Dasar anak jaman sekarang. Udah enggak tahu balas budi, enggak sopan santun lagi,” Titik masih sempat-sempatnya menyindir.
“Kalau gitu bersikaplah seperti orang tua yang benar. Maka aku sebagai anak muda, akan menghormatimu dengan benar,” sahut Citra.
Titik tidak lagi membalas. Dia malah mengiri-kanankan bibirnya yang monyong lalu berdengus, “Heh!” Dia sudah kehabisan kata-kata. Dia pun melangkah pergi dari rumah ini.
“Toni, ayo pergi,” ajak Titik kepada putranya yang bermain-main di depan pintu. Kemudian dia pun pergi dan tak pernah lagi menginjakkan kakinya di rumah ini.
Setelah kepergian Titik, Citra pun mengangkat kakinya yang lemah menuju kursi. Dia duduk lemas di sana. Tatapannya menurun. Bu RT merasa prihatin. Dia pun mendekati putrinya lalu memeluk putrinya dan meletakkan kepala Citra di atas bahunya. Kemudian tangannya berjalan lembut mengusap rambut Citra.
“Bu … maafin aku …,” rengek Citra. Kekuatannya telah dikeluarkannya untuk melawan Titik. Kini Citra merasa tidak mampu lagi.
“Enggak usah, Nak. Lagian kamu enggak berbuat salah, kok,” sahut Bu RT.
“Tapi gara-gara aku, Ibu sama bapak jadi kesusahan. Pak RW bahkan enggak mau ketemu Bapak lagi,” kata Citra.
“Itu kecelakaan, Nak. Siapapun pasti kesusahan karena itu. Tapi kita enggak bisa nyalahin siapapun, karena kita semua adalah korban, baik kita, maupun keluarga Pak RW. Budemu juga pasti merasa terluka. Gimanapun, kita semua adalah keluarganya,” sahut Bu RT menenangkan.
“Lalu sampai kapan kita terus terluka?” tanya Citra.
“Tenang aja, Nak. Semua pasti berlalu. Meski enggak secepat yang Budemu kira, semua ini pasti akan berakhir sebagai masa lalu,” jawab Bu RT.
“Kuharap akhir ini benar-benar cepat seperti yang Bude kira ….”
***
Esok hari, untuk pertama kalinya Dodik makan bersama keluarga Citra di ruang makan. Dodik, Pak RT, dan Bu RT sudah duduk lebih dulu, sedangkan Citra menyiapkan makanan. Setelah semua makanan disiapkan, barulah Citra duduk di kursi di samping Dodik.
Dodik keheranan melihat hanya ada sendok dan garpu di sekitar piringnya, sedangkan ketiga orang di sekitarnya hanya memiliki piring. “Apa kamu menyuruhku makan daging dengan ini?” tanya Dodik kepada Citra dengan mengangkat sendok dan garpu.
“Apa ada yang kamu butuhkan lagi?” tanya balik Citra.
“Kamu melupakannya atau kamu tidak tahu?” Dodik malah membalas pertanyaan.
“Mungkin keduanya.” Citra meringis. Dia tidak tahu apa yang kurang dari makanan yang disediakan ini.
“Kamu melupakan pisau. Makan daging enggak akan sempurna tanpa pisau,” jelas Dodik.
“Yah ….” Citra menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Sebenarnya aku enggak punya pisau makan.”
“Kenapa kamu tidak membelinya?” sewot Dodik.
“Aku akan membelinya nanti. Tapi sekarang kumohon makanlah yang ada dulu,” pinta Citra.
“Apa kamu enggak punya pisau lain?” alih Dodik.
“Di sini hanya ada pisau dapur besar. Apa kamu berniat menggunakannya?” tawar Citra.
Dodik berniat membalas tawaran Citra dengan kekecewaan. Tiba-tiba Bu RT berdehem, “Ehem.” Seketika Dodik menghentikan niatnya.
Karena tidak bisa menerkamku, Nenek Sihir itu tidak akan menancapkan garpu ini ke mulutku, kan? batin Dodik ketakutan. Terkaman Ibu Mertuanya masih meninggalkan trauma padanya.
“Eng-enggak usah. Aku akan memakannya dengan garpu aja,” kata Dodik.
“Ah, benar itu! Lagian Citra udah motong dagingnya jadi kecil. Kamu enggak akan kesulitan makannya, kok,” sahut Pak RT mencairkan suasana.
.
.
Selalu like dan koment🤗karena crazy up kugantungkan pada mereka berdua😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments