“Sha, kita emang baru kenal hitungan hari, entah mengapa aku punya pesaraan seyakin ini dengan kamu. Entah karena umurku atau memang murni perasaanku, yang pasti aku siap jika Ayahmu memintaku untuk menikahimu”
Ucapan Mas Herdi masih terngiang dikepalaku. Bagaimana bisa Mas Herdi mengatakan hal seperti itu? Padahal kita belum lama kenal. Mengapa enteng sekali dia mengucapkan kata itu?
Menikah? Haaahh… bahkan kata itu belum terbesit dipikiranku sama sekali. Tunggu..! Apa jangan-jangan Mas Herdi itu cuman bercandain aku aja ya? atau jangan-jangan Mas Herdi itu playboy ?!
Ibuku yang tiba-tiba memanggil, langsung membuyarkan semua pikiranku.
“Sha, sini makan dulu.” Ajak ibu untuk makan malam bersama.
Ketika kami sedang makan, tiba-tiba ayah mengucapkan sesuatu yang membuatku tersedak.
“Sha, jadi kapan pacar kamu mau kesini lagi buat ngelamar kamu?”
“Uhuukk..uhuukkk!” Aku langsung mengambil air minum untuk meredakan batukku.
“Anaknya sopan ya yah, kalem diliatnya." Entah mengapa ibuku seakan memberi bumbu pada ucapannya.
“Enggak gitu, Mas Herdi itu cuman temen kok, cuman temen. Yaa mungkin apa yang dibilang Mas Herdi kemaren itu cuman basa-basi aja yah, atau enggak ya cuman asal nyeletuk aja karena udah deg-degan duluan ditanyain sama ayah.”
“Sha, sebenarnya ayah kurang suka kalau kamu pacaran. Takutnya mengganggu kuliah kamu. Apalagi kan kamu juga baru masuk. Kalaupun kamu suka, ayah nggak melarang kamu punya hubungan sama dia. Tapi ayah pertegas, kalau urusan kencan, kalian nggak boleh keluar jika dia nggak minta izin ke ayah dulu atau dia nggak jemput kamu duluan.”
“Yah…”
Belum sempat aku menjawab ayah sudah memotong apa yang akan aku katakan.
“Jangan sampai dia ganggu kuliah kamu. Kalian nggak boleh keluar lebih dari 2 jam, kalian nggak boleh berduaan terus, apalagi melanggar batasan orang pacaran. Kecuali kalau kalian...” Ayah tiba-tiba memberi jeda pada kalimatnya.
“Kecuali apaan tuh yah?” Celetuk Sandra sambil mengunyah makanannya.
“Menikah.” Jawab Ayah singkat.
Entah mau berapa kali mereka membuatku tersedak terus, aku rasa hidungku lama-lama akan terbiasa jika tersedak begini, karena banyaknya ucapan yang membuatku kaget.
“Kalau sudah menikah kan kamu menjadi tanggungjawabnya Sha, jadi masalah kuliah entah itu nantinya ganggu atau enggak udah kalian pikirkan sendiri.” Ucap ayah sambil tersenyum.
“Ayah nih aneh-aneh aja, masa iya aku masih 18 tahun mau nikah. Goreng telur aja masih suka gosong. Trus kalau nanti aku keblabasan hamil gimana? Masa anak kecil hamil sih, masih kuliah pula.”
“Kan kalau kuliah itu boleh hamil Sha.” Kata ibuku
“Ya tapi kan bu.. akunya malu. Ah udah ah jangan dibahas lagi.” Bibirku manyun dan dahiku seakan mengernyit sendiri.
Ayah dan ibu tertawa mendengar ucapanku. Sedangkan Sandra yang polos hanya mendengarkan dan memandangi saja. Seakan pembahasan itu masih terlalu berat untuk ia pahami.
***
Keesokan harinya, Mas Herdi menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu. Aku yang masih bimbang hanya mencari alasan kalau aku tidak bisa keluar rumah.
Tanpa sepengetahuanku ternyata Mas Herdi langsung tancap gas menuju rumahku. Betapa kagetnya aku ketika melihat dia sudah sampai dan meminta izin kepada ayah untuk mengajakku pergi. Ketika ayah mengizinkan, akupun tidak punya alasan untuk menolak ajakan Mas Herdi.
***
Saat berada di motor, yang aku rasakan begitu campur aduk. Senang juga deg-degan karena setelah sekian lama aku tidak pernah berboncengan lagi dengan seorang laki-laki. Mungkin yang terakhir kali aku ingat ketika awal-awal SMA saat dibonceng mantan pacarku.
Disisi lain adalah perasaan bimbang. Bimbang bagaimana menghadapi keadaan dan situasi ini. Inginku bertanya, apakah aku dan Mas Herdi saat ini sedang masa pendekatan atau sudah menjadi pacar karena ucapan Mas Herdi tempo hari?
“Sha, kamu pengen cepet atau gini aja?”
“Hah? Apanya mas?”
“Motorannya. Haha”
“Hahaha.. oh kirain apa. Seenaknya Mas Herdi aja gimana.”
“Oke.”
Tiba-tiba Mas herdi menambah kecepatan. Aku sontak kaget dan tanpa sengaja aku memegang perut bagian samping Mas Herdi saat itu juga.
***
Ketika sudah sampai tempat tujuan dan menunggu pesanan makanan, mataku terbelalak melihat sekitar. Seperti mendapatkan angin malam yang segar, melihat gedung-gedung yang terlihat kecil, lampu kota serta lampu jalanan yang membentuk garis-garis kecil yang gemerlap.
Kerlap-kerlip berkilauan yang membuatku enggan berkedip. Suasananya pun tambah nyaman ketika musik jazz dialunkan. Angin sepoi yang datang juga membelai rambutku lembut. Tiba-tiba aku melihat daun kecil yang tersangkut dirambut Mas Herdi lalu aku mencoba mengambilnya.
“Mmm.. maaf mas, bentar.” Tanganku memegang daun kecil yang jatuh dirambut Mas Herdi.
Mas Herdi memegang tanganku ketika jariku sudah menyentuh daun kering itu. Mata kami bertemu. Tanpa aba-aba dari sang pemilik, tiba-tiba jantungku mulai tak bersahabat. Ia tiba-tiba berdegup kencang tanpa meminta persetujuan dariku.
“Mmhh maaf mas mau ngambil ini hehe.. "
Aku sudah mengambil daun kecil itu dari rambutnya. Segera kulepaskan tanganku dari sentuhannya. Aku tidak mau melihat Mas Herdi mengetahui bahwa aku sedang gugup.
“Mmm.. Sha kamu suka tempatnya?”
“Suka kok mas, tempatnya nyaman outdoor gini, pas mau masuk juga lucu. Tangga sama pohon-pohonnya dikasih lampu-lampu kecil. Btw mas tau dari mana tempat ini? Sering kesini sama pacar ya hayooo..” Aku tersenyum sambil menunjuk Mas Herdi dengan telunjukku.
“Kan kamu pacar aku Sha.”
“Hahaha.. Mas Herdi bisa aja bercandanya.”
“Aku serius Sha.” Wajah Mas Herdi datar dan menatapku dalam.
Tiba-tiba pelayan datang memberikan pesanan kami. Entah suasana apa ini, tapi setidaknya mas-mas pelayan itu sudah menyelamatkanku dari suasana canggung tadi. Sesaat kemudian aku dan Mas Herdi menikmati apa yang kami pesan.
Ketika sudah selesai, aku kembali meminum cappucinoku. Kami sama-sama diam hingga akhirnya dia memulai lagi.
“Maaf Sha aku terlalu lancang.”
“Hah, maksudnya gimana mas?”
“Aku memutuskan sendiri kalau kita sudah pacaran tanpa ada persetujuanmu. Betapa bodohnya aku bahwa kita nggak mungkin pacaran kalau hanya satu pihak saja yang setuju.”
“Mmm. Duh. Mas bu-bukan gitu maksud aku.” Aku menjawabnya terbata-bata. Aku bingung mau menjawab apa.
“Nggakpapa Sha, nggak usah ngerasa nggak enak. Ketika ucapanku bikin kamu terganggu, kamu tidak perlu menjawabnya. Karena dengan melihatmu saja aku sudah tahu jawabannya.”
Entah mengapa aku masih stuck pada perasaan bimbangku ini. Aku ingin menerimanya, tapi disisi lain seperti masih ada keraguan.
“Mmm.. Mas, maafin aku sebelumnya. Tapi boleh aku minta waktu buat mutusin hal ini?” Nadaku pelan.
“Tentu Sha, aku akan menunggu.” Mas Herdi tersenyum seakan dia baru saja mendapatkan 0,01% sebuah harapan dariku.
***
Herdi Point of View.
"Maafkan aku sedikit nakal dengan menaikkan kecepatan secara mendadak, aku ingin memegang tangan kamu tapi tidak tahu bagaimana caranya, hingga aku memutar otakku agar bisa disentuh kamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
0316 Toiyibah,S,Pd.
hahaha modusss
2021-08-18
0
Rokhmi Nh
lanjut jalan terus ....
lanjut jalan terus....
2021-05-16
0
Zubethh Nci
meleleh aku masss
2021-02-01
2