya ramah.

“Selamat pagi, Manis. Akhirnya kamu mau juga datang ke kantor. Rupanya kamu sangat terkesan dengan peristiwa malam itu. Mungkin kita bisa melakukannya sekali lagi, Sayang…?” Suara yang berat dan dalam itu seperti sambaran petir, mengejutkan jantung Melani.

Mata gadis itu melotot tajam. Wajahnya berubah pias dan tegang. Hampir-hampir saja dia akan berteriak memaki si penelepon kalau saja tak ingat sedang berada di dalam kantor. Dia tak mau menarik perhatian rekan-rekannya. Melani hanya bisa mengatupkan geraham geram dan berdesis marah. “Kamu…?!!”

“Siapa, Mel? Kok wajah kamu kelihatan tegang begitu?” tanya Diah yang duduk di sebelahnya dengan nada heran, karena tiba-tiba ekspresi Melani berubah saat menerima telepon itu.

Melani tak menanggapi pertanyaan Diah. Dia masih mendengarkan suara orang di seberang. “Jangan lupa, Sayang. Nanti malam kita nikmati lagi indahnya bercinta he he he…!”

Melani tak tahan lagi. Dia membanting gagang telepon dan bergegas pergi dari tempatnya. Diah jadi kaget. Dia tak mengerti apa yang sedang terjadi pada Melani. Dia segera beranjak menyusul sahabatnya itu. Sesampai di koridor dilihatnya Melani berjalan setengah berlari menuju ke pintu keluar.

“Melani, tunggu!” seru Diah sambil berlari kecil menuju kea rah Melani. Tapi gadis itu tak menggubris panggilannya.

 

 

Terpopuler

Comments

Yoko yu

Yoko yu

jgn ke toilet malam" lgi donk, jgn lembur juga gmn klo hamil ?

2022-02-09

3

Hani Hanifah

Hani Hanifah

deni

2021-12-08

0

Nina Sii Lotus

Nina Sii Lotus

toni mungkin

2021-11-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!